Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Membongkar 10 Hambatan Menulis

7 September 2012   13:10 Diperbarui: 4 April 2017   17:08 5484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13470398191984789128

[caption id="attachment_211062" align="aligncenter" width="450" caption="Ilustrasi/ Admin (shutterstock)"][/caption] Dua hari lalu saya membuat status di Facebook. Isinya kurang lebih "Apa hambatan terbesar Anda saat memulai menulis artikel?". Ada beberapa jemaah Facebook yang membalas pesan itu. Dan jawaban atas respons mereka saya tulis dalam artikel sederhana ini. Pertama, terlalu banyak pikiran Rekan Gerry Sugiran AS menyebutkan kendala terbesarnya ialah terlalu banyak pikiran. "Banyak yang mau ditulis malah bikin bingung," kata Gerry. Dalam buku Menulis dengan Telinga, bagian itu sudah saya tulis dengan Bab "Tulisan Rampung, Ide Baru Ditampung." Kalau mau menulis sampai tuntas, mau tak mau pikiran memang fokus ke situ. Soal banyak ide bersilewaran di kepala, itu sudah pasti. Dan boleh jadi ide baru itu lebih segar. Ide baru bisa sama dan sebangun dengan bangunan tulisan yang dibikin, bisa juga memasuki dunia baru. Cara paling gampang ialah dengan meneruskan konsep awal tulisan dengan mencatat ide baru pada kertas kerja baru. Maka, ketika menulis, jemari kita berada di tuts papan ketik atau qwerty ponsel, sementara sesekali bolpoin bekerja menulis ide baru yang berseliweran. Saya kira aktivitas mencatat di kertas ini sesekali.

Cerpenis Lampung Ika Nurliana juga beropini sama. Kata dia, hambatan terbesar dalam menulis ialah ide berlapis seperti kue lapis. Nah lo! Ini maksudnya, saat kita menulis, ide-ide liar—baik berkenaan maupun tidak dengan konten yang sedang ditulis—berhamburan di kepala. Dibiarkan sayang, mau dicatat, kok rasanya mengganggu aktivitas utama menulis. Kembali ke soal mencatat di kertas, ini penting. Tegasnya, jika saat menulis ada ide datang, catat saja di kertas. Atau bikin lembar baru di layar monitor.

Mengapa? Sebab, ide yang bersileweran itu rata-rata masih berhubungan dengan tema yang sedang kita fokuskan. Percayalah! Justru ide yang ada di kepala bakal mengayakan artikel yang kita buat. Jadi, jangan malah jadi masalah kalau saat menulis idenya datang bak tamu tak diundang. Tamu itu sumber rezeki.Maka, muliakan tamu itu. Berbahagialah jika saat menulis kita dilimpahi ide yang datang secara beruntun. Kedua, bingung mau mulai dari mana

Teman Nawal Djajasinga bilang first step, how to begin? Saat ide sudah ada, kita dengan percaya diri mengaktifkan komputer. Kita yakin dalam sekali duduk sebuah tulisan akan kelar. Tapi, begitu jari berada di papan ketik, kita bingung. Mau menulis apa? Kalimat apa yang enak ditulis lebih dulu? Judulnya mesti duluan atau belakangan? Dan sederet kebingungan lain. Ini persoalan klasik. Tak saja menghadang penulis pemula,penulis profesional acap menemukan momentum seperti ini.

Satu yang bisa menolong ialah membuat kerangka karangan terlebih dahulu. Saya meyakini setiap kita yang melewati jenjang pendidikan sekolah dasar mendapat dasar-dasar mengarang dalam pelajaran BahasaIndonesia.Nah,inilah saat di mana kita menggunakan teknik sederhana tapi sangat membantu. Bikinlah satu baris kalimat pendek sebagai wakil dari paragraf yang kita buat. Bikinlah sebanyak mungkin. Poin per poin. Atau buat dalam model peta pikiran. Saya acap cuma membuat selarik kalimat dan bertanda centang. Kalau sudah dapat 30 poin, insya Allah itu satu artikel padat yang bagus. Tak terlalu panjang, juga tak terlalu pendek. Sebab, masing-masing poin mewakili satu alinea. Tinggal kita pilih mana yang mau ditempatkan di atas, di bawahnya lagi, selanjutnya, dan seterusnya. Tidak membikin kerangka juga tidak mengapa. Akan tetapi, ragangan ini setidaknya menjadi solusi saat kita bingung mau menulis apa di kesempatan perdana di depan layar monitor. Ketiga, tidak punya waktu

Sohib Dias Marendra yang sekarang menetap di Jakarta bilang, tinggal di Ibu Kota bikin otak dan hati malas bekerja. Mungkin keruwetan, kemacetan, dan segala perniknya membuat malas dalam menulis. Sahabat Naqiyyah Syam, ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Lampung, juga beralibi sama: waktu. Mungkin ini alasan paling banyak yang diungkapkan kita saat ditanya apa kendala utama soal menulis. "Enggak ada waktu," kata kita. Benarkah demikian?

Buat kita yang selama 24 jam bekerja secara penuh memang sulit untuk mengalokasikan waktu untuk menulis. Jangankan buat itu, mungkin sekadar melaksanakan salat lima waktu saja tak sempat. Tapi apa iya ada orang yang semua waktunya untuk bekerja dan melakoni satu hal yang sama? Saya kira tidak.

Soal waktu dalam menulis memang bergantung pada kepiawaian kita mengaturnya. Kalau memang ingin serius di bidang ini, setidaknya menjadi penulis yang baik, waktu memang kudu disiapkan. Jangan beralasan waktu tidak ada. Kitalah yang yang menciptakan momentum itu.

Ini seperti seorang ujung tombak tim sepak bola. Ia bertugas mencetak gol. Fans dan pelatih tak mau tahu bagaimana ikhtiarnya mencetak gol. Mau pakai kaki, tangan, tumit, terserah. Mau lewat tendangan bebas, tendangan penalti, juga tak soal. Yang penting bikin gol. Kalau sulit menunggu di kotak penalti lawan, ya agak turun menjemput bola. Sesekali pakai tembakan spekulasi jarak jauh juga tak apa. Tujuan akhirnya gol. Penulis juga demikian. Misinya adalah menghasilkan tulisan.

Soal waktu ia menuntaskannya, terserah. Cari alokasi yang paling baik. Ada yang suka menulis di pagi hari. Ada yang senang menulis di siang hari usai makan siang. Ada pula yang di waktu malam menjelang tidur. Terserah saja. Kalau kita mau memberikan kontribusi buat masyarakat dalam ranah tulisan, kita pasti bisa meluangkan waktu untuk menulis.

Setiap orang punya pekerjaan yang berbeda. Maka itu, waktu yang bisa disempatkan untuk menulis juga berbeda. Asalkan punya niat yang kuat untuk bisa menulis, insya Allah waktu itu bisa disediakan secara mandiri.

Keempat, tersangkut di paragraf awal

Bagian ini juga sudah saya dedahkan dalam buku Menulis dengan Telinga. Tak apa saya ulangi dan tambah dengan bahan lain. Khususnya untuk Mukhtar Gani. Ini kondisi di mana kita sulit menemukan lead atau teras tulisan. Bagian ini buat sebagian orang memang mahasulit. Sebab, inilah kuncinya. Sukses di lead, sukses terus sampai tulisan khusnul khatimah. Tapi kalau tidak sukses, berjam-jam di depan layar komputer tak bakal bisa menghasilkan karya.

Bikinlah kalimat yang saat itu menyangkut dalam pikiran. Tulis saja itu. Soal apakah berhubungan dengan konten tulisan, nanti dulu itu. Terus saja menulis. Bikin enak. Bikin santai. Bikin nyaman. Kalau sudah dapat sepuluh paragraf, itu sudah sukses. Sebab, awal kalimat yang kita bikin sudah mampu membuat kita meneruskan tulisan meski belum kelar. Toh nanti ada proses penyuntingan. Dibaca lagi. Dirasa-rasai. Diubah. Dibikin padat. Dan sebagainya.

Dulu, orang kalau jatuh cinta, bikin surat dengan orang yang ia sukai. Kertas disiapkan. Begitu menulis awal, belum pas. Kertas disobek atau diremukkan. Begitu terus sampai kertas habis. Itu artinya belum ketemu kalimat pembuka yang bagus. Tapi begitu dapat kalimat yang enak, tulisannya bakal rampung. Sama saja dengan menulis artikel. Kalau sudah dapat titik enaknya, lanjut, Gan! Kuncinya, tulis saja apa yang ada di pikiran saat itu juga. Jangan menunda!

Kelima, tidak klik dengan tulisan

Istri saya, Sekar Sari Indah Cahyani, yang mengeluhkan ini. Maksudnya, tulisan sih sudah jadi. Tapi kok setelah dirasa-rasai tidak klik. Tidak sesuai dengan maksud di awal. Kok malah melebar ke mana-mana. Saya kira ini bagus sebagai bentuk autokritik. Sebelum orang membaca dan mengapresiasi, seorang penulis terlebih dahulu mengkritik tulisannya. Sehingga didapati bahwa tulisan itu tak seperti harapan. Ini mungkin tidak terlampau mengkhawatirkan karena persoalan menulisnya sudah rampung. Kalau memang dirasa tulisan tidak klik, coba lihat kerangka yang mungkin pernah dibuat. Sudah sesuai belum konten tulisan dengan ragangan. Sudah masuk semua belum item yang dipersiapkan. Kalau sudah semua, berprasangka baik saja. Jangan sampai kekritisan itu malah kontraproduktif.

Kuncinya, syukuri bahwa tulisan sudah jadi. Persoalan sekarang ialah menilai apakah karya itu sesuai dengan harapan atau belum. Kalau malah terlalu keras dengan tulisan, nanti bisa bikin frustrasi dan kita merasa lemah untuk itu. Alih-alih produktif, kita malah kontraproduktif.

Keenam, tidak pede dengan tulisan sendiri

Rekan Ngesti Fitriyah mengujarkan ini kepada saya. Saya pikir ini sama dengan poin sebelumnya. Cuma masalahnya, bisa jadi rasa ketidakpercayaan itu muncul setelah kita mulai menulis. Menulis sih menulis. Lancar sih lancar. Tapi semakin ke sini kok semakin garing. Galau jadinya. Antara yakin dan tak yakin. Kita kemudian merasa tidak percaya diri. Hmmm, ini kasus menarik. Tapi setidaknya, bersyukur bahwa dalam rentang ini kita masih terjaga dalam menulis.

Langkah terbaik adalah meneruskan tulisan itu sampai titik terakhir. Setelah itu, baca lagi semua. Baris per baris. Kalimat per kalimat. Maknai lagi. Edit yang ketat. Bisa jadi, ini hanya perasaan kita saja yang mungkin tipikal orang yang perfeksionis. Ya bagus ini. Cuma kalau jadinya kontraproduktif kan tidak bijak juga. Maka itu, kalau sudah kelar, membiasakan memberikan tulisan kepada dua atau tiga rekan kita sangat bagus. Mereka nanti yang akan menilai tulisan itu bagus atau tidak. Jadi, percaya diri saja. Anak muda sekarang bilang, cemungudh ea! Hahahaha.

Ketujuh, enggak mood

Kawan lama saya, Setyajie Kuntowibisono, mengatakan ini. Ia mengeluh ketiadaan mood membuatnya sulit dalam menulis. Ini juga klasik. Saya menjawabnya dengan ringkas. Kalau kita sudah meniatkan menulis sebagai salah satu amal, apa pun kondisi kejiwaan kita, menulis mesti dilakoni. Apa kita sedang senang, menulis mesti dijaga. Kondisi badan yang capek dan penat juga tak alasan untuk tidak menulis. Ibarat orang bekerja, meski capek, tetap bekerja. Sebab, itu tanggung jawab. Responsibilitas. Seorang kepala rumah tangga, meski sakit sedikit, pasti tetap bekerja. Sebab, itu tanggung jawabnya. Mau makan apa anak dan istri di rumah kalau kepala keluarga tidak bekerja? Sama dengan menulis. Kalau sudah jadi “kewajiban”, kebutuhan, apa pun kondisinya, menulis tetap dilakoni. Sampai kapan? Sampai kita tak bisa lagi menulis.

Kedelapan, lingkungan yang tidak mendukung

Rekan Ade Nugraha mengatakan lingkungannya tidak mendukung untuk menulis. Berisik kata dia. Wah, kalau ini kan kondisi setiap orang pasti berbeda. Ada lingkungan sekitar yang ramai, ada yang senyap. Ini soal sikap kita saja atas lingkungan sekitar. mau dijadikan penghambat bisa, tapi bisa juga peluang. Lingkungan yang berisik bisa jadi bahan tulisan tuh. Mengapa lingkungan kita jadi berisik? Kenapa tidak damai-damai saja? Dan sebagainya. Kalau misalnya lingkungan itu tak bisa lagi diandalkan, ya mesti hijrah. Hijrah? Ya hijrah. Misalnya rumah kita berisik. Tetangga sedang ada kendurian. Tapi kita mesti menulis dan ada artikel yang diburu untuk dirampungkan. Maka berhijrahlah, cari lingkungan yang kondusif, yang tenang, yang mendukung. Perpustakaan misalnya. Atau rumah teman. Bisa juga di masjid, di hutan kota, dan sebagainya.

Kesembilan, bahasanya payah

Afnan Luthfi, adik kelas di SMAN 2 Bandar Lampung, mengatakan ini. “Kak Adian,rasanya kalau mau mengarang itu, bahasa saya payah banget. Kenapa ya?”. Aha, ini dia yang menarik. Bahasa. Ya, bahasa. Menulis itu senjatanya memang bahasa. Penguasaan terhadap banyak kosakata dan teknik menulis kalimat yang baik adalah senjata andalan. Bagaimana mungkin kita bisa menulis kalau minat kita terhadap bahasa sangat rendah. Saya katakan minat. Sebab, ini bukan perkara bakat. Yang penting kita minat menulis, minat dengan bahasa, suka membaca, dan senang mencoba.

Bahasa payah itu, dalam benak saya, hanya saat kita menulis dengan bahasa gaul alias alay yang sekarang digandrungi anak muda. Nah, dalam menulis artikel, apalagi diniatkan dipublikasikan di media, bahasa yang dipakai pasti yang resmi. Ejaannya yang baik. Diksinya yang baku. Pola yang kita pelajari saat SD: subjek, predikat, objek, dan keterangan—SPOK—mesti dipahami dengan baik.

Ada lo redaktur Opini surat kabar yang jeli betul memperhatikan setiap kalimat. Kalau ada yang ia tidak sukai, pasti diubahnya. Bahkan kalau mayoritas tulisan kita bahasanya payah, langsung ia hapus. Kasihan kan, sudah capek-capek menulis, eh langsung dibabat sama redaktur opininya.

Bahasa yang baik dalam ranah jurnalistik ialah bahasa yang mudah dicerna, padat, ringkas, tidak bertele-tele. Intinya mudah dipahami. Kalau saat menulis kita yang menulis sudah berkerut-kerut dahinya, itu tanda bahasa kita masih payah. Edit lagi. Diganti.

Salah satu kuncinya ialah jangan menulis kelewat panjang dalam satu kalimat. Ada ukuran dalam Fog Index bahwa kalimat yang baik terdiri dari tak lebih 14 kata. Bisa delapan kata, itu bagus. Kalimat yang ditatahkan dengan kata yang sedikit banyak untungnya. Pembaca mudah memahami, redaktur pun menyukai. Bahasa buat saya berbanding lurus dengan keterampilan kita menulis satu kalimat dengan diksi sedikit.

Tulisan itu, meski mungkin kontennya tidak kuat, asal pendek, mudah dipahami. Tapi kalau panjang sekali, mengesalkan pembaca. Napas tersengal-sengal dibuatnya. Satu alinea, satu tanda titik. Itu pasti melelahkan. Kalimat yang panjang itu punya tanda: napas terengah-engah tapi kalimat belum tuntas. Maka, kita bisa berlatih menulis dengan pendek-pendek. Kalau kita terbiasa mengirim pesan via SMS, itu sarana berlatih yang bagus. Tulislah pesan dengan kata yang lengkap tanda disingkat. Atur kalimat sesuai dengan ejaan yang baik. Jika memungkinkan, bikinlah pola SPOK. Insya Allah bahasa kita tidak akan payah lagi.

Kesepuluh, merasa kurang ilmu

Sebetulnya, merasa kurang ilmu ini bagus. Positif sekali. Dengan begitu kita selalu merasa kurang dan tidak jemawa. Sahabat Arif Rahman bertanya soal ini. Menurut saya, ini lebih kepada penguasaan kita terhadap tema yang mau ditulis. Kalau tidak menguasai, memang selayaknya tidak usah ditulis. Sebab, kita tidak yakin dengan tema yang mau ditulis. Pesan sederhananya ialah menulislah yang kita bisa. Menulislah dengan basis terkuat kita.

Kita diciptakan dengan kecerdasan dan potensi masing-masing. Tidak sama antara satu dan yang lain. Termasuk penguasaan atas tema tulisan. Kalau kita bekerja sehari-hari di bank syariah, menulislah soal itu. Kalau kita guru, menulislah tema pendidikan. Jangan menulis yang temanya tidak kita kuasai dengan baik.

Perihal ilmu yang masih kurang, tapi basisnya sudah kita kuasai, itu persoalan lain. Misalnya, saya memang senang menulis tentang dunia kepengarangan. Saya kuat di situ. Saya fokus di tema itu. Soal kemudian saya mencari banyak literatur penunjang, itu positif. Sebab, saya ingin tulisan saya kaya perpektif dan pembaca bisa mendapat banyak pengetahuan. Saya kuat di tema itu, tapi terus berlatih agar bertambah kuat. Itu maksudnya. Tapi kalau saya tidak kuat di filsafat kemudian memaksakan, menurut saya itu butuh bahan bakar yang banyak. Bukannya tidak bisa, tapi itu ranah yang sama sekali baru buat saya. Saya butuh tenaga ekstra untuk menguasai itu. Maka, carilah basis terkuat kita dalam menulis.

Kulminasi tertinggi penulis ialah personal branding. Kita punya satu atau dua tema yang sangat dikuasai. Jadi, ketika nama kita disebut, orang bisa memersepsikan kita ahli di bidang itu. “Oh, kalau pelatihan penulisan Bang Adian saja yang menjadi narasumber. Ia banyak menulis soal itu dan bukunya juga soal itu.” Ini kalimat contoh saja. Supaya gampang. Daripada “memfitnah” contoh lain, saya saja jadi contoh “fitnah”-nya, hehehe. Sampai di sini mudah-mudahan bisa dimaknai dengan baik. Selamat menulis kawan-kawan!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun