Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Menulis di Kompasiana, Merawat Mahkota Bahasa Kita

22 Januari 2023   09:20 Diperbarui: 22 Januari 2023   11:49 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mahkota, sumber dari detiknews.com

Indonesia patut bersyukur ada blog bersama bernama Kompasiana. Edukasi dan literasi yang selama ini degembar-gemborkan secara tidak langsung sudah diejawantahkan oleh PT Kompas Cyber Media sebagai si empunya blog ini.

Mengapa demikian? Sebab, Kompasiana memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada kita untuk menempatkan tulisan beragam jenis. Dari mulai reportase, opini, fiksi, dan lainnya.

Dengan menulis di Kompasiana, berarti tradisi literasi yang hendak dicapai oleh bangsa ini sudah memiliki titik pijak yang baik. Memang, jika dipersentase antara jumlah penduduk Indonesia dengan mereka yang tergabung dalam blog ini tidak ada sekian persennya.

Namun, kekuatan utama media semacam ini adalah kemampuannya untuk mendistribusikan pesan berupa tulisan, gambar, dan video kepada publik. Maka itu, satu tulisan akan menemui pembacanya sendiri meski tidak semua menjadi viral dan menjadi tren yang sontak dibaca orang dalam satu waktu.

Namun setidaknya, dengan menulis di Kompasiana, kita sudah memulai ikhtiar yang bagus dalam dunia literasi. Ketimbang banyak gembar-gembor soal literasi, semestinya entitas pemerintah, mendorong saja warganya untuk aktif di blog ini.

Saya menilai, ini adalah ruang paling sederhana untuk memulai tradisi menulis yang baik. Dahulu orang menempatkan tulisan harian di buku khusus. 

Lambat laun hal itu berubah dengan menyimpannya di media sosial. Semua akun media sosial bisa digunakan untuk menyimpan gagasan yang terimplementasikan dalam tulisan.

Di Kompasiana, saya menilainya cukup tepat. Sebab, kita bisa mendapat tanggapan dari sesama Kompasianers yang membaca tulisan itu. Termasuk dengan menerima beberapa penilaian yang sudah disediakan oleh administrator di blog bersama ini.

Yang menarik buat saya tentu soal kecakapan kita dalam berbahasa. Dengan adanya blog Kompasiana, kita bisa lebih terampil dalam menggunakan bahasa Indonesia. 

Keterampilan itu berbanding lurus dengan kemampuan kita menulis senarai sehingga enak dibaca dan masih dalam kaidah bahasa kita.

Benar bahwa narablog seperti kita relatif lebih lentur dalam menulis. Meski berbasis reportase jurnalistik ataupun artikel, karena kita menulis di blog, gaya kita lebih santai. Mirip seperti kita sedang berbicara secara lisan kepada teman.

Maka itu, bahasa yang lazim digunakan di Kompasiana juga tetap taat dalam pakem bahasa tetapi lentur dalam mendistribusikan gagasan. Saya menilai, ini tradisi yang baik untuk terus dikembangkan.

Kita juga penting untuk mendorong teman-teman agar lebih baik dalam menatahkan kata dan kalimat dalam tulisannya. Hal-hal yang mendasar mesti kita ketahui dengan baik.

Bahasa itu tidak susah. Ia adalah alat menyampaikan gagasan. Dalam konteks ini tentu saja bahasa tulisan. Maka itu, beberapa hal elementer juga patut menjadi perhatian.

Misalnya, ada tulisan yang kemungkinan besar berasal dari hasil penerjemahan teks berbahasa asing. Jika dipergunakan seasli-aslinya penerjemahan, jelas tidak baik hasilnya. Maka itu, teks itu mesti diubah dahulu dan kemudian ditulis ulang sesuai dengan kemampuan kita.

Ada pula yang sesekali saya tengok, pada awal kalimat tidak ditulis dengan huruf kapital. Ini tentu mengherankan. 

Sebab, sejak sekolah dasar kita sudah diberi tahu bahwa menulis di awal kata mesti dengan huruf kapital. Ini barangkali bisa jadi ada kekhususan bagi hal tertentuu. Namun, jika merujuk kepada kelaziman, setiap awal kalimat mesti ditulis dengan huruf kapital.

Saat kita menulis, kita sedang mengutarakan gagasan kepada orang lain. Kita ingin meyakinkan orang lain, dalam konteks ini pembaca, supaya mereka mengerti isi kepala kita. 

Oleh karena itu, saat menulis, kita mengikuti alur berpikir kemudian jemari akan melakukan kehendak dari isi otak kita.

Di saat itulah kita akan mendapatkan hasil tulisan yang sesuai dengan apa yang hendak kita sampaikan. Namun, ada kalanya, pengaturan paragraf kita tidak beraturan. 

Hendak menyampaikan apa, tapi melantur ke hal lain. Seolah-olah setiap kalimat itu berdiri sendiri dan tidak ada koherensi dengan kalimat lain.

Ini ibarat orang, disuruh bercerita tentang bagaimana gajah, ia memaparkan secara sepotong-potong.

Gajah. Lebar. Besar. Telinga besar. Ada gading. Kakinya besar, sekian laporan.

Padahal kita ingin mendapatkan gambaran gajah itu secara utuh hasil dalam pengamatan kita.

Gajah itu mamalia yang sangat besar. Telinganya sangat lebar. Kakinya empat buah kokoh dan besar. Gajah yang dewasa kurang lebih mencapai tinggi sampai tiga meteran. Mamalia ini makan rumput sebagai pakan utamanya.

Jika digambarkan semacam itu kita bisa lebih menerima informasi dengan baik dan tanpa ada potongan informasi yang hilang.

Setakat ini, saya menilai apa yang disajikan narablog di Kompasiana sudah sangat baik. Ada banyak guru, dosen, peneliti, aktivis, mahasiswa, ibu rumah tangga, dokter, ASN, pekerja lepas, pengangguran yang menulis di sini. Kita bisa menikmati ragam tulisan dengan ciamik.

Persoalan kosakata memang menjadi tantangan tersendiri. Termasuk beberapa pilihan kata antara yang baku dan tidak. Maka itu, rajin-rajinlah kita membuka kamus dan menggunakan ragam kosakata di dalamnya.

Saya senang misalnya seorang Kompasianers Suprihati punya kosakata yang cukup baik digunakan. Perhatikan bagaimana Kompasianer ini menulis. Saya menemukan diksi "penganggit" dalam beberapa tulisan narablog yang sering menyebut dirinya Simbok Kebun itu. 

Apa itu "anggit". Mari simak Kamus Besar Bahasa Indonesia.

anggit/ang*git/ v, menganggit/meng*ang*git/ v 1 menyusun (lalang, bilah, dan sebagainya) berangkai-rangkai dengan dicocok tali, rotan, dan sebagainya: ia ~ lalang untuk dijadikan atap; 2 memasang kulit (pada gendang, rebana, dan sebagainya): ~ gendang; 3 menggubah; mengarang: ia ~ gending asmarandana;

anggitan/ang*git*an/ n 1 barang yang dianggit; 2 gubahan; karangan rekaan. Saya senang mendapat kata baru ini.

Pemerhati bahasa Ivan Lanin juga pernah menulis soal garizah. Apa itu garizah? Makna diksi ini adalah intuisi atau insting. Keren, bukan? Makin banyak kosakata baru yang bisa kita gunakan.

Namun, saya juga mencatat ada beberapa kata baku yang masih belum familiar digunakan.

Yang baku itu risiko bukan resiko, izin bukan ijin, nasihat bukan nasehat, praktik bukan praktek, kedaluwarsa bukan kadaluwarsa, camilan bukan cemilan, muruah bukan marwah (saya lebih senang marwah sebetulnya), kontinu bukan kontinyu, Alquran bukan Al Quran, salat bukan shalat, musala bukan mushola, Idulfitri bukan Idul Fitri, dan lainnya.

Kadang pilihan diksi ini juga tak melulu berkaitan dengan apa kata kamus besar. Beberapa media dan penulis masih bertahan dengan kesukaannya menulis diksi yang berbeda karena alasan tertentu.

Misalnya ada yang tetap bertahan menulis shalat, Al Quran, dan lainnya.

Yang sering juga ditemui ada kata bentuk terikat yang ia mesti ditulis serangkai dan tidak dipisah.

Misalnya, pra, pasca (membacanya pasca bukan paska karena ini bahasa Indonesia asli sehingga huruf "c" jangan diubah menjadi "k), semi, sub, dan lainnya.

Maka itu, ketika menulis, yang benar adalah pascapandemi, pascasarjana, pascapanen, pascalulus, pascanikah, dan lainnya.

Pasca tidak serta merta menjadi makna "setelah" ya. Jangan pula mengumbar kata pasca untuk mengganti setelah. Misalnya, pascameninggalnya dan pascaterbakarnya.

Pasca bisa digunakan jika ia direkatkan dengan kata dasar atau kata benda, bukan kata yang sudah mendapat awalan dan akhiran lengkap.

Kemudian, pramusim, pranikah, prakata, prasejajarah, prasekolah, dan sebagainya. Demikian pula untuk subgrup, subbagian, subseksi, subbab, dan sebagainya. Yang lainnya, semifinal dan semipermanen.

Memang bahasa ini kadang bergantung pula pada selera dan citarasa kita. Saya, misalnya, cenderung menyukai marwah ketimbang muruah. Namun, jika mau taat dengan pakem yang ada, yang benar tentu muruah.

Meski demikian, langgam bahasa Indonesia itu ada untuk dijadikan pedoman. Kita mesti menjaga mahkota bahasa itu dengan baik. Manusiawi jika sesekali kita khilaf karena ketidaktahuan atau kita punya alasan tetap dengan pilihan kosakata yang tak baku di kamus. 

Itu semua bisa kita diskusikan di Kompasiana ini. Sekaligus merawat bahasa kita. 

Sekaligus juga meningkatkan kemampuan literasi kita. Selamat menulis. Selamat ber-Kompasiana. [Adian Saputra]

Foto putri Indonesia dengan mahkota nan cantik dipinjam dari sini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun