Mohon tunggu...
Adhi Septian Nugroho
Adhi Septian Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - karyawan

perpajakan, ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Arah Pajak Karbon di Indonesia dan Tantangan Green Economy

3 Mei 2024   16:24 Diperbarui: 3 Mei 2024   16:34 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Pemerintah masih menimbang dampak dalam aspek ekonomi Indonesia apabila pajak karbon ini diterapkan. Indonesia masih mengandalkan produksi batu bara dalam masa pemulihan pasca pandemi Covid-19 sehingga penerapan pajak karbon harus dilaksanakan dengan prudent. Dari sisi makro, implementasi pajak karbon akan mengakibatkan harga energi lebih tinggi. Efektivitas penerapannya bergantung pada besaran tarif yang dikenakan.

Mengutip laman https://www.ssas.co.id/, hasil simulasi dalam penyusunan Naskah Akademi RUU KUP menunjukkan bahwa pajak karbon menyebabkan tekanan negatif bagi perekonomian. Jika kebijakan tersebut dijalankan tanpa adanya aksi tindak lanjut atau follow-up action yang terukur, maka akan menimbulkan tekanan negatif terhadap semua variabel makro ekonomi. Hasil analisa menunjukkan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB), konsumsi riil, dan tenaga kerja (employment) diprediksi akan menjadi lebih rendah. 

Prediksi keluaran (output) nasional akan tumbuh 0,06% lebih rendah dibandingkan kondisi normal atau business as usual (BAU) pada tahun 2022 meskipun penerapan pajak karbon dilakukan secara bertahap yakni US$ 3 per ton CO2e pada tahun 2022, US$ 6 per ton CO2e pada tahun 2023, US$ 12 per ton CO2e pada tahun 2024.

Di sisi lain, seiring dengan peningkatan tingkat pajak pada tahun 2023 dan 2024, jarak (gap) antara pertumbuhan ekonomi dengan kebijakan pajak karbon diprediksi akan semakin lebar menjadi 0,12% dan 0,29% lebih rendah dibandingkan dengan kondisi BAU pada kedua tahun tersebut. Pada periode-periode selanjutnya, meski besaran pajak karbon dipertahankan tetap pada level US$ 12 per ton CO2e, dampak terhadap pertumbuhan ekonomi tidak menghilang, bahkan diprediksi akan semakin besar.

Pada tahun 2030, ekonomi Indonesia kemungkinan akan tumbuh 0,58% lebih rendah dibandingkan kondisi BAU jika Indonesia menerapkan pajak karbon tanpa disertai follow-up actions. Sektor riil juga diprediksi akan mengalami dampak yang lebih besar, saat kebijakan pajak karbon diprediksi akan mengakibatkan konsumsi riil jauh lebih rendah dibandingkan dengan kondisi BAU. Besaran konsumsi riil diprediksi akan 0,417% lebih rendah jika dibandingkan dengan kondisi BAU pada tahun 2022, dan gap tersebut terus melebar hingga mencapai 1,97% pada tahun 2030.

Dikutip dalam laman pajak.com, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan "Pelaksanaan perdagangan karbon yang juga akan dilakukan melalui bursa karbon mulai September 2023 ini harus ada mekanisme insentif dan disinsentif. Karena pajak karbon diperlukan juga untuk mengantisipasi CBAM (Carbon Border Adjustment Mechanism), yang akan diberlakukan di Eropa di tahun 2025. Eropa minta (penetapan bursa karbon) di tahun 2025." 


Selain itu, dikutip dalam laman yang sama Menteri Keuangan dalam acara Green Economy Forum menyatakan "Pajak karbon adalah bagian dari rencana panjang jangka menengah yang disusun untuk terus membawa ekonomi Indonesia ke arah ekonomi rendah karbon emisi. Pajak karbon sudah dituangkan dalam UU HPP dan kita telah mengamanatkan tarif pajak karbon minimal Rp 30 per kg CO2 ekuivalen. Penerapan akan dilakukan secara bertahap dan hati-hati. Artinya, dampak positif diinginkan, tapi dampak negatif diperhatikan. Dengan begitu, perekonomian Indonesia mampu terus berlanjut dari sisi pertumbuhan, stabilitas, namun juga mampu melakukan transformasi."

Penerapan pajak karbon diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi lingkungan dan perekonomian Indonesia. Dari segi lingkungan, pajak karbon dapat membantu Indonesia dalam upaya pencapaian target nasional dalam RAN-GRK sebesar 29 persen pada tahun 2030.

Selain itu, pajak karbon diyakini dapat mendorong penggunaan energi yang lebih bersih dan efisien, serta mengurangi ketergantungan penggunaan bahan bakar fosil. Pajak karbon juga dapat membantu Indonesia mencapai target net zero emission pada tahun 2060, yang sesuai dengan komitmen Indonesia dalam upaya global untuk menanggulangi perubahan iklim. Dengan mengurangi emisi karbon, Indonesia dapat melindungi keanekaragaman hayati, menjaga kesehatan masyarakat, dan mencegah bencana alam yang merupakan dampak dari pemanasan global.                  

Dari segi perekonomian, pajak karbon dapat meningkatkan pendapatan negara. Pendapatan negara tersebut dapat digunakan untuk mendanai program-program yang berkaitan dengan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, seperti pengembangan energi baru terbarukan, rehabilitasi hutan dan lahan, perlindungan keanekaragaman hayati, dan peningkatan ketahanan pangan.

Pajak karbon juga dapat berperan dalam pertumbuhan ekonomi hijau yang berkelanjutan, dengan meningkatkan daya saing dan inovasi di sektor energi. Lapangan kerja baru dan peningkatan kesejahteraan masyarakat juga menjadi harapan dari diterapkannya pajak karbon, terutama bagi masyarakat miskin dan rentan yang paling terdampak oleh perubahan iklim. Terakhir, implementasi pajak karbon dapat memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk berpartisipasi dalam pasar karbon global, baik melalui mekanisme perdagangan karbon, maupun mekanisme kerja sama bilateral atau multilateral dengan negara-negara lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun