Mohon tunggu...
Adhe Ismail Ananda
Adhe Ismail Ananda Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang

 من عرف نفسه فقد عرف ربه

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Belum Lockdown! Korban Corona Terus Bertambah, di Mana Peran Negara?

29 Maret 2020   11:11 Diperbarui: 29 Maret 2020   11:20 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jumlah pasien positif terinfeksi Virus Corona (Covid-19) di Indonesia terus bertambah jumlahnya. Pada Jumat (27/3/2020), angkanya mencapai 1046 kasus. Dari jumlah itu, korban meninggal mencapai 87 orang, dan yang dinyatakan sembuh sebanyak 46 orang. Jumlah penambahan kasus yang cukup signifikan sebagaimana disampaikan Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto, "Ada penambahan kasus cukup signifikan ada 153 kasus  baru yang kita dapatkan" dalam keterangan persnya, digedung BNPB, Jakarta, Jumat (27/3).

Sejauh ini publik mempertanyakan upaya apa yang dilakukan pemerintah dalam menangani penyebaran virus corona yang sudah banyak memakan korban, dan sepertinya kedepan jumlah korban akan terus bertambah apabila pemerintah tidak segera melakukan penanganan yang serius.

Sampai saat ini upaya yang dilakukan pemerintah adalah himbauan social distancing atau physical distancing, yakni himbauan agar masyarakat menjaga interaksi sosial, menghindari keramaian, dan menghimbau untuk berdiam diri dirumah, tentu himbauan ini belumlah berjalan dengan efektif. Karena sangat lemah dari sisi kontrol pemerintah.

Terlebih lagi masyarakat di Indonesia sebagian besar merupakan pekerja harian atau "work in the field" yang umumnya bekerja diluar rumah, mayoritas dengan ekonomi yang relatif rendah dan menggantungkan hidupnya dengan pendapatan harian. Seperti ojek, pedagang keliling, dll.Tentu himbauan untuk berdiam diri di rumah sangat sulit ditaati oleh rakyat. Karena tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Dalam penanganan penyebaran corona pemerintah juga mencanangkan melakukan Rapid Test, yang sampai saat ini sudah dilakukan di beberapa daerah. Rapid Test dilakukan sebagai langkah deteksi awal seseorang terinfeksi virus atau tidak. Rapid Test dilakukan dengan metode pemeriksaan antibodi yang ada di dalam darah, sehingga spesimen yang diambil adalah darah. Saat ini pemerintah dikabarkan telah mendistribusikan 500 ribu alat rapid test ke seluruh provinsi di Indonesia.

Namun Rapid Test ini dinilai kurang efektif dalam penanganan penyebaran virus corona,  belakangan ini diketahui bahwa Sensitivitas alat Rapid Test yang dibeli pemerintah itu hanya 36%, yang harusnya alat yang layak dibeli untuk sebuah alat Rapid Test Sensitivitasnya harus ada di angka 85% . 

Hal ini  mendapat kritikan dari dr. Tifauzia Tyassuma dalam wawancaranya di "Tv One" mengatakan "Next, kalau mau beli apa-apa libatkan dong Ahlinya, Para Dokter Ilmuan Spesialis Patologi Klinik yang mumpuni, atau Dokter Ilmuan seperti Dr Erlina Burhan, Sp.P ini. Jangan belanja sendiri, dan ternyata salah beli. Kan uang itu uang Rakyat, boss."

Hal inilah banyak yang berasumsi bahwa pemerintah Indonesia saat ini tengah melakukan skenario Herd Imunity (kekebalan kawanan) dalam penanganan virus corona. karena diaggap lebih mudah dan tidak menghabiskan dana yang banyak sebagaimana ketika pemerintah melakukan Lockdown.

Dalam opsi Herd Imunity, individu yang rentan dan tidak memiliki kekebalan alami akan menjadi korban yang tak terelakkan. Secara tidak langsung rakyat dipaksa berjuang sendiri melawan corona dengan imun tubuh masing-masing. Pada umumnya, konsep herd imunity bisa tercapai apabila populasi terinfeksi sekitar 70%. Artinya 270 juta rakyat Indonesia x 70% maka sekitar 189 juta orang yang harus terinfeksi virus coroba terlebih dulu. Ini sangat tidak manusiawi bila pemerintah terus menjalankan opsi herd imunity.

Maka tidak ada opsi lain bagi pemerintah selain melakukan Lockdown. Lockdown adalah solusi praktis untuk memutus transmisi sebaran virus corona, sebagaimana yang telah dilakukan negara-negara lain seperti China, Italia, Malaysia, Amerika dan baru-baru ini dilakukan Inggris yang sebelumnya menolak untuk melakukan lockdown. Selama tiga pekan setiap toko dan layanan jasa di Inggris ditutup sementara, dan warga dilarang berkumpul. Pernyataan ini ditegaskan oleh Perdana Menteri (PM) Inggris, Boris Johnson, Selasa (24/3/2020).

Inggris terbilang terlambat melakukan lockdown, pengumuman lockdown dilakukan pemerintah Inggris setelah jumlah korban meninggal akibat virus corona bertambah menjadi 335 orang. Di Indonesia, jumlah korban meninggal masih di bawah Inggris maka sangat relevan bila lockdown dilakukan segera mungkin oleh pemerintah sebagai upaya memutus penyebaran virus corona.

Sampai saat ini Presiden Jokowi sebagai lembaga Eksekutif pemegang kekuasaan. Belum juga memberlakukan lockdown, alasan utamanya adalah karena kedisiplinan dan budaya antara indonesia dan negara yang menerapkan lockdown berbeda-beda. Sebagaimana ditegaskan Presiden Jokowi saat memberi arahan kepada gubernur melalui telekonferensi di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Selasa (21/3/2020).  

Ketika merujuk kepada aturan negara maka aturan soal lockdown atau karantina wilayah tertuang dalam UU NO.6 Thun 2018 tentang Karantina Kesehatan. maka dengan kondisi seperti saat ini, penyebaran corona yang semakin meluas dan terus menambah korban jiwa, sudah sepatutnya pemerintah memberlakukan lockdown atau karantina wilayah.

Namun kuat dugaan langkah lockdown tidak dilakukan pemerintah karena pertimbangan Ekonomi, apalagi dengan melemahnya nilai tukar rupiah pada Senin (23/3/2020) semakin mendekati level terlemah sepanjang sejarah Rp 16.000 per dolar AS. Ditambah lagi sejumlah mega skandal korupsi  yang merugikan perusahaan BUMN. Semakin membuat pemerintah berfikir dua kali untuk memberlakukan lockdown di Indonesia.

Sangat disayangkan sikap pemerintah yang masih enggan melakukan lockdown dalam upaya mengurangi kasus dan korban jiwa akibat virus corona berbanding terbalik dengan sikap pemerintah saat menyelamatkan rupiah. Seperti dikutip CNN Indonesia, Jakarta - Bank Indonesia (BI) sudah menggelontorkan hampir mencapai Rp 300 Triliun guna menguatkan nilai tukar rupiah dari tekanan dolar AS yang terjadi akibat penyebaran wabah virus corona. "kami laporkan, tahun ini, kami sudah menginjeksi rupiah hampir Rp 300 Triliun," ucap Gubernur BI Perry Warjiyo, Jumat (20/3).

Indonesia adalah negara hukum yang mengadopsi konsep Negara Kemakmuran (Welvaarstaat), pada suatu "welvaarstaat" tugas pemerintah adalah mengutamakan kepentingan seluruh rakyat. pastilah negara ini menjunjung tinggi asas "Salus Populi Suprema Lex" (Keselamatan Rakyat Adalah Hukum Tertinggi), tentu saja pemerintah harus lebih memperioritaskan keselamatan rakyatnya dibanding keselamatan ekonomi negara di tengah penyebaran virus corona.

Maka menjadi pertanyaan kalaulah negara rela menggelontorkan 300 Triliun untuk menyelamatkan rupiah, mengapa negara begitu perhitungan menggelontorkan dana untuk menyelamatkan nyawa rakyatnya? Ataukah mungkin saat ini Indonesia menganut konsep negara penjaga malam (Nachtwachterstaat) yang tugasnya hanya menjaga keamanan saja, negara tidak mengurusi urusan rakyatnya?  Disinilah peran dan fungsi negara dipertanyakan, negara tidak boleh hadir hanya menarik pajak rakyatnya saja, namun negara juga wajib hadir untuk melindungi dan menjamin keselamatan rakyatnya.

Pengembalian sebagian pajak dari rakyat untuk rakyat dengan adanya pandemi seperti ini merupakan tindakan yang wajar!
Inilah masa "POLITICAL COMITMENT" masa pembuktian janji, bukan lagi masa "POLITICAL CAMPAIGN" masa mengatakan janji-janji.

Saat berbagai kalangan menyarankan pemerintah untuk melakukan lockdown. Pemerintah justru menebar ketakutan pada masyarakat tentang sejumlah langkah penanggulangan saat lockdown. Seperti, jika lockdown ditempuh akan dianggap Otoriter, akan menyulitkan para pekerja harian mencari nafkah dll.

Padahal sudah jelas diaturan negara ketika pemerintah memberlakukan lockdown atau karantina wilayah kebutuhan dasar rakyat ditanggung oleh pemerintah, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 55 ayat 1 UU No.6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan berbunyi "Selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat".

Masyarakat saat ini tentunya sangat berharap kepada pemerintah untuk memberlakukan lockdown dalam upaya menjaga dan memelihara keselamatan dirinya dari penyebaran virus corona. tidak cukup hanya dengan Lockdown, pemerintah saat ini juga wajib menyediakan layanan kesehatan dan pengobatan gratis. Termasuk memberikan alat dan apa saja yang dibutuhkan rakyat demi menjaga kesehatannya.

Ditengah ketidakjelasan Presiden untuk memberlakukan lockdown, DPR sebagai lembaga legislatif yang merupakan perwakilan rakyat, menjadi harapan besar bagi masyarakat untuk menyuarakan keinginan rakyat kepada pemerintah agar serius memikirkan keselamatan dan nyawa rakyat. Namun sangat disayangkan bukannya menekan pemerintah untuk melakukan lockdown, DPR justru meminta Presiden menerbitkan Perppu untuk menyelamatkan Kekuasaan Presiden. Perppu untuk mengubah prosentase anggaran dalam UU keuangan. Sehingga kembali lagi ekonomi masih menjadi prioritas sementara keselamatan dan nyawa rakyat dinomor duakan.

Ditengah penyebaran virus corona yang semakin banyak memakan korban dan menimbulkan ketakutan rakyat atas kondisi keselamatan dan nyawanya, Pemerintah melalui Bapenas justru sibuk Promosi Ibukota Negara (IKN). Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi bahkan memastikan rencana pindah Ibukota Negara ke Kalimantan Timur terus berlanjut dan tak akan dievaluasi ditengah sentimen pandemi virus corona.

Lalu kita kembali bertanya dimana dan bagaimana peran negara saat ini dalam upaya menjamin kesehatan dan nyawa rakyatnya ditengah penyebaran virus corona yang semakin hari semakin banyak memakan korban. Lantas kemana lagi rakyat meminta pertolongan? Kepada siapa lagi rakyat berharap saat negara lebih mengutamakan ekonomi dibanding nyawa rakyatnya?

Disinilah, akhirnya kita sadar, bahwa kita saat ini tidak sedang hidup di negara impian yang menjamin kebutuhan dan hak manusia, kita saat ini hidup di negara yang menjalankan pemerintahannya berbasis pada kapitalisme, sehingga tak heran ekonomi menjadi prioritas utama dibanding nyawa rakyat. Sebab orientasi dari negara yang berbasis kapitalisme adalah materi berlandaskan asas manfaat.

Maka sebagai umat Islam inilah momentum yang tetap untuk kembali kepada Pemerintahan Islam yakni Khilafah. Sebab dalam Islam kebutuhan atas pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat adalah kewajiban negara. Kemaslahatan dan fasilitas publik (al-mashalih wa al-mafariq) itu wajib disediakan oleh negara secara cuma-cuma sebagai bagian dari peran dan fungsi negara atas upaya mengurusi rakyatnya. Ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW :

 
"Pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR Bukhari).

Islam juga adalah agama yang begitu memuliakan dan menjaga nyawa seorang manusia. Karena itu, Rasulullah sampai mengatakan :

 "Hilangnya dunia lebih ringan bagi Allah, ketimbang terbunuhnya nyawa seorang Muslim"

Islam sebagai agama yang sempurnah dan paripurna (Syamilan wa Kamilan) sejak dari dulu memberikan solusi  untuk mengatasi wabah penyakit menular seperti corona saat ini. Pada zama Rasulullah SAW, jika ada sebuah daerah terjangkit penyakit menular, beliau memerintahkan untuk mengisolasi atau mengkarantina para penderitanya ditempat isolasi khusus, penderita diperiksa secara detail. Lalu dilakukan langkah-langkah pengobatan dengan pantauan ketat. Sebagaimana yang telah disampaikan Rasulullah :

 "Jika kalian mendengar wabah di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya jika wabah itu terjadi ditempat kalian tinggal, janganlah kalian meninggalkan tempat itu (HR Bukhari).

Begitulah solusi Islam dalam menghadapi penyakit menular, yang saat ini kita kenal dengan konsep lockdown.

Kuncinya adalah dengan kembali kepada Allah SWT dengan menerapkan syariah Islam secara menyeluruh. Semua konsep itu  hanya bisa diwujudkan dibawah sistem yang dicontohkan dan ditinggalkan oleh Nabi Saw, lalu dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan Khalifah-Khalifah setelahnya. Itulah sistem Khilafah yang mengikuti Manhaj kenabian. Inilah yang harus kita perjuangkan sekaligus menjadi tanggung jawab seluruh umat Islam.

Wallahu'alam bi ash-shawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun