Maka itu, bahasa yang lazim digunakan di Kompasiana juga tetap taat dalam pakem bahasa tetapi lentur dalam mendistribusikan gagasan. Saya menilai, ini tradisi yang baik untuk terus dikembangkan.
Kita juga penting untuk mendorong teman-teman agar lebih baik dalam menatahkan kata dan kalimat dalam tulisannya. Hal-hal yang mendasar mesti kita ketahui dengan baik.
Bahasa itu tidak susah. Ia adalah alat menyampaikan gagasan. Dalam konteks ini tentu saja bahasa tulisan. Maka itu, beberapa hal elementer juga patut menjadi perhatian.
Misalnya, ada tulisan yang kemungkinan besar berasal dari hasil penerjemahan teks berbahasa asing. Jika dipergunakan seasli-aslinya penerjemahan, jelas tidak baik hasilnya. Maka itu, teks itu mesti diubah dahulu dan kemudian ditulis ulang sesuai dengan kemampuan kita.
Ada pula yang sesekali saya tengok, pada awal kalimat tidak ditulis dengan huruf kapital. Ini tentu mengherankan.Â
Sebab, sejak sekolah dasar kita sudah diberi tahu bahwa menulis di awal kata mesti dengan huruf kapital. Ini barangkali bisa jadi ada kekhususan bagi hal tertentuu. Namun, jika merujuk kepada kelaziman, setiap awal kalimat mesti ditulis dengan huruf kapital.
Saat kita menulis, kita sedang mengutarakan gagasan kepada orang lain. Kita ingin meyakinkan orang lain, dalam konteks ini pembaca, supaya mereka mengerti isi kepala kita.Â
Oleh karena itu, saat menulis, kita mengikuti alur berpikir kemudian jemari akan melakukan kehendak dari isi otak kita.
Di saat itulah kita akan mendapatkan hasil tulisan yang sesuai dengan apa yang hendak kita sampaikan. Namun, ada kalanya, pengaturan paragraf kita tidak beraturan.Â
Hendak menyampaikan apa, tapi melantur ke hal lain. Seolah-olah setiap kalimat itu berdiri sendiri dan tidak ada koherensi dengan kalimat lain.
Ini ibarat orang, disuruh bercerita tentang bagaimana gajah, ia memaparkan secara sepotong-potong.