Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Penggerak Cermin Kegagalan Pendidikan

9 Maret 2023   23:28 Diperbarui: 9 Maret 2023   23:31 20026
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para guru. Foto Kompas.com/Wawan H Prabowo

Adanya guru penggerak adalah cermin kegagalan Kementerian Pendidikan selama ini. Kementerian yang acap berubah nama dan kini lengkapnya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi diakronimkan menjadi Kemdikbudristek. Nama menterinya Nadiem Makarim, pendiri Gojek. Orang banyak sapa dia, Mas Menteri.

Ramai-ramai orang bicara soal guru penggerak turut menggerakkan nurani dan pikiran saya juga. Bagi saya, program guru penggerak ini hanya gembar-gembor saja. 

Biasalah, namanya juga orang baru, menteri "baru", pasti punya gebrakan. Salah satunya guru penggerak. Saya fokus ke guru penggerak ini saja dahulu. Musababnya, untuk beberapa program lain saya menyambut baik.

Guru itu lazimnya dahulu kuliah di fakultas keguruan dan ilmu pendidikan disingkat FKIP. Ada juga dahulu yang kuliah di IKIP alias Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Kini semua IKIP rerata menjadi universitas.

Ada dua fakultas yang rata-rata lulusannya sesuai dengan hasil belajarnya. Satu fakultas kedokteran, satu lagi FKIP. Kenapa nyaris semua lulusan fakultas kedokteran jadi dokter? Mengapa pula sebagian besar lulusan FKIP jadi guru? 

Jawabannya, yang mengajar di dua fakultas itu dokter dan guru. Dosen di kedokteran ya dokter. Dosen di FKIP ya guru juga, gurunya mahasiswa. 


Jadi, kalau lulusannya jadi dokter atau guru, wajar. Sebab, nasab mereka tersambung ke para guru yang punya profesi sesuai dengan pelajaran utamanya.

Mengapa lulusan ekonomi, kerjanya macam-macam, dan tidak semua jadi manajer atau pebisnis? Sebab, nyaris semua yang menjadi dosen ya dosen saja. 

Mengajarkan teori soal ekonomi dan bisnis. Wajar kalau ruhnya tak masuk.

Kenapa pula lulusan pertanian sebagian besar tak jadi petani? Musababnya, para dosennya juga bukan petani. 

Ada yang petani, tapi tak banyak. Sebagian besar mengajar berbasis pengetahuan dalam kurikulum di buku maupun jurnal.

Khasnya FKIP, semua dosennya juga guru, gurunya mahasiswa. Lalu, kenapa setelah lulus, ribet sekali lulusan ini mau jadi guru?

Kini sampai ada program segala namanya guru penggerak. Memangnya dari dulu guru tidak bergerak? Berarti gurunya diam saja selama ini?

Saya kutip dari kemdikbud.go.id soal ini. Di situ dijelaskan bahwa guru penggerak adalah pemimpin pembelajaran yang mendorong tumbuh kembang murid secara holistik, aktif, dan proaktif dalam mengembangkan pendidik lainnya untuk mengimplementasikan pembelajaran yang berpusat kepada murid, serta menjadi teladan dan agen transformasi ekosistem pendidikan untuk mewujudkan profil pelajar Pancasila.

Definisi ini buat saya mereduksi makna guru yang selama ini melekat pada sosok pendidik. Bagi saya, ini sama saja ahistoris dengan "menghilangkan" peran guru selama ini. Logikanya sederhana banget kok.

Semua juga tahu kalau guru adalah pendidik. Tujuan utamanya ya menjadikan anak didiknya baik, berakhlakul karimah, berkarakter, pintar, cerdas, dan sudah tentu dong Pancasilais. 

Sudah tentu itu. Apalagi masa Orde Baru. Peran guru sangat mantap.

Tanpa ada embel-embel penggerak pun, semestinya tiap guru memang sudah seperti yang didefinisikan perihal guru penggerak tadi.

Kalau itu definisinya, berarti dulu-dulu para guru itu tidak memimpin pembelajaran dong? Tidak mendorong tumbuh kembang secara holistik dong? Tidak mengimplementasikan pembelajaran berpusat kepada murid dong?

Alangkah sayangnya bertahun-tahun pendidikan kita dengan guru sebagai aktor utamanya, tidak dianggap "penggerak".

Lucunya, teman-teman yang sudah empat tahunan kuliah di FKIP masih juga ribet untuk menjadi guru. Ada standar kompetensilah, inilah itulah. Guys, kuliah empat tahun memangnya diajarin apa aja?

Buat saya, masa empat tahun itu lebih daripada cukup menjadikan lulusan FKIP itu guru penggerak. Mereka memang sudah paham kalau mengajar itu esensinya di mana. 

Kalau mendidik itu tujuannya apa. Kalau membangun kedekatan dengan siswa itu bagaimana. Membangun pola komunikasi dengan wali murid itu bagaimana?

Setakat saya berkembang dari SD sampai sekarang, bagi saya semua guru saya itu ya penggerak. Jadi, sebelum Menteri Nadiem kasih advis itu kemudian dijadikan program, guru kita sejak dahulu memang sudah dididik demikian, Mas Menteri.

Kalau perihal bikin semacam kegiatan dengan tujuan proyek mewujudkan pelajar Pancasila, itu mah dari dulu sudah ada. Banyak sekolah bahkan dengan segala keterbatasan, bikin karnaval, bikin acara, bikin sendratari dengan tujuan itu. 

Anak zaman dahulu barangkali lebih hafal nama-nama tarian, nama lagu, bahkan hafal luar kepala semuanya.

Sekarang? Itu yang mau dituju? Ya ketinggalan. Zaman Soeharto juga sudah demikian.

Maka itu, saya menyebut, program guru penggerak ini cermin kegagalan kementerian dan perguruan tinggi dalam menghasilkan guru yang sejati. Ia cermin dari kegagalan pendidikan kita menciptakan sosok guru yang "ideal". 

Ibu saya seorang guru. Guru sekolah dasar. Pendidikan terakhirnya sarjana pendidikan. Itu pun baru kuliah dan selesai jelang ia pensiun. 

Dulu lulusan PGRI. Ibu dan teman-temannya kreatif.

Ruang kelas ia sulap menjadi rapi jali. Karena pintar menjahit, meja guru dirampel bagus. Gorden jendela diganti tiap beberapa minggu sekali. 

Di teras kelas dipasang tanaman hias yang tiap pagi dirawat siswa secara bergantian.

Istimewanya ibu, setiap pagi ia mengajak muridnya menghafal surat dalam Alquran dan beragam jenis selawat. Satu yang sering ia ceritakan selawat nariyah.

Ibu mendidik siswanya demikian. Tidak hanya mencari nilai akademik tinggi, tapi juga pengetahuan agama dikasih porsi besar. 

Suatu waktu, ibu menjadi pembina upacara. Sebelum ia bicara, ia menyuruh siswanya untuk melantunkan selawat nariyah diteruskan dengan surat Al Waqiah. 

Semua membaca lantang dan benar. Kepala sekolah dan ibu guru lain tepuk tangan. 

Ibu bukan mau berbangga. Ia sudah tipikal demikian. Tidak asal menjadi guru, tapi mendidik.

Ia paham kalau dikasih seperti itu, akan membekas di hati dan pikiran siswanya kelak sampai besar. 

Manfaat itu akhirnya diadopsi beberapa guru lain. Orangtua menjadi senang, anak mereka di rumah akhlak makin bagus dan suka menghafal. Padahal, menghafal itu hanya tambahan saja, apalagi ibu bukan guru agama. 

Buat saya, ibu dan beberapa guru lainnya, adalah guru penggerak. Jauh sebelum Nadiem kasih program ini dan heboh sana sini.

Saya pun juga punya guru penggerak ini sejak SD sampai SMA. Ada ibu guru waktu SMA sekaligus pembina OSIS, sudah almarhumah sekarang. 

Cara mendidiknya baik, dekat sama murid, hafal nama murid, keras kalau murid ada salah dan kasih hukuman. Namun, semua dijalani dengan batas kewajaran seorang guru. 

Ia disukai semua siswa. Siswa nakal pun segan. Dijewer, dicukur karena gondrong, disetrap adalah hukuman. Tapi semua siswa menerima dengan baik. 

Kalau ia sudah kasih perintah untuk bawa nama baik sekolah, semua bergerak. Karena semua siswa penggerak, pantas kalau almarhumah disebut guru penggerak. 

Bergerak karena berasal dari kesadaran ditambah pengetahuan dan konsepsi ibadah seorang pendidik.

Saya meyakini, jika kurikulum yang ada selama ini sudah baik. Tinggal, dalam konteks di kampus, teman-teman mahasiswa FKIP ini dikasih ilmu baru tentang dunia zaman sekarang. 

Bahwa nanti anak didiknya bakalan seperti ini. Tidak sama seperti dulu. Sekarang ada Youtube di mana mereka bisa akses dan bahkan kasih komentar untuk bahan ajar gurunya. 

Dikasih tahu psikologi generasi alpha itu seperti apa. Dan sebagainya dan sebagainya.

Kalau mau revolusioner, kita bicaranya kurikulum di kampus untuk mewujudkan guru yang diembel-embeli penggerak tadi. Ketimbang banyak bujet ke arah sini, lebih baik kasih alokasi ke perbaikan di kampus. 

Apa yang diberikan kepada guru supaya jadi guru penggerak, dikasih saja sejak di kampus. Toh semuanya mau jadi guru. 

Jadi, ketimbang repot sekarang guru penggerak yang dari generasinya saja ada yang Y, Z, dan milenial, lebih baik fokus ke mahasiswa.

Kasih semua lokakarya untuk guru penggerak itu kepada mereka di kampus. Injeksi semua ke dalam pesan di kurikulum. Pernbanyak lokakarya yang membuka pikiran dan gagasan mereka. 

Perbanyak pelatihan public speaking, problem solving, menulis, dan lainnya. Jadi, empat tahun mereka kuliah, saat lulus, siap jadi guru penggerak. 

Tidak kerja dua kali itu namanya. Bujet negara bisa diinfiltrasi ke situ.

Kalau demikian adanya, dampaknya luar biasa. Mahasiswa FKIP jelas punya cara pandang bahwa mereka usai lulus jadi guru, jadi guru penggerak, jadi guru motivator, jadi guru penulis, jadi guru seminaris, jadi guru problem solver, dan lainnya. 

Jika itu yang dilakukan, dampak buat pembangunan manusia Indonesia seutuhnya itu agaknya lebih cepat kita realisasikan.

Jangan pendekatannya kayak sekarang ini. Pendekatan program. Pendekatan proyek. 

Menteri Nadiem usai, presiden baru nanti 2024 terpilih, selesai sudah. Sama seperti yang pernah dilakukan Anies Baswedan soal Indonesia Mengajar itu. Cuma menambal sana sini saja tapi secara esensi tidak pernah diperbaiki.

Perbaiki dan tingkatkan saja di tingkat pendidikan tingginya. Itu jauh lebih elegan, lebih hemat, lebih efisien, dan lebih punya dampak. Percayalah! [Adian Saputra]

Foto pinjam dari sini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun