Mohon tunggu...
Adhye Panritalopi
Adhye Panritalopi Mohon Tunggu... profesional -

Alumni Fak. Hukum Univ. Hasanuddin Makassar#Penyair dari Komunitas Halte Kayu Makassar#Penulis tetap di www.negarahukum.com# "AKAN ada banyak "WARNA" sebagi pilihan, tapi seorang SARJANA HUKUM harus berani menerima "HITAM dan PUTIH" sebaggi REALITA" ___Twitter @adhyjudo__FB: Adhye Panrita Lopi

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Pesan Terakhir

6 Januari 2019   13:52 Diperbarui: 6 Januari 2019   14:02 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

pada empat orang calon pemimpinku:
aku teringat cerita tentang moyang kita dahulu, tentang hembusan nafas di ujung bedil, tentang tulang-tulang yang belum sempat dihitung, pula tentang aroma luka ditubuh yang sampai saat ini masih tercium. amis. terasa amis. sama amisnya janji-janji yang kau ucapkan kemarin sore. dengan nada meragu. dihadapan orang-orang peragu.

pada empat orang calon pemimpinku:
belakangan ini aku mendapati jejak pudar dan napas luruh dimana-mana. inikah penanda bahwa aku dan kau sedang berada dibawah akar kamboja. karena keseringan mengadu. senang di adu. yang sebentar lagi mungkin jadi abu?

pada empat orang calon pemimpinku:
kau yang dahulu mengajariku bermimpi. dan malam ini aku melihat mimpi itu jatuh dan terurai diatas keranda. ada apa?. mungkinkah ini sebatas rindu yang tertukar, sebatas cinta sebagai pengabdi, sebatas kasih kepada yang abadi, ataukah ini wayang berlatar sayang?

pada empat orang calon pemimpinku:
izin aku terus bermimpi, bersamamu, barangkali dalam dua atau tiga kali kesempatan. dan suatu ketika, kita terbang ke atas langit, lalu singgah sejenak di pintu jendela zamanku. disanalah kita mengintip peradaban setiap manusia. dengan senyum tiada henti. aku dan kau berpuas hati ketika masa itu telah tiba. benarkah?

pada empat orang calon pemimpinku:
aku ingin menyimpan sayang yang tak mesti kau jaga. sejak kali ini. dan setelah hari ini. di dalam rongga dadamu. di sela-sela pintu kesadaranku pula. sebab kau dan aku hanya mampu memupuk mimpi yang tumbuh ditengah lautan. itulah alasannya. maka aku dan kau harus tetap bermimpi hingga esok.

pada empat orang calon pemimpinku:
aku percaya bahwa kau akan kembali pada mimpi kita dahulu. dan kelak, mungkin setelah ini. sebelum segala kritik yang mereka lontarkan menjadi buih di laut lepas. seperti kau, yang selalu melepas aib sendiri di depan cermin. bercerminlah !

pada empat orang calon pemimpinku:
kau boleh saja memasang rantai di kaki dan tanganku. di kaki dan tangan-tangan mereka pengagummu. agar tak bercerai-berai. begitu mungkin maksudmu. sambil kau suguhi peluh dan sisa harapan. lalu kau beri kami mabuk kemenangan. yang semu. sembari kau tanam ranjau-ranjau di balik selimut kami. kami mengenang. dan kau sendiri terpajang di bingkai kenangan. inikah yang kau sebut kesenangan?.

pada empat orang calon pemimpinku:
ajari kami cara mengenang. bukan semata soal senang. musuh kami bukan hanya para perompak. pemilik janji-janji belang sepertimu. pun penjajah kelas wahid dari negeri yang kau sebut sebagai neraka. lebih dari itu. musuh kami adalah dongeng. tentang gema suara di ujung zaman. dengan segala cetakan kebohongan. dari kebohongmu. kebohonganku. juga kebohongan mereka yang mengaku nabimu.

______

AdhyPanrita

Negeri Para Daeng, 06 Januari 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun