Namun, saya juga mencatat ada beberapa kata baku yang masih belum familiar digunakan.
Yang baku itu risiko bukan resiko, izin bukan ijin, nasihat bukan nasehat, praktik bukan praktek, kedaluwarsa bukan kadaluwarsa, camilan bukan cemilan, muruah bukan marwah (saya lebih senang marwah sebetulnya), kontinu bukan kontinyu, Alquran bukan Al Quran, salat bukan shalat, musala bukan mushola, Idulfitri bukan Idul Fitri, dan lainnya.
Kadang pilihan diksi ini juga tak melulu berkaitan dengan apa kata kamus besar. Beberapa media dan penulis masih bertahan dengan kesukaannya menulis diksi yang berbeda karena alasan tertentu.
Misalnya ada yang tetap bertahan menulis shalat, Al Quran, dan lainnya.
Yang sering juga ditemui ada kata bentuk terikat yang ia mesti ditulis serangkai dan tidak dipisah.
Misalnya, pra, pasca (membacanya pasca bukan paska karena ini bahasa Indonesia asli sehingga huruf "c" jangan diubah menjadi "k), semi, sub, dan lainnya.
Maka itu, ketika menulis, yang benar adalah pascapandemi, pascasarjana, pascapanen, pascalulus, pascanikah, dan lainnya.
Pasca tidak serta merta menjadi makna "setelah" ya. Jangan pula mengumbar kata pasca untuk mengganti setelah. Misalnya, pascameninggalnya dan pascaterbakarnya.
Pasca bisa digunakan jika ia direkatkan dengan kata dasar atau kata benda, bukan kata yang sudah mendapat awalan dan akhiran lengkap.
Kemudian, pramusim, pranikah, prakata, prasejajarah, prasekolah, dan sebagainya. Demikian pula untuk subgrup, subbagian, subseksi, subbab, dan sebagainya. Yang lainnya, semifinal dan semipermanen.
Memang bahasa ini kadang bergantung pula pada selera dan citarasa kita. Saya, misalnya, cenderung menyukai marwah ketimbang muruah. Namun, jika mau taat dengan pakem yang ada, yang benar tentu muruah.