Mohon tunggu...
M. Adhieska Sheva P.
M. Adhieska Sheva P. Mohon Tunggu... Seorang mahasiswa Hubungan Internasional yang masih kuliah di Universitas Jember

Hanya seseorang yang kadang suka melakukan hal random

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pertarungan Mata Uang dalam Sistem Internasional: Kurs dan Kuasa Negara

2 Mei 2025   12:41 Diperbarui: 2 Mei 2025   12:40 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam lanskap hubungan internasional kontemporer, kekuasaan tidak lagi ditentukan hanya oleh kekuatan militer atau aliansi strategis, melainkan juga oleh alat-alat ekonomi yang tidak kasat mata, salah satunya adalah nilai tukar mata uang atau kurs. Nilai tukar tidak sekadar mencerminkan keseimbangan antara penawaran dan permintaan terhadap mata uang tertentu, tetapi juga mengandung dimensi politik, kekuasaan, dan strategi negara dalam sistem internasional. Dalam kerangka ekonomi politik internasional (EPI), kurs dipahami bukan hanya sebagai instrumen ekonomi, melainkan juga sebagai arena perebutan kekuasaan antarnegara.

Dalam sistem moneter global yang terintegrasi, mata uang menjadi representasi kekuatan ekonomi sekaligus simbol dominasi negara. Negara-negara dengan mata uang kuat dapat mengatur ritme keuangan global, menetapkan standar perdagangan, bahkan menekan negara lain melalui instrumen moneter. Sebaliknya, negara-negara dengan mata uang lemah kerap kali menjadi korban fluktuasi nilai tukar, terjebak dalam utang luar negeri, dan kehilangan kedaulatan ekonominya. Oleh karena itu, kurs menjadi bagian dari dinamika strategis yang patut dikaji dalam studi hubungan internasional dan ekonomi politik global.

Kurs sebagai Alat Politik dan Strategi

Nilai tukar mata uang bukan hanya produk dari mekanisme pasar bebas, tetapi juga dipengaruhi oleh kebijakan negara dan strategi politik yang disengaja. Negara-negara menggunakan kurs sebagai instrumen untuk mencapai tujuan ekonomi dan politik tertentu. Salah satu strategi umum adalah devaluasi mata uang, yakni penurunan nilai tukar untuk meningkatkan daya saing ekspor. Dengan menurunkan harga barang-barang domestik di pasar internasional, negara dapat mendorong ekspor dan memperkuat pertumbuhan ekonominya.

China, misalnya, dalam beberapa dekade terakhir melakukan strategi internasionalisasi yuan (renminbi) sebagai bagian dari ambisinya menantang dominasi dolar Amerika Serikat (AS). Melalui pembentukan jaringan swap agreements, inisiatif Belt and Road (BRI), serta pendirian Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), China mendorong penggunaan yuan dalam transaksi internasional. Meskipun hasilnya belum mampu menandingi dolar, strategi ini mencerminkan upaya negara untuk membangun kedaulatan moneter dalam menghadapi dominasi Barat.

Selain itu, strategi dedolarisasi juga menjadi wujud dari upaya negara-negara seperti Rusia, Iran, dan Tiongkok untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS. Mereka mulai melakukan perdagangan bilateral dengan menggunakan mata uang nasional masing-masing, menciptakan sistem pembayaran alternatif seperti CIPS (China's Cross-Border Interbank Payment System), dan memperkuat cadangan emas. Ini mencerminkan bahwa nilai tukar bukan hanya soal stabilitas ekonomi, tetapi juga berkaitan dengan kedaulatan dan resistensi terhadap dominasi negara adidaya.

Negara Berkembang dalam Pusaran Sistem Moneter Global

Negara berkembang berada dalam posisi yang sangat rentan terhadap dinamika nilai tukar global. Ketergantungan terhadap mata uang asing, terutama dolar, membuat stabilitas ekonomi negara-negara ini sangat tergantung pada kondisi eksternal yang sulit mereka kendalikan. Banyak negara berkembang memiliki utang luar negeri dalam denominasi dolar, sehingga ketika nilai tukar mata uang domestik melemah, beban utang meningkat secara drastis.

Krisis moneter Asia tahun 1997 menjadi contoh klasik bagaimana fluktuasi kurs dapat menghancurkan sistem keuangan negara berkembang. Dimulai dari Thailand, krisis menyebar ke Indonesia, Korea Selatan, dan negara-negara Asia lainnya. Nilai tukar rupiah jatuh dari sekitar Rp2.000 menjadi lebih dari Rp16.000 per dolar dalam waktu kurang dari satu tahun. Inflasi melonjak, perusahaan bangkrut, dan jutaan orang jatuh ke dalam kemiskinan. Intervensi IMF yang datang dengan syarat liberalisasi dan pengetatan fiskal justru memperburuk situasi sosial-politik di Indonesia, yang pada akhirnya mendorong tumbangnya rezim Orde Baru.

Hingga kini, Indonesia dan negara berkembang lainnya terus menghadapi tantangan dalam menjaga kestabilan kurs. Bank sentral harus melakukan intervensi pasar, menaikkan suku bunga, dan menjaga cadangan devisa yang besar agar dapat menghadapi tekanan eksternal. Namun, upaya ini sering mengorbankan pertumbuhan ekonomi domestik dan mempersempit ruang fiskal pemerintah karena suku bunga tinggi membuat biaya pinjaman naik, yang dapat menurunkan investasi dan konsumsi. Ini menunjukkan bahwa dalam sistem internasional, kurs menjadi alat yang memperkuat ketimpangan antara negara pusat dan pinggiran.

Institusi Global dan Ketimpangan Moneter

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun