Kita semua punya cerita. Cerita tentang siapa kita, bagaimana dunia bekerja, dan apa yang harus kita kejar agar hidup ini punya makna.
Ada yang percaya kerja keras takkan mengkhianati hasil. Ada yang sangat yakin cinta sejati akan datang pada waktunya, bak dongeng yang terwujud. Ada pula yang menggantungkan setiap napas pada kehendak Tuhan, percaya semua diatur demi kebaikan.Â
Namun, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: apakah cerita itu benar-benar milik kita? Atau hanya pengulangan narasi yang diwariskan, tanpa pernah kita selidiki kedalamannya?
Karenanya saya makin yakin, untuk hidup sepenuhnya---untuk hidup dengan kesadaran penuh dan pilihan autentik---kita mesti berani bikin meta-teori.Â
Bukan sekadar memiliki teori tentang hidup, melainkan juga memiliki teori tentang teori kita sendiri. Ini adalah langkah yang jauh melampaui refleksi biasa; ini adalah tindakan berani untuk meninjau ulang fondasi paling dasar dari keberadaan kita.
Keluar dari Rumah Pikiran Kita
Mari kita membayangkan: kehidupan yang kita jalani, keyakinan yang kita pegang, kebahagiaan yang kita kejar---semua itu adalah sebuah rumah. Sebuah struktur kokoh yang telah kita huni sepanjang usia.Â
Meta-teori, dalam esensinya, adalah keberanian untuk keluar dari rumah pikiran itu. Kita tidak sedang ingin merobohkannya, tidak pula menolaknya mentah-mentah. Kita hanya mengambil jarak. Kita berjalan menjauh beberapa langkah, lalu menoleh ke belakang, melihat bangunannya dari kejauhan.
Dari sana, dari jarak yang aman itu, kita mulai mengamati: Bagaimana fondasinya? Apakah memang sudah kokoh ataukah ada retakan di sana-sini?Â
Bagaimana arsitekturnya? Apakah jendelanya masih membiarkan cukup cahaya masuk, ataukah atapnya sudah bocor tanpa kita sadari? Dan yang paling penting: siapa arsitek sebenarnya dari rumah ini?
Sering kali, kejutan pahit menanti: rumah itu tidak sepenuhnya kita bangun sendiri. Sebagian besar strukturnya didirikan oleh tangan-tangan lain---orang tua, guru, lingkungan, agama, negara, bahkan bisikan budaya pop yang tak henti-hentinya.Â
Kita hanya menempatinya, memenuhinya dengan perabotan, tanpa pernah sungguh-sungguh memahami cetak birunya. Kita hidup dalam sebuah narasi warisan, bukan narasi pilihan.