Mohon tunggu...
ADE SETIAWAN
ADE SETIAWAN Mohon Tunggu... Kepala Puskeswan Pandeglang

All is Well

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Ujung Napas Rhino di Ujung Kulon

9 September 2025   21:09 Diperbarui: 9 September 2025   20:55 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Rhino atau Rhinoceros Sondaicus (Sumber: tnujungkulon.menlhk.go.id)

Apakah kita akan tercatat dalam sejarah sebagai penyelamat spesies langka ini, atau hanya sebagai saksi bisu kepunahannya”

Di Kota Badak, daerah tempat saya bekerja ada sebuah kawasan ikonik baru, yaitu Geopark Ujung Kulon. Geopark ini ditetapkan sejak dua tahun lalu untuk melestarikan keanekaragaman geologi, hayati, dan budaya, sekaligus mendorong pembangunan berkelanjutan berbasis wisata alam dan bagian dari pendidikan masyarakat setempat. 

Secara administratif Geopark Ujung Kulon meliputi delapan Kecamatan yaitu Carita, Labuan, Sukaresmi, Pagelaran, Panimbang, Cigeulis, Sumur, dan Kecamatan Cimanggu.

Nah, di kawasan Geopark tersebut terdapat hewan langka di dunia yang kini hanya bisa ditemukan di sini. Hewan itu adalah badak Jawa (Rhinoceros Sondaicus) atau disingkat “Rhino” yang habitatnya berada di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.

Kawasan TNUK sendiri merupakan bagian dari wilayah kerja saya sebagai Kepala Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan), karena secara administratif terletak di Kecamatan Sumur dan Kecamatan Cimanggu, keduanya masih masuk kawasan Geopark Ujung Kulon.

Lokasi ini juga berdekatan dengan Puskeswan Pembantu Kecamatan Cibaliung, tempat saya menempatkan dua orang dokter hewan dan dua paramedik veteriner untuk menjalankan tugas sebagai petugas kesehatan hewan di wilayah paling barat Kabupaten Pandeglang. Dari Puskeswan ini, terkadang kami berkunjung hingga ke kawasan TNUK, yang juga dikenal sebagai salah satu sentra kerbau di Kabupaten Pandeglang.

Beberapa waktu yang lalu, saya sempat berkomunikasi via Whatsapp dengan seorang dokter hewan dari jaringan Satwa Indonesia yang ditugaskan di Ujung Kulon dalam Program K-9 Wildlife.

Program ini merupakan upaya pelestarian satwa dengan memanfaatkan anjing pelacak pengintai untuk mendukung patroli, deteksi, dan perlindungan badak Jawa di TNUK.

Dari sini saya banyak mengetahui seluk-beluk perkembangan badak Jawa yang dalam bahasa setempat dikenal sebagai badak bercula satu.

Saya sendiri beberapa kali mengunjungi kediaman teman yang bermukim di sekitar kawasan TNUK. Sepengetahuan mereka, belum pernah sekalipun melihat langsung Badak Jawa, lantaran satwa ini sangat sensitif terhadap keberadaan manusia. Jumlahnya pun semakin berkurang, meskipun tak seorang pun bisa memastikan berapa sesungguhnya jumlah ekor Badak Jawa yang tersisa.

Kisah Dramatis Rhino di Ujung Kulon

Di Indonesia, tak ada kisah satwa yang sedramatis daripada perjalanan Rhino sang badak Jawa. Dahulu, hewan ini tersebar luas mulai dari daratan India, Asia Tenggara, hingga seluruh Pulau Jawa. Kini, mereka hanya tersisa di satu tempat yakni Taman Nasional Ujung Kulon .

Harapan sempat merekah pada periode 2022–2023, ketika kamera jebak mencatat kelahiran anak-anak badak dan populasi tercatat mencapai sekitar 82 ekor, angka tertinggi dalam beberapa dekade terakhir.

Namun, kegembiraan itu tak bertahan lama. Hasil Tim Investigasi mengungkap adanya perburuan sistematis yang mengungkap kematian misterius sedikitnya 26 badak dalam kurun 2019 s.d 2023. Dalam menjalankan aksinya para pemburu liar disinyalir menggunakan senjata rakitan dan memanfaatkan celah keamanan yang masih longgar di kawasan hutan Ujung Kulon. Walhasil, jumlah populasi Badak Jawa kini diperkirakan hanya sekitar puluhan ekor saja, sejumlah sumber menyebut 50 ekor.

Lantas bagaimana nasib badak Jawa selanjutnya? Apa saja upaya yang sudah dilakukan pemerintah dan masyarakat setempat untuk melestarikannya?

Meski situasi terkini diibaratkan di ujung napas, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tidak tinggal diam.

Salah satu langkah besar yang digagas KLHK adalah merintis Kawasan Studi dan Konservasi Badak Jawa (JRSCA) di Desa Ujungjaya, Kecamatan Sumur, yang diproyeksikan sebagai lokasi populasi kedua (Ujungkulon.net).

Dengan dukungan TNI AL, bahkan simulasi logistik yang dilakukan menggunakan kendaraan amfibi agar pemindahan badak di masa depan dapat berlangsung aman dan minim stres.

Di kawasan ini pula mulai dibangun fasilitas laboratorium, kantor lapangan, dan pondok penelitian sebagai dasar penelitian jangka panjang. Perlindungan habitat di Ujung Kulon juga diperkuat melalui pengamanan jalur akses liar dengan pagar alami di muara sungai (IFAW).

Lain itu, ada kabar baik juga datang dari hutan Ujung Kulon pada tahun 2024. Pasalnya, seekor anak badak betina terekam kamera jebak, yang mengindikasikan telah terjadi perkembangbiakan Badak Jawa di hutan sana.

Ini menjadi sebuah bukti kecil namun penting bahwa spesies ini masih berjuang untuk bertahan hidup

Namun, pemerintah bukan satu-satunya aktor dalam konservasi. Warga di sekitar taman nasional juga berpartisipasi aktif. Mereka membentuk Kelompok Mitra Konservasi untuk membantu patroli, melaporkan aktivitas mencurigakan, dan menjaga jalur rawan perburuan.

Desa-desa penyangga mengembangkan ekowisata edukatif yang menjadikan cerita badak Jawa sebagai daya tarik utama, sehingga warga memperoleh manfaat ekonomi sekaligus menumbuhkan kebanggaan lokal.

Program pertanian ramah lingkungan juga bergerak, mencegah pembukaan lahan baru di hutan dan menyediakan pakan tanaman di luar habitat alami.

Bahkan, sekolah-sekolah di Kabupaten Pandeglang ikut mengenalkan Badak Jawa sejak dini, agar generasi muda tumbuh dengan kesadaran menjaga warisan alam mereka sendiri.

Kini muncul pertanyaan besar! Bagaimana nasib badak Jawa ke depan?

Jika upaya konservasi dijalankan secara konsisten, dengan proteksi ketat, populasi kedua yang nyata, dan partisipasi penuh masyarakat, maka dalam 10–15 tahun populasi Rhini diprediksi bisa stabil, bahkan meningkat (Rewild). Jika ini benar-benar terjadi, maka dunia akan menempatkan Indonesia sebagai contoh keberhasilan penyelamatan satwa paling langka.

Tetapi jika kelengahan terulang, perburuan kembali merajalela, dan habitat tetap tertekan, maka hanya butuh satu generasi untuk menyaksikan punahnya badak Jawa dari muka bumi.

Ada pula risiko yang sering dilupakan yakni bencana alam. Posisi geografis Ujung Kulon yang berhadapan langsung dengan Selat Sunda membuat kawasan ini rawan tsunami, sementara aktivitas Gunung Anak Krakatau (GAK) juga menjadi ancaman nyata.

Jika bencana semacam itu terjadi, seluruh populasi bisa hilang dalam sekejap. Skenario ini mempertegas bahwa membangun populasi kedua bukan sekadar pilihan, melainkan keharusan yang mendesak.

Pada akhirnya, ujung napas badak Jawa ada di tangan manusia. Apakah kita akan tercatat dalam sejarah sebagai penyelamat spesies langka ini, atau hanya sebagai saksi bisu kepunahannya. Wallahua’lam bissawab.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun