Mohon tunggu...
Ade SetiawanSimon
Ade SetiawanSimon Mohon Tunggu... Lainnya - Freelance

Scribo Ergo Sum

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat untuk Sahabat di Timur

2 Maret 2023   12:20 Diperbarui: 2 Maret 2023   12:41 1110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hampir seminggu lamanya usaha rombongan usi Ludo akhirnya tiba di tepian dermaga Atapupu. Sedari enam malam dimulai  perjalanan dari kampung ke rumah ongko Ming di tepi jalan besar, tempat kendaraan sesekali lalu lalang dalam seminggu, kemudian dilanjutkan menumpang dam trek proyek yang entah sebuah keburuntungan melintas pada jalan itu sebelum matahari sempat muncul dari belakang pohon asam depan rumah ongko Ming. Trek  proyek ini membawa kami ke Atambua, sebelum melompat ke dalam dam kosong di belakang, para mama dan saudari perempuan masih sempat mendoakan si sopir berwajah lelah dan mengkilat ketika terpapar sorot lampu truknya, berminyak dan mengantuk tergambar jelas di muka dan matanya, sambil komat kamit sebuah kalimat doa meluncur keluar dari mulut susi Ludo "Tuhan Yesus memberkati om sopir dan konjak".

Bagi kami menempuh perjalanan jauh untuk urusan mendapatkan layanan pendidikan, layanan kesehatan serta akses pelayanan masyarakat lainnya sudah jadi lumrah dan tak perlu dikeluhkan. Kami memakluminya karena menurut penyiar radio nasional, negara ini baru mulai bangkit kembali setelah percobaan kudeta oleh partai kiri beberapa tahun lalu yang membikin republik baru ini hampir rontok diusia muda. Pak guru pernah bilang pada kami dengan wajah serius "kalau di wilayah barat butuh tiga ratus lima puluh tahun untuk merdeka dari penjajah maka kita di timur butuh tiga kali tiga ratus lima puluh tahun lagi untuk bisa terbebas dari ketertinggalan pendidikan, Kesehatan, kesempatan kerja, transportasi dan penerangan serta lain-lainnya. Karena itu kalian harus baca dan terus sekolah biar bisa pangkas tahun-tahun panjang dalam gelap ini." Untuk alasan inilah maka Lando dan Even kami hantar ke Atapupu untuk memperbaiki nasip mereka juga kalau bisa nasip kami di kampung kelak.

Rombongan kami menembus kerumunan pengunjung dan pengantar penumpang jung Ratu Rosari hingga sampai lah kami di ujung dermaga, di sana kami dapat melihat dengan jelas bentukan Ratu Rosari yang bersandar anggun pada bibir dermaga; rombongan kami baru pertama kali inilah melihat bentukan kapal baja dan bisa mengapung di atas air, kami mengaguminya. Sebagai masyarakat yang tinggal jauh dari laut kami punya konsep berpikir sama prihal sebuah alat transportasi air, hal ini kami dapat mungkin dari warisan konsep pemikiran nenek moyang kami yang sejak berabad-abad lalu pernah meninggalkan tempat asal mereka di utara menggunakan perahu cadik hingga sampai di pulau dengan harum cendana; maka terheran-heranlah kami melihat jung dengan seluruh badannya berwarna putih nampak kontras saat pengambang pada air laut di bawah dermaga Atapupu.

Naris nampak lesuh setibanya di penghujung dermaga, ada rasa kehilangan dan kecewa pada keadaan; Lando dan Even menghampirinya dan ketiga anak mudu itu berpelukan dalam diam, untuk alasan keterbatasan ekonomi keluarga Naris harus mengurungkan niat melanjutkan kuliah di Jawa, ini menjadi perpisahan perdana ketiga anak desa untuk alasan peruntungan nasip. Pada momen itu seolah mengingatkan mereka pada kotbah pater Van Rotter pada satu pagi "akhirnya setiap kita akan meninggalkan orang tua, saudara, teman-teman masa kecil serta meninggalkan kampung tempat kita bertumbuh untuk mengejar apa yang kita impikan; karena pada dasarnya setiap manusia datang ke dunia dalam kesendirian, akan berjuang mempertahankan hidup dengan kekuatan dan asa-nya sendiri serta berpulang pada sang Khalik dalam sunyi sendiri. Itu lah kehidupan."

Jung Ratu Rosari stom tiga kali berturut-turut, para klasi menaikkan tangga beranak besi yang menggantung pada bagian luar lambung jung Ratu, perlahan jung itu mulai bergerak meninggalkan bibir dermaga setelah tambatan tali di lepas. Rombongan yang masih ada di atas dermaga masih tanpa henti-hentinya mengagumi jung Ratu Rosari, di bawa terik matahari mereka mematung memandang logam baja besar itu mengapung dan bergerak menjauh dari dermaga, perlahan meninggalkan riak dan ombak pada pantai, semakin kecil dan mengecil meninggalkan pulau, warna kontrak bodi jung Rosari membikin jejak pada mata kami untuk terus memandang kepergian Lando dan Even, perlahan asap pada cerobong jung mulai tak terlihat sampai akhirnya mereka hilang di balik awan pada ujung horizon pulau kami.

***

Seminggu berselang rombongan kami sudah kembali ke kampung di Kuan, setiap kami sudah kembali ke aktifitas harian, usi Ludo setiap pagi berseragam rapih dan bersendal jepit lusuhnya berjalan menuju kantor desa, ia sengaja menenteng sepatunya agar tak kena lumpur selama diperjalanan; lagi pula itu dapat membuat usia sepatu awet seperti umur babi betina pada kandang di belakang rumahnya. Sementara Naris kembali pada rutinitasnya membantu orang tuanya mengumpulkan buah asam, membersihkan kebun, mengembala ternak di padang dan ketika malam menjelang ia mengurusi kelima adiknya belajar pada meja panjang di dapur mama Tres; mulai dari membantu mengerjakan soal aljabar, membantu menghafalkan nama-nama rasul Yesus hingga nama mentri pada kabinet Orde Baru. Ketimbang Even dan Lando, Naris adalah anak cerdas di sekolah bahkan selalu jadi contoh dan siswa kebanggaan kepala sekolah serta bruder asrama mereka.

Itu hari selasa siang, langit di kampung lagi cerah saat Naris dan mama Tres menghamparkan daging buah asam yang sudah dipisahkan dari bijinya untuk dijemur, ama Joni pria yang selalu menggunakan topi berped, berkemeja seragam dan bruk (celana pendek) yang sudah gosok sebelumnya serta bertelanjang kaki, ama Joni si tukang pos masuk ke pekarangan rumah menghampiri mama Tres. Ama Joni pria tua asal pulau Sabu adalah tukang pos di kecamatan kami, ia sudah bekerja sebagai pengantar surat dan pesan sedari belia semasa republik belum merdeka, setelah merdeka dia diangkat menjadi pegawai pos milik republik, setiap hari tugasnya mengantarkan surat dan wesel kepada warga sekitar. Pekerjaan yang sudah dilakoni sepanjang umurnya sekarang. "Susi Tres, ada surat dari Flores" suaranya muncul dari senyum cerianya yang nampak tak pernah mengeluh menjalani hidup ini. "aduhhh ama surat dari siapa itu" mama buru-buru bangun dari duduknya untuk menerima surat dari pak pos, "Naris ini surat dari Lando untuk kaka." Naris berbegas menghampiri mama Tres dan dengan kedua tangannya menerima surat, sambil tersenyum ia berjalan menuju lopo; surat itu bercap kantor pos Posto, segera di sobek ujung amplop putih itu, terdapat dua lembar liapatan kertas di dalamnya dan mulai membaca.

Naris sahabat terbaikku, apa kabar kawan? Semoga kalian sudah sampai di rumah dengan selamat. Saya tulis surat ini saat kami berada di laut Sawu menuju ke Larantuka Flores, kami semua di dalam jung Ratu tak tahan menahan amuk laut Sawu yang membuat sebagian penumpang terkapar lemas termaksud Even; sampai dengan saya menuliskan surat ini sudah tiga kali dia memuntahkan makanan dari lambungnya; untungnya saya tidak terlalu berpengaruh dengan guncangan dalam jung Ratu.

Sahabat, saya minta maaf karena harus meninggalkan kampung untuk melanjutkan kuliah di Jawa, saya berdoa semoga tahun ini jadi tahun yang baik di kampung kita, dengan hasil panen dan harga jual asam, dan berharap tahun depan bapa Norbert bisa mengirimkan kau ke Jawa untuk menyusul kami.

Naris, benar cerita ongko Ming malam itu soal Jung Ratu, jung ini masih sangat baru dan kebanyakan klasi dan pelautnya berasal dari wilayah kita, benar saja jung ini benar-benar dikirim dari Eropa untuk kita di wilayah Timur; Untung saja masih ada Misi yang bekerja di wilayah kita sehingga sebagian dari kita setidaknya bisa memperoleh pendidikan di sekolah yang bagus, keluarga kita bisa dapat pelayanan kesehatan yang baik dari para suster, ada kendaraan bus dan trek dan juga jung Misi yang selalu melintas di wilayah kita; serta ada bengkel kursus menjahit, montir dan pertukangan. Itu sangat membantu orang-orang untuk terus bertahan hidup dan berkembang, dapat saya bayangkan bila Misi tak ada, sudah tumpas kita dimakan jaman dan dilupakan oleh republik ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun