Mohon tunggu...
ADE SETIAWAN
ADE SETIAWAN Mohon Tunggu... Kepala Puskeswan Pandeglang

All is Well

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Praktik Menabung Air Hujan di Rumah untuk Stok Musim Kemarau

1 September 2025   19:41 Diperbarui: 2 September 2025   06:57 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Drum-drum plastik berkapasitas 200 liter sebagai wadah penampungan air hujan (Foto : Dokumentasi Pribadi)***

"Menjaga air bukan hanya untuk hari ini, melainkan juga untuk masa depan keluarga, masyarakat, dan lingkungan "

Di keluarga kami, kebutuhan air sehari-hari terasa sudah tercukupi. Sejak beberapa tahun lalu, kami menggunakan sumur bor dengan jet pump sedalam 30 meter. Kami menampungnya untuk persediaan sehari-hari menggunakan Toren Air berkapasitas 500 liter. Airnya melimpah, bahkan hingga sekarang.

Ketersediaan air itu sangat dirasakan oleh keluarga besar setiap hari. Keran di dapur dan mesin cuci selalu lancar. Kamar mandi tidak pernah kekurangan air, bahkan sering juga kami gunakan untuk mencuci mobil atau motor.

Namun, kelimpahan hari ini bukan jaminan untuk esok. Perubahan iklim membuat pola hujan semakin sulit diprediksi. Misalnya, menurut perkiraan cuaca, Agustus 2025 seharusnya musim kemarau. Nyatanya, di tempat saya tinggal, hujan masih turun setidaknya sekali dalam seminggu atau biasa dinamakan kemarau basah. Namun, meski hujan sesekali turun, faktanya tanah cepat mengering lantaran air langsung terserap atau menguap terkena panas terik matahari.

Berbeda dengan kemarau kering yang pernah terjadi di daerah kami. Saat itu, cuaca terasa terik, tanah berdebu diterpa angin. Sebagian sumur warga mengering, debit mata air berkurang, bahkan sawah maupun ladang kekurangan air.

Bagi saya, tinggal di pedesaan membuat kami mendapat sedikit keberuntungan. Pasalnya, tanah yang luas masih mendominasi dibandingkan aspal atau beton seperti di kota. Kondisi ini membantu menjaga cadangan air tanah. Selain itu, aliran mata air di sekitar desa kami masih terus mengalir sepanjang tahun.

Meski begitu, saya sadar tidak semua daerah seberuntung ini. Di banyak tempat lain, terutama saat musim kemarau panjang, masyarakat harus berjuang mencari air bersih. Bahkan, bukan tidak mungkin suatu hari daerah kami pun mengalami hal serupa.

Mengapa bisa begitu? Karena jumlah penduduk terus bertambah, sementara ketersediaan air tetap bahkan cenderung menurun akibat penggunaan berlebihan, baik sengaja maupun tidak. Jika tidak dikendalikan, hal ini dapat menyebabkan turunnya muka tanah dan berkurangnya debit air.

Karena itu, melimpahnya air hari ini tidak boleh membuat kita lengah. Menghemat air bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan. Dengan berhemat, kita ikut menjaga cadangan alam agar tetap tersedia di masa depan sekaligus meringankan beban lingkungan. Intinya, meski terlihat berlebih, kita tetap harus bijak mengelola air. Jadi, hemat dan menabung adalah kuncinya.

Hemat adalah kunci untuk menghadapi berbagai keterbatasan dalam kehidupan, termasuk soal air. Berbicara tentang hemat air, saya teringat cerita para jemaah haji Indonesia yang sering kesulitan berhemat dalam menggunakan air ketika berada di Tanah Suci.

Kita semua tahu, di Mekah, Madinah, dan sebagian besar wilayah Timur Tengah, air merupakan sumber daya yang terbatas. Kondisi ini sangat berbeda dengan di tanah air, di mana air relatif lebih mudah didapatkan.

Kebiasaan inilah yang membuat jemaah Indonesia kerap dianggap boros air. Latar belakangnya sederhana, mereka terbiasa hidup di lingkungan dengan pasokan air yang melimpah. Namun, kebiasaan tersebut jelas tidak bisa diterapkan di daerah dengan ketersediaan air yang terbatas.

Karena itu, penting untuk selalu menyesuaikan pemakaian air dengan situasi dan kondisi setempat. Menurut saya, kuncinya adalah membiasakan diri menggunakan air secukupnya. Pemahaman "secukupnya" pun bisa berbeda tergantung situasi dan kondisi setempat. Di daerah dengan pasokan air melimpah tentu berbeda dengan daerah yang sulit mendapatkan air.

Selain itu, mengendalikan pemakaian air di rumah tangga juga harus menjadi tanggung jawab bersama seluruh anggota keluarga. Tidak hanya soal berhemat, tetapi juga bagaimana kita bisa "menabung" air untuk masa depan yang lebih berkelanjutan, agar merdeka krisis air bersih.

Di sini saya ingin berbagi pengalaman praktik menabung air yang kami lakukan di rumah.

1. Edukasi Hemat Air di Lingkungan Keluarga

Toren Air kapasitas 500 liter untuk kebutuhan rumah tangga (Foto Dokumentasi Pribadi)***
Toren Air kapasitas 500 liter untuk kebutuhan rumah tangga (Foto Dokumentasi Pribadi)***

Meski air terasa melimpah, kebiasaan hemat air tetap perlu dibangun sebagai bagian dari edukasi keluarga. Hal sederhana bisa dimulai dari cara menutup keran dengan benar. Misalnya, saat menyikat gigi, mencuci piring, atau mencuci pakaian dan perabot rumah tangga. Begitu juga saat mandi, gunakan air secukupnya, jangan berlebihan. Bahkan saat mencuci kendaraan pun sebaiknya tidak boros.

Selain itu, tidak semua air bekas harus dibuang. Air cucian beras atau sayur bisa dipakai untuk menyiram tanaman. Air hujan juga bisa ditampung untuk kebutuhan non-konsumsi. Cara-cara kecil ini ringan, ramah lingkungan, dan membuat penggunaan air lebih terkendali.

Artinya, hemat air tidak bisa dilakukan sendirian. Semua anggota keluarga perlu terlibat. Jika kesadaran ini sudah menjadi budaya keluarga, hidup hemat air akan terasa lebih mudah.

2. Menabung Air dengan Embung, Sumur Resapan, dan Biopori

Di sekitar rumah kami terdapat embung, sumur resapan, dan lubang biopori. Semua ini berfungsi menjaga kestabilan air tanah agar ketersediaannya tetap terjaga.

Embung sebagai Kolam Resapan Tadah Hujan

Embung sebagai kolam tadah hujan (Foto: Dokumentasi Pribadi)***
Embung sebagai kolam tadah hujan (Foto: Dokumentasi Pribadi)***

Sudah sejak lama kami membuat embung atau kolam tadah hujan di halaman belakang rumah. Ukurannya 4 x 6 meter dengan kedalaman 1 meter. Embung ini menampung limpasan air hujan sekaligus menyalurkan air yang meluap dari sumur resapan dan lubang biopori di sekitar pekarangan.

Konstruksi dasar embung tidak dilapisi semen sehingga air dapat meresap cepat ke tanah. Itulah sebabnya saat musim hujan pun embung jarang terisi penuh, kecuali ketika hujan deras turun selama berhari-hari. Sebaliknya, di musim kemarau embung bisa surut atau bahkan kering. Dengan demikian, embung berfungsi sebagai tabungan air yang bermanfaat di musim kemarau.

Awalnya, embung kami rancang sebagai kolam ikan lele, tetapi karena air sering surut, fungsinya lebih optimal sebagai resapan air hujan. Kini embung juga menampung sisa air dari kolam ikan yang baru saya buat pada awal 2025.

Sumur Resapan Air Hujan

Drum sumur resapan penampung air limbah rumah tangga (Foto: Dokumentasi Pribadi)***
Drum sumur resapan penampung air limbah rumah tangga (Foto: Dokumentasi Pribadi)***

Saya juga memiliki empat sumur resapan. Dua di antaranya menggunakan drum plastik berkapasitas 200 liter, dan dua lagi menggunakan drum berkapasitas 120 liter. Drum-drum tersebut dikubur di tanah sedalam 0,5-1 meter dengan bagian bawah dan dindingnya dilubangi agar air bisa meresap. 

Di sini air hujan dari pekarangan rumah mula-mula masuk ke lubang biopori. Jika biopori penuh, air mengalir ke sumur resapan. Bila sumur resapan juga penuh, limpasan air akhirnya masuk ke embung.

Selain sumur resapan yang terbuat dari drum, di area dapur kami masih ada sumur gali lama yang sudah tidak berfungsi. Sumur tersebut ditutup bagian atasnya dengan beton tanpa dilakukan pengurugan. Kini, sumur legendaris ini berfungsi menampung air tanah hasil rembesan air hujan.

Lubang Biopori

Lubang biopori sebagai resapan air (Foto: Dokumentasi Pribadi)***
Lubang biopori sebagai resapan air (Foto: Dokumentasi Pribadi)***

Di sekitar rumah terdapat puluhan lubang biopori berdiameter 4 inci dengan kedalaman 1-1,5 meter. Lubang-lubang ini membantu mempercepat resapan air sekaligus menyuburkan tanaman. Biopori di depan rumah saya dimanfaatkan untuk membuang daun kering, sementara biopori di belakang rumah digunakan untuk sampah organik dari dapur.

Hasilnya, pekarangan selalu hijau, pepohonan tumbuh subur, rumput segar, dan tidak ada genangan setiap kali hujan.

3. Menampung Air Hujan untuk Kolam Ikan

Sejak awal tahun saya mencoba budidaya ikan nila dengan dua kolam berukuran 2,5 x 2,5 meter. Untuk mendukungnya, saya membuat penampungan air hujan menggunakan enam drum plastik berkapasitas 200 liter.

Air hujan ditampung lebih dulu di drum agar kotoran dan partikel mengendap sebelum digunakan. Dengan begitu, air yang masuk ke kolam tetap bersih dan masih layak untuk ikan. Penampungan ini juga membantu menghemat listrik lantaran tidak seluruhnya bergantung pada jet pump.

4. Cara Lain yang Kami Praktikan untuk Memanen Air Hujan

Halaman rumah, paving blok, selokan, dan pepohonan sebagai media alami memanen air hujan (Foto: Dokumentasi Pribadi)***
Halaman rumah, paving blok, selokan, dan pepohonan sebagai media alami memanen air hujan (Foto: Dokumentasi Pribadi)***

Selain embung, sumur resapan, biopori, dan drum penampung, kami juga membuat parit resapan (selokan) di samping rumah, membiarkan sebagian pekarangan tetap berupa tanah terbuka dengan rumput, serta menanam banyak beragam pohon buah di sekeliling rumah.

Dari total tanah seluas 1.000 meter persegi yang kami miliki, separuhnya dimanfaatkan sebagai area resapan melalui embung, sumur resapan, pekarangan, dan jalan dengan paving block berpori. Dengan begitu, lebih banyak air hujan yang bisa meresap ke dalam tanah.

Bagi kami, musim hujan adalah berkah sekaligus musim panen air. Dengan cara ini, harapannya ketika musim hujan tidak terjadi banjir, dan ketika musim kemarau panjang tidak mengalami kekeringan. Upaya ini juga mencegah penurunan permukaan air tanah yang kami gunakan melalui jet pump.

Bagi keluarga kami, praktik ini adalah bentuk kontribusi kecil agar air tetap tersedia sepanjang tahun. Air memang anugerah besar, tetapi tidak tak batas.

Walaupun saat ini terasa melimpah, bukan berarti boleh boros. Dengan hidup hemat, memanfaatkan ulang, serta menabung air lewat embung, sumur resapan, dan biopori, kita bisa lebih tenang menghadapi musim kemarau.

Sebab menjaga air bukan hanya untuk hari ini, melainkan juga untuk masa depan keluarga, masyarakat, dan lingkungan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun