Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Tips Jadi Karyawan Overtarget

7 Februari 2023   07:00 Diperbarui: 7 Februari 2023   07:16 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pekerja kantoran. Sumber kompas.com

Pekerjaan yang kita lakukan di perusahaan pasti sudah ada ketentuannya. Kita bekerja berdasarkan penugasan yang sudah ada standarnya. Kita mesti melakukan apa, mencapai apa, dan sebagainya.

Ada orang yang bekerja itu berpatokan dengan itu. Ia bekerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. 

Selesai kerjaan, dia bisa lega dan bersantai. Pas waktu pulang, ia pulang.

Namun, ada juga ritme bekerja di perusahaan yang konon kurang bisa dijadikan patokan soal waktu. Misalnya bekerja di media massa. Entah itu koran, media daring, televisi, dan lainnya.

Setakat ini, saya memperhatikan, saya dan semua teman yang punya ranah bekerja di media massa, tidak berpatokan dengan itu. Benar memang ada waktu kerja, misalnya delapan jam.

Namun, ada hal di mana waktu kerja kita bertambah tanpa memusingkan apakah kita dapat uang lembur atau tidak. Sepuluh tahun bekerja di koran, saya memaknai itu dengan baik. 

Meski ada ketentuan delapan jam kerja, praktiknya tidak sepeerti itu. Bahkan, lebih sering membuang waktu lebih banyak di kantor meski pekerjaan sudah selesai.

Di sini pula orang media mengejawantahkan kerja tim itu ke dalam praktik yang nyata. Saya akan bercerita beberapa hal sehingga pembaca bisa mahfum.

Sewaktu menjadi asisten redaktur, saya bertanggung jawab memegang satu atau dua halaman. Biasanya kalau jelang Ramadan atau lepas Idulfitri, banyak karyawan ambil cuti. Di divisi redaksi, mereka yang cuti pasti akan mendelegasikan tugas kepada yang tidak ambil cuti.

Namun, pada praktiknya, sering terjadi juga ada ketidaksesuaian. Seseorang yang sudah menerima disposisi pekerjaan, karena merasa sudah letih, tidak mengerjakan tugas yang diemban mereka yang sedang cuti. 

Karena tidak ada yang mengerjakan, tentu sudah pasti halaman koran tidak ada yang mengerjakan. Karena relatif kala itu paling junior, saya ambil peran. 

Saya sudah membaca sejak siang, ada banyak kawan yang cuti, sedangkan halaman yang menjadi tanggung jawab mereka belum dikerjakan. Usai memastikan pekerjaan saya selesai, saya kemudian ambil alih pekerjaan kawan yang cuti. 

Halaman mereka saya bereskan. Tidak hanya satu, dua, bahkan tiga.

Sejak awal saya tidak memedulikan soal ini. Artinya, saya enjoy saja mengerjakan. Toh sama saja yang dikerjakan, masih seputar penyuntingan juga.

Karena halaman sudah kelar semua, begitu pemimpin redaksi datang, dia mengecek halaman apa saja yang belum dikerjakan. 

Karena ia juga tahu bahwa banyak yang cuti, ia kemudian memanggil saya dan meminta saya mengerjakan halaman yang belum.

Saya jawab, sudah saya kerjakan sejak tadi dan semua halaman beres. Dia terkejut, mungkin juga senang karena saya inisiatif. Itu saya lakukan beberapa kali.

Waktu diminta menjadi penanggung jawab online, saya pun demikian. Malam takbiran pun karena memang tugas ya tetap dikerjakan dari kantor. 

Jadi, saat malam Lebaran saya tidak ada di rumah dan berkutat mengisi berita online, itu nyaris rutin. Padahal, bisa saja saya ambil cuti atau meminta teman yang tidak merayakan Lebaran untuk menggantikan. 

Namun, karena merasa tugas itu adalah pekerjaan saya, tetap dilakukan dengan tanggung jawab. Apalagi bagi seorang jurnalis, ya memang tidak ada jam kerja yang saklek.

Usai pindah ke sebuah media online, kelakuan saya tidak berubah. Jika ada instruksi dari pemimpin redaksi membuat berita yang banyak dari sumber yang terbatas, saya lakukan dengan baik. 

Bahkan, suatu waktu pimpinan kaget karena bahan rilis soal survei politik lokal, sudah saya babat habis. Delapan artikel saya kerjakan dari sumber survei jajak pendapat tentang politik lokal itu.

Intinya sih, dalam bekerja itu ada yang namanya kerja tim. Memang tiap orang punya peran. 

Akan tetapi, ada kalanya situasi tidak memungkinkan sehingga ada yang tidak mampu mengerjakan itu. Tidak dikerjakan pun pasti ujungnya kita juga yang mengerjakan. 

Ketimbang menunggu instruksi, mendingan dikerjakan duluan. Sejauh ini, ijtihad kerja saya masih berada di jalan yang benar.

Yang buat saya senang itu kalau pimpinan suruh, tapi kita bilang sudah. Saya senang betul, pimpinan bungah luar biasa. 

Ibaratnya, kita sudah bisa menebak dia maunya apa. Ini yang namanya intuisi pekerjaan. 

Kita bisa menerka apa yang akan diperintahkan pimpinan. Sebelum dia perintah, yang diperintahkan sudah kita kerjakan. Kalau sudah sering demikian, tentu ada catatan tertentu kepada karyawannya itu.

Kalau buat saya, itu tidak penting-penting amat. Pekerjaan itu menjadi napas dan jiwa. 

Kalau sudah dianggap napas, dia akan sangat berharga. Kita bekerja itu tidak sekadar menjalankan perintah, melainkan membawa kemanfaatan yang besar. 

Misi kita adalah melampaui ekspektasi dari orang lain, dalam hal ini pimpinan atau manajemen perusahaan.

Untuk bisa mencapai ini, saya sarikan dari pengalaman sejauh ini, ada beberapa hal yang mesti kita bangun.

Kesatu, inisiatif

Jadi pekerja itu tak melulu menunggu titah atasan. Jadi pekerja itu tidak mesti kaku dalam melakukan aktivitas. 

Kalau ada yang bisa kita bantu, silakan dibantu. Jangan sungkan membantu. Meski orang lain akan merasakan manfaat atas inisiatif kita, percayalah, itu juga akan kembali kepada kita.

Lihat situasi kantor, mana yang bisa kita bikin lebih baik. Selama kita bisa kasih kerjaan untuk meringankan beban orang, silakan dikerjakan. Kalau kita ringankan pekerjaan manusia, saya yakin Allah swt juga akan meringankan beban kita.

Kalau kita tipikal yang sungkan inisiatif, ya memang susah. Ibaratnya, pas lewat depan ruangan ada sampah. 

Kalau kita cuek, sampah itu tetap di situ saja. Tapi kalau kita inisiatif, sampah itu kita pungut lalu kita letakkan di tempat sampah. Itu inisiatif yang kadarnya paling rendah.

Kedua, kreatif

Kreatif ini maksudnya, isi kepala kita selalu bergelantungan gagasan. Ada saja yang mau kita kerjakan. 

Ada saja yang mau kita tulis. Ada saja yang mau kita lakukan. 

Karena itu, sejak sekarang jadilah kita manusia yang kreatif. Kreatif tidak mesti memikirkan sesuatu yang akbar atau sulit dijangkau. 

Kreatif adalah berpikir tentang sesuatu yang baru, memoles yang lama dengan yang baru sehingga menjadi lebih punya makna. Itulah kreatif.

Ketiga, meyakinkan

Waktu terjadi pergantian pimpinan di koran, saya ditempatkan di daring.  Kanal daringnya sangat baru kala itu. Saya sempat ditanya begini.

"Adian, sanggup tidak dalam sehari posting 50 berita?". Saya jawab sanggup.

"Adian, sanggup tidak 70 persen postingan itu hasil reprotase reporter?". Saya jawab juga sanggup.

"Adian, sanggup tidak dalam sebulan ini peringkat kita di Alexa bisa bagus dan masuk seribu besar di Indonesia?". Saya juga jawab sanggup.

Karena jawaban saya memuaskan, pimpinan senang. Performa saya dinilai menjanjikan. Usai keluar dari ruangan pimpinan, baru saya mikir, bagaimana mewujudkan jawaban sanggup saya tadi itu, hahahaha.

Yang penting, kalau ada penugasan, kita bilang sanggup atau mampu atau bisa. Jangan malah banyak alasan pas dikasih tugas. Itu wujud performa kita juga di depan pimpinan.

Keempat, investasi waktu

Waktu kerja memang ada. Namun, kita mesti investasi waktu di luar kerjaan untuk membangun reputasi kita. Maknanya adalah, usai jam kerja, ada alokasi waktu yang kita sediakan untuk membangun jaringan dengan baik.

Carilah sebanyak mungkin teman, baik di kantor maupun luar, atau yang berhubungan dengan kerja kita.

Saya baca biografinya, Lahir untuk Berita, Karni Ilyas mengalokasikan waktu di luar jam kerja regulernya untuk membangun jaringan. Jadi, kalau dulu acara ILC-nya di Tvone banyak peminat, itu karena sejak lama Karni membangun jaringan dengan sangat bagus. Ia punya kenalan dari orang biasa sampai kalangan jenderal. 

Di biografi itu, kita bisa membaca bagaimana sejak muda Karni punya relasi yang luas dan cara kerja yang luar biasa.

Maka itu, semua media massa yang sempat ia tangani menjadi media prestise: koran Suara Karya, majalah Tempo, majalah Forum Keadilan, Liputan6 SCTV, ANTV, dan TVOne. Empat nama terakhir posisi Karni sebagai pucuk pimpinan.

Semoga tulisan ini bermanfaat. Terima kasih sudah membaca dengan saksama. [Adian Saputra]   

Gambar pinjam dari sini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun