Inilah mengapa pemikiran meta-level begitu krusial.Â
Kita tak akan pernah tahu bahwa cara kita berpikir itu terbatas, atau bahwa sudut pandang kita hanya salah satu dari sekian banyak kemungkinan, kecuali jika kita berani mengambil jarak dan mengamati cara pikir itu sendiri.Â
Dan ya, proses ini sering kali menyakitkan. Ia bisa meruntuhkan kenyamanan. Ia memaksa kita mengakui bahwa hidup yang kita jalani selama ini mungkin bukan pilihan sadar, melainkan hasil dari teori-teori lama yang tak pernah kita uji, tak pernah kita gugat.
Saya punya seorang teman, sebut saja Bima. Sejak kecil, ia diasuh dalam keyakinan bahwa kebahagiaan sejati adalah tentang stabilitas. Peta jalan hidupnya begitu jelas: dapat pekerjaan tetap, menikah di usia 30, punya rumah minimalis, dua anak, dan liburan ke Bali setahun sekali. Bima mengikuti setiap langkah itu dengan disiplin nyaris sempurna. Namun, suatu malam, setelah ulang tahunnya yang ke-35, dengan tatapan kosong ia bertanya, "Kenapa aku merasa hampa padahal semua sudah sesuai rencana?" Saya hanya bisa menjawab pelan, "Mungkin karena itu bukan rencanamu."
Bima hidup dalam teori. Ia membangun rumahnya sesuai blueprint yang diberikan orang lain. Tapi ia belum pernah membuat meta-teori. Ia belum pernah bertanya: siapa yang membuat peta itu? Masih relevankah rute itu untuk dirinya, di titik ini, sekarang?
Menggugat Narasi Kebahagiaan
Kita seringkali percaya bahwa kebahagiaan adalah sesuatu yang harus dikejar. Seperti fatamorgana di ujung pelangi---jauh, indah, selalu menjauh saat kita mendekat, seolah takdirnya memang tak untuk digenggam.Â
Namun, mari kita tanyakan, siapa yang pertama kali membisikkan bahwa bahagia itu adalah destinasi yang harus dicapai? Mengapa bukan sebuah keadaan yang bisa dirasakan, bahkan diakui keberadaannya dalam hal-hal kecil yang tak masuk dalam perhitungan teori kebanyakan?
Mungkin jawabannya terletak pada masyarakat kita yang terlalu terobsesi dengan akumulasi: dari gaji, jumlah pengikut di media sosial, sertifikat penghargaan, hingga daftar destinasi liburan yang sudah dijelajahi. Kebahagiaan pun, dalam logika ini, menjelma menjadi target kuantitatif.Â
Padahal, bisa jadi, teori tentang kebahagiaan itu sendiri keliru sejak awal. Dan di sinilah meta-teori hadir, untuk menggugatnya. Ia membuka kemungkinan bahwa kebahagiaan tidak terletak pada garis finis yang jauh, melainkan pada langkah-langkah kecil yang kita ambil setiap hari, dalam kesadaran penuh akan keberadaan kita di sini dan kini.
Menakar Ulang Kesuksesan
Kesuksesan. Sebuah kata yang seringkali diklaim sebagai sesuatu yang objektif, mudah diukur. Indikatornya jelas: posisi puncak di perusahaan, angka nol di rekening bank, daftar pengakuan dan penghargaan yang menumpuk.Â
Namun, bukankah semua itu adalah hasil dari sistem nilai yang disepakati secara diam-diam oleh mayoritas? Siapa yang pertama kali menentukan bahwa sukses berarti memiliki jabatan tinggi, kuasa, atau kekayaan yang melimpah? Mengapa tidak, misalnya: mampu tidur nyenyak setiap malam tanpa beban, hidup damai dengan diri sendiri dan sekitar, atau membuat orang-orang di sekitar kita tumbuh dan berkembang?