Mohon tunggu...
FloresNews
FloresNews Mohon Tunggu... Guru - Paulus Tengko

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Birokrasi Entrepreneur & Friendly Leadership

24 Mei 2020   09:35 Diperbarui: 24 Mei 2020   10:01 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Opini

Birokrasi Entrepreneur & Friendly  Leadership

Oleh : Paulus A.R.Tengko

Potret kasus kelaparan yang mengakibatkan rakyat meninggal dunia di era wabah Corona, telah membuka ingatan Prof. Dr. Ramlan Surbakti, MA, guru besar Ilmu Politik pada Program Doktor Ilmu Sosial Unair, yang memunculkan catatan lamanya yang berisi pertanyaan, "Apakah bisa dipadukan antara birokrasi dan inovasi? bukankah keduanya berlawanan?".

Menanggapi hal itu Wahyono (2020) menjelaskan bahwa dalam sosiologi rasanya sulit jika diskusi tentang birokrasi tanpa menyebut Weber. Proyek intelektual Weber adalah rasionalitas, dan dunia menurut dia mengalami rasionalisasi. Salah satu komponen rasionalisasi dunia menurut Weber adalah birokrasi. Eksistensi birokrasi bagi dia adalah tak terelakan dan imperative. Bahkan masa depan dunia adalah birokrasi. Weber yakin tipe pelaksanaan otoritas legal yang paling murni, tidak lain adalah birokrasi.

Melalui metode tipikal-idealnya, Weber menggambarkan bahwa birokrasi adalah organisasi dengan unit-unit dasar seperti jabatan-jabatan diatur secara hierarkis, disertai aturan-aturan, fungsi-fungsi, dan dokumen-dokumen yang memaksa. Di sini birokrasi menjadi sebuah struktur yang memiliki kemampuan mengendalikan tindakan individu, termasuk pimpinan di dalamnya (Wahyono, 2020).

Dalam skema hubungan yang seperti itulah birokrat tidak bisa inovatif dan kemudian muncul konstruksi bahwa birokrat yang baik adalah yang tidak inovatif. Akan tetapi Weber punya sisi optimisnya, jika mengaitkannya dengan aspek makro, yaitu kapitalisme, Ia punya harapan bahwa dalam kapitalisme birokrasi bisa melahirkan kepemimpinan kreatif, setidaknya peluang itu lebih besar daripada dalam sosialisme.

Akan tetapi itu konteksnya masyarakat industri di Barat dengan moda produksi kapitalisme. Di Indonesia menjadi lain perkara. Masyarakat yang agraris dengan moda produksi feodalisme dan kemudian dimapankan oleh struktur sosial politik pemerintahan kolonial Belanda, maka watak birokrasinya menjadi sangat berbeda dengan tipe idealnya Weber, di mana birokrasi bisa efisien dan menjadi mesin pendorong efektif bagi modernisasi (Wahyono 2020).

Birokrasi di Indonesia menjadi arena subur bagi tumbuhnya watak asal bapak senang, apalagi kulturnya "jenggot" menggantung ke atas, sehingga aparat birokrasi merasa eksistensinya bukan pada publik tetapi pada atasan. Maka sebagian birokrat melayani atasan, bukan berorientasi pada pelayanan publik (Wahyono, 2020).

Kasus yang terjadi di Serang mudah-mudahan bukan menjadi gambaran riil bahwa seluruh tataran birokrat belum melakukan inovasi secara maksimal, sehingga masih terdengar jeritan rakyat yang kelaparan. Dalam kasus seperti ini, mudah-mudahan tidak seperti pemeo bahwa aparat birokrasi justru minta dilayani dan bukan melayani kepentingan publik yang menjadi basis eksistensinya (Basrowi, 2020).

Jadi, watak birokrasi yang menjadi struktur pengendali rakyat, ditambah mentalitas priyayi menjadikan para birokrat sulit melahirkan inovasi, dan karena itu birokrasi dan inovasi menjadi dua konsep yang bertentangan, yang seharusnya dipadukan secara revolusioner seperti yang telah dilakukan oleh Jonan ketika memimpin KAI, atau Risma Walikota Surabaya (Wahyono, 2020).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun