Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Antara Meta-Logika dan Ego Pragmatis: Menelanjangi Sesat Pikir Ferry Irwandi dan Timothy Ronald

16 Juli 2025   10:25 Diperbarui: 16 Juli 2025   11:54 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar dari video YouTube "Pendidikan dan Cacat Pikir Zero-Sum Game Bitcoin Ft Timothy Ronald", diakses 16 Juli 2025. 

Di sela podcast-nya yang berjudul "Pendidikan dan Cacat Pikir Zero-Sum Game Bitcoin Ft Timothy Ronald", Ferry Irwandi melontarkan kritik tajam terhadap filsafat. Ia menyebut bahwa "jurusan filsafat harus dihapus" karena dianggap tidak lagi relevan di era teknologi dan eksekusi cepat. Menurutnya, orang yang hanya bisa berteori dan berasumsi bukan lagi sosok yang dibutuhkan dunia. Teknologi dan sains telah mengambil alih tugas berpikir mendalam, dan filsafat, dalam bayangannya, hanya menyisakan debat dan pengulangan nama-nama kuno seperti Marx atau Descartes yang sudah tak sesuai zaman.

Yang menarik, pernyataan itu tidak berdiri sendiri. Dalam dialog yang viral di media sosial, Timothy Ronald---seorang influencer dan pengusaha muda di bidang saham dan crypto---mendampingi dan mendukung klaim Ferry. Timothy menyebut bahwa filsafat yang tidak relevan dengan eksekusi hanyalah "estetika kognitif." Ia menyiratkan bahwa masa depan adalah milik mereka yang mampu menyederhanakan kompleksitas menjadi tindakan, bukan yang tenggelam dalam kerumitan naratif dan istilah asing. Perspektif ini menjadi gema dari wacana pasar yang sedang naik daun: efisiensi adalah kebenaran baru, dan yang lambat tak lagi dianggap cerdas.

Keduanya, meski berbeda latar belakang, bersatu dalam satu irama retorika: bahwa filsafat terlalu lambat, terlalu abstrak, dan tidak fungsional. Dalam dunia yang mendewakan hasil, mereka memosisikan filsafat sebagai beban. Namun, dalam pernyataan mereka, justru terpantul pemahaman yang parsial, bahkan problematis, tentang apa itu filsafat, bagaimana logika bekerja, dan mengapa berpikir tidak bisa dipadatkan menjadi sekadar efisiensi algoritmis.

Apa Benar Filsafat Tak Relevan?

Pernyataan Ferry adalah bentuk klasik dari false generalization. Ia menyederhanakan kompleksitas satu disiplin ke dalam citra karikatural: filsafat dianggap usang, terlalu teoritis, dan tidak mampu memberi solusi konkret. Tapi pandangan ini luput melihat kenyataan bahwa hampir seluruh ilmu pengetahuan modern lahir dari rahim filsafat. Logika formal yang dipakai di ilmu komputer, prinsip etika dalam bio-teknologi, bahkan fondasi teoretis dalam hukum dan kebijakan publik---semuanya berpijak pada landasan filosofis.

Saat kita bicara tentang bias algoritma dalam kecerdasan buatan, isu privasi data, atau pertimbangan etis di balik pemrograman sistem otonom, kita sedang memasuki wilayah yang tidak bisa diselesaikan dengan coding atau kecepatan eksekusi semata. Kita butuh refleksi, keraguan, dan penalaran yang bersifat meta---dan itu adalah kerja filsafat.

Filsafat, dalam sejarahnya, tidak pernah menjanjikan jawaban cepat. Tapi ia selalu menyumbang kerangka berpikir yang memungkinkan masyarakat memaknai kemajuan, menyaring informasi, dan menjaga agar keputusan tidak semata-mata tunduk pada efisiensi ekonomi. Ia menyediakan kehati-hatian intelektual---suatu sikap berpikir yang tidak terburu-buru mengambil kesimpulan, dan sadar bahwa kecepatan sering kali menyesatkan.

Salah Paham terhadap Logika dan Meta-Logika

Dalam percakapan mereka, Ferry dan Timothy menyinggung logika, bahkan menyentil istilah "meta-logika," seolah-olah itu adalah bagian dari cara berpikir eksklusif bagi orang yang efisien dan sistematis. Namun yang mereka sebut logika lebih menyerupai intuisi teknis---respon cepat yang dibentuk oleh pengalaman praktis, bukan hasil dari proses refleksi epistemik.

Meta-logika bukan sekadar cara berpikir yang ringkas. Ia adalah bentuk refleksi terhadap bagaimana logika sendiri bekerja: logika macam apa yang sedang digunakan, asumsi apa yang tersembunyi, batas apa yang ditarik oleh sistem berpikir, dan dalam konteks apa alat-alat berpikir itu relevan. Ia bukan seni menyederhanakan, tapi seni menyadari keterbatasan penyederhanaan.

Ketika Kurt Gdel menunjukkan bahwa tidak semua kebenaran bisa dibuktikan dalam satu sistem logika, ia sedang menyatakan bahwa berpikir itu tidak bisa dikurung dalam satu metode. Pemikiran tidak bisa disimplifikasi menjadi input-output yang steril. Dan kesadaran akan hal itu adalah inti dari filsafat dan meta-logika.

Reduksi dan Retorika Kosong

Pernyataan Ferry bahwa "anak filsafat hanya bisa debat dan kalah terus" bukan hanya merendahkan, tetapi juga cacat secara logis. Ia menyamakan kekeliruan atau performa lemah dari individu tertentu dengan kegagalan seluruh disiplin. Ini adalah bentuk argumentasi lemah yang dikenal sebagai sweeping generalization.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun