Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Fenomena Rojali Rohana, Siapa Bilang Jalan-Jalan di Mal Tanpa Belanja Itu Dosa?

9 Agustus 2025   16:51 Diperbarui: 9 Agustus 2025   16:51 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Gusti, ada-ada saja memang kelakuan manusia di era kiwari ini. Kalau tidak sedang meributkan capres yang itu-itu lagi padahal pemilunya masih jauh, ya sedang sibuk menciptakan istilah-istilah aneh untuk menjustifikasi kesombongan terselubung.

Salah satu yang paling membuat dahi saya berkerut akhir-akhir ini adalah populernya istilah "Rojali" alias Rombongan Jarang Beli, dan pasangannya yang tak kalah menyebalkan, "Rohana" atau Rombongan Hanya Nanya.

Heran saya tuh. Istilah ini, yang awalnya mungkin sekadar celetukan iseng para penjaga toko yang frustrasi karena target bulanannya seret, kini menjelma menjadi semacam stigma sosial. Senjata tak kasat mata yang ditembakkan dari balik meja kasir, dari lirikan sinis sesama pengunjung, bahkan dari pikiran kita sendiri. Sebuah trik marketing paling busuk yang pernah ada, karena ia tidak menjual produk, tetapi menjual rasa malu.

Anda pernah, kan, merasakannya? Masuk ke sebuah toko bagus di dalam mal yang dinginnya menusuk tulang. Anda tidak benar-benar butuh apa-apa. Niatnya cuma mau ngadem, cuci mata, atau sekadar menghabiskan waktu sebelum jadwal bioskop dimulai. Lalu, seorang sales promotion girl dengan senyum yang lebih dipaksakan dari tawa penonton di acara komedi stasiun TV swasta, menghampiri Anda. "Cari apa, Kak?"

Di titik inilah semesta realitas Anda diuji. Kalau Anda bertanya harga sebuah barang lalu tidak jadi membeli, di punggung Anda seolah-olah langsung tercetak stempel tak terlihat: ROHANA. Kalau Anda datang bergerombol bersama teman-teman, tertawa-tawa sambil melihat-lihat tanpa menyentuh satu barang pun, cap ROJALI siap menanti di pintu keluar.

Akibatnya? Orang-orang jadi merasa punya kewajiban moral untuk membeli sesuatu. Biar kecil, biar tidak penting, yang penting ada transaksi. Beli kaus kaki diskonan, beli permen di kasir, atau minimal beli es teh manis di pujasera dengan harga tiga kali lipat dari warung Tegal sebelah kosan saya. Semua demi satu hal: menenteng sebuah paper bag.

Dan ajaib, Nabs. Sungguh ajaib. Tas belanjaan itu seolah-olah jimat penambah status. Orang yang tadinya berjalan biasa saja, begitu tangannya menenteng tas kresek atau paper bag bertuliskan nama jenama terkenal, jalannya mendadak berubah. Dagu sedikit terangkat, dada lebih busung, langkah lebih mantap. Seolah-olah mereka baru saja menaklukkan Everest versi konsumerisme. Sementara kita, kaum Rojali dan Rohana, berjalan sedikit menepi, merapatkan diri ke dinding, merasa seperti warga kelas tiga di republik perbelanjaan ini.

Ini kan, mohon maaf, keparat betul.

Pihak mal, para pemilik toko, dan bahkan para pengunjung yang hobi menghakimi ini apa ya kolektif amnesia? Apa mereka lupa dengan periode antara 2020 hingga 2021? Masa-masa ketika korona sedang ganas-ganasnya, ketika mal lebih mirip lokasi syuting film horor ketimbang pusat peradaban. Sepi, lengang, kayak kuburan. Gema langkah sepatu sekuriti adalah satu-satunya musik yang terdengar. Eskalator yang terus berjalan tanpa penumpang adalah pemandangan paling menyedihkan.

Di masa-masa itu, para pengelola mal ini tidak mengharapkan Anda belanja. Mereka hanya mengharapkan satu hal: KEHADIRAN. Mereka rindu dengan keramaian. Mereka rindu dengan suara anak-anak yang berlarian. Mereka rindu dengan pasangan-pasangan yang duduk-duduk di bangku taman artifisial. Mereka rindu dengan keberadaan manusia, titik. Mereka bahkan mungkin rindu dengan rombongan ibu-ibu yang cuma numpang foto di depan air mancur. Kehadiran kita, para Rojali dan Rohana ini, adalah napas bagi mereka.

Lha kok sekarang, setelah semua kembali normal, kita yang dulu dirindukan kehadirannya malah dilabeli dengan julukan-julukan yang merendahkan? Lupa daratan betul.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun