Mohon tunggu...
ADE SETIAWAN
ADE SETIAWAN Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Kepala Puskeswan Pandeglang

All is Well

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Tantangan Frugal Living di Tengah Kehidupan yang Serba Materialistis

30 Januari 2024   18:45 Diperbarui: 1 Februari 2024   17:56 5319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Frugal Living atau Hidup Hemat di Tengah Kehidupan yang Serba Materialistis, Realistiskah?

Di tengah-tengah kehidupan masyarakat zaman now yang cenderung serba materialistis, dimana sikap dan nilai-nilai orang hidup lebih mementingkan kekayaan materi secara berlebihan, menerapkan gaya hidup frugal living atau hidup sederhana (baca: hemat) merupakan sebuah tantangan tersendiri.

Sebagai orang yang hidup bersama keluarga Pegawai Negeri Sipil (PNS), saya termasuk orang yang beruntung lantaran telah sejak kecil dilatih hidup secara apa adanya (baca: sederhana) bersama orangtua dan anggota keluarga yang lain. Gaya hidup itulah yang kemudian kini saya terapkan pula dalam lingkungan keluarga yang menurut saya masih relevan dengan zaman sekarang.

Terlebih, sebagai seorang PNS dengan penghasilan yang sudah pasti jumlahnya setiap bulan, ternyata konsep frugal living tanpa kami sadari sudah sejak awal pernikahan sudah kami praktikan sehari-hari.

Saya ingat betul betapa sang istri terkesan begitu pelit dalam mengelola keuangan rumah tangga. Intinya, mengatur keuangan keluarga perlu untuk melakukan pertimbangan yang baik dan kesadaran penuh dalam mengeluarkan dana yang dimiliki. Apalagi dengan sumber pemasukan yang terbatas, di tengah kebutuhan hidup yang dinamis, malah cenderung selalu kurang jika saja kita tidak pandai bersyukur.


Saya menyadari kemudian (baru tahu sekarang hehehe), itulah konsep frugal living versi diri sendiri yang hasilnya kami nikmati sekarang.

Di tengah kehidupan sederhana itu bukan tanpa tantangan. Bahkan kami kerap digoda berbagai fenomena di dunia maya maupun dunia nyata (iklan, teman, dan tetangga) yang begitu mudah mempercayai kemampuan seseorang yang bisa mendatangkan kekayaan secara instan meski tidak rasional dinilai merupakan gejala semakin kuatnya nilai materialisme. Nyatanya, kami tetap hidup sederhana. Bukan tidak ingin bersenang-senang dengan kemewahan. Tapi inilah pilihan hidup yang kami pilih.

Selain itu gaya hidup memang sepatutnya juga direncanakan. Hal tersebut agar pengeluaran disesuaikan dengan kebutuhan prioritas hidup. Jangan sampai prioritas gaya hidup mengabaikan hal-hal yang lebih penting.

Baca : Jurus Ampuh Keluar dari Post Holiday Blues

Gaya Hidup Sederhana Juga Perlu Prioritas

Saya yakin banyak sekali orang yang juga yang telah mempraktikkan gaya hidup ini, Dan sepatutnya para PNS (baca: ASN) atau bekerja dibidang apapun tidak perlu malu untuk memulai kebiasaan baik. Apalagi sebagai pelayan masyarakat, setiap gerak-gerik dan gaya hidup kita menjadi sorotan bagi masyarakat banyak.

Nah, terkait prioritas gaya hidup, kita masih ingat pelajaran sekolah tentang urutan kebutuhan manusia yakni kebutuhan primer yang pokok seperti pangan, sandang, dan papan, serta pendidikan. Kebutuhan sekunder (kebutuhan tambahan setelah kebutuhan pokok terpenuhi), dan kebutuhan tersier (kemewahan dan kesenangan).

Untuk kebutuhan pangan, setidaknya terpenuhi kebutuhan makanan dan minum yang sehat dan bergizi seimbang yang bisa kita makan bersama sehari-hari dengan keluarga. Kebetulan sang istri hobi masak di dapur sehingga meminimalisir pengeluaran untuk makan di luar rumah. Ya, dalam banyak hal, pada akhirnya kami lebih memilih memasak makanan sehat daripada membeli makanan di luar.

Lalu, pemenuhan kebutuhan sandang seperti pakaian seperti baju dan celana, sendal dan sepatu yang layak digunakan untuk menyesuaikan dengan keuangan dan kemanfaatan, terutama untuk keperluan kerja dan sekolah anak-anak. Selera kami juga sederhana dengan hanya membeli produk lokal berkualitas tanpa harus maniak merek top tertentu.

Kemudian, soal pemenuhan kebutuhan papan, setidaknya menyiapkan tempat tinggal permanen yang nyaman untuk beristirahat dan bercengkerama bersama keluarga.

Alhamdulillah segala kebutuhan primer sudah terpenuhi. Sekarang lanjut pemenuhan kebutuhan sekunder. Di sini, kami memilah selektif kebutuhan sekunder lantaran sifatnya yang tidak mendesak atau sebagai pelengkap saja. Di sinilah sang istri terlihat pelit minta ampun, walaupun tujuannya tidak sedangkal itu menurut saya.

Kebutuhan sekunder kan sifatnya mengikuti gaya hidup dan trend budaya yang berkembang di masyarakat. Namun, untuk menyeimbangkan dengan situasi, kondisi, dan toleransi dengan lingkungan sekitar, beberapa kami harus kami penuhi seperti menonton bersama, menikmati wisata keluarga, melengkapi rumah dengan akses internet, memiliki kendaraan (murah) yang nyaman, termasuk menyalurkan hobi masing-masing sesuai selera yang masih bisa dijangkau dengan keuangan keluarga.

Nah, bagaimana untuk pemenuhan kebutuhan tersier? Rasanya belum kepikiran kearah sana. Selain karena kami tidak terlatih bergaya hidup mewah, tentu karena pencapaian finansial kami tidak sampai kearah kemewahan, sebagaimana status kami yang hanya pegawai pemerintah biasa.

Lain itu, sementara ini generasi keluarga kami hanya terlatih hidup sederhana. Jangan-jangan jika kami diberikan kemewahan, justru malah kebablasan yang boleh jadi malahan tidak bisa bersyukur lantaran kelewat mewah. Yah, tahu dirilah!

Terlebih, keluarga kami tidak berminat investasi sebagaimana yang pernah diceritakan beberapa teman dan kerabat yang berinvestasi yang konon kabarnya akan menjadikan kita sebagai seorang financial independence, yakni suatu kondisi keuangan dimana kita mencapai investasi cukup banyak yang relatif aman dan hasilnya mencukupi kebutuhan hidup kita serta sebagian kecil gaya hidup yang tercukupi tanpa harus bekerja lagi secara fisik.

Baca : Obat Mujarab Bagi yang Dimabuk Cinta

Tips Hidup Hemat ala Bunda

Frugal living secara sederhana diartikan sebagai gaya hidup hemat atau irit (tapi bukan pelit ya!) terhadap pengeluaran agar dapat menabung lebih banyak.

Pengalaman saya bersama sang istri (kami memanggilnya Bunda) berhemat di sini secara konkret saya bagikan, barangkali saja ada yang cocok untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

1. Kebiasaan Menabung dan Hindari Hutang

Saat menerima gaji sebagian yang kami (kebetulan saya dan istri bekerja) terima disimpan dalam bentuk tabungan untuk jaga-jaga apabila ada keperluan mendadak tak terduga, keperluan uang kuliah anak (semesteran), maupun kebutuhan lainnya yang dirasa penting.

Untuk bisa menabung konsekuensinya gaji bulanan kita harus bebas dari potongan hutang. Jadi, penting untuk tidak memiliki hutang yang berakibat semakin kecilnya tabungan kita. Apalagi apabila kita berhutang untuk membeli barang konsumtif.

Bisa dibayangkan betapa kacaunya kondisi keuangan jika harus membeli barang konsumtif, yang mungkin saja tidak sepenuhnya dibutuhkan, namun harus dibeli dengan kredit. Mari Hentikan kebiasaan buruk itu sekarang.

2. Belanja Sebulan Sekali dan Sesuai Kebutuhan

Konkretnya kami sekeluarga hanya merencanakan belanja sekali sebulan saat gajian. Cara ini ampuh mengontrol belanja sesuai kebutuhan pokok sehari-hari saja selama sebulan. Ini terbukti menghemat pengeluaran, juga kita bisa mengendalikan belanja sesuai kebutuhan lainnya secara jauh-jauh hari, sehingga masih memungkinkan membeli dengan harga termurah.

Cara ini sudah kami lakukan puluhan tahun. Bahkan sejak saya kecil belanja bulanan (setelah gajian) adalah hal yang rutin dilakukan orangtua saya, sambil mengajak makan bersama, dan ketika itu terkadang nonton bareng di bioskop.

Dengan menerapkan ini secara otomatis tidak ada tuh acara shoping-shoping hehehe. Pun demikian, pada dasarnya semua kita memiliki banyak keinginan dalam hidup.

Namun, kalau kita menuruti keinginan atau kalau kita mengejar trend gaya hidup dipastikan hal itu enggak akan ada habisnya. Jadi, kita bisa memulai cek kebutuhan berapa setiap bulan.

Nah, sisanya bisa ditabungkan atau dipakai kebutuhan lain yang lebih penting. Setidaknya memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Kemudian di cek pula kebutuhan sekundernya, berapa budget yang harus dikeluarkan selama sebulan, per tiga bulanan, atau bahkan pengeluaran tahunan.

Intinya jika dituruti, pengeluaran untuk memenuhi gaya hidup akan jauh lebih besar daripada pengeluaran membeli barang-barang yang benar dibutuhkan. Jadi dapat disimpulkan banyak uang yang dikeluarkan untuk membeli barang yang tidak memberikan manfaat yang sesungguhnya diperlukan.

3. Merawat dan Menjaga Apa yang Kita Miliki

Penting untuk merawat dan sayang terhadap apa yang sudah kita punya. Nah, ini tidak hanya berlaku untuk barang aja ya! tapi juga termasuk untuk merawat dan menjaga kesehatan tubuh supaya tetap sehat dan terhindar dari penyakit.

Nah, untuk barang-barang yang lain juga sama nih misalkan kita di rumah punya kipas angin vacuum cleaner itu kan udah jelas ada instruksinya. Sebulan sekali minimal harus dicuci filternya. Intinya kalau kita punya barang ya kita sayang dan kita rawat.

Contoh semisal lainnya seperti bahan-bahan kulit seperti sepatu, tas disimpan di tempatnya agar enggak jamuran sehingga awet. Jadi sesimpel itu sih kalau mau hidup hemat dan memperpanjang usia barang-barang yang kita punya. Termasuk memelihara kendaraan seperti sepeda, motor, maupun mobil.

Kebetulan dalam keluarga kami ketika memakai atau menggunakan apapun biasanya sampai rusak. Saya dan keluarga biasa tidak membeli sandal atau sepatu bahkan tas, kecuali jika sudah tidak bisa dipakai lagi.

Sebenarnya budaya ini susah untuk dilakukan di zaman sekarang. Tapi begitulah kalau mau berhemat. Termasuk ketika membeli pakaian, handphone, maupun peralatan lainnya. Intinya, tidak memaksakan membeli sesuatu yang baru, padahal barang yang lama masih bisa digunakan. Irit kan!

4. Tidak Terpengaruh Trend Gaya Hidup Mewah

Terus menerus mengikuti perkembangan fashion, gadget, mobil, atau benda-benda lain adalah sesuatu hal yang sangat dihindari dalam konsep frugal living. Harus disadari, trend adalah strategi marketing untuk meningkatkan permintaan konsumen.

Menghindari siklus konsumerisme dan tidak melakukan impulsif buying adalah perilaku yang harus dijaga dalam frugal living. Berhentilah memikirkan ekspektasi orang lain atas diri kita.

Sepengetahuan kami, hidup hemat seperti sekarang ini, membuat kami sekeluarga lebih bahagia dengan menikmati hidup berkualitas melalui standar kemampuan diri sendiri, tanpa harus goyah dengan pendapat orang lain. Pasalnya, hidup sederhana sangat bergantung kepada nilai hidup yang dianut seseorang dan bukan ukuran seberapa banyak kekayaan yang dimiliki.

5. Hidup Bukan Untuk Saat ini saja

Hidup bukan untuk saat ini saja lantaran masih ada hari esok. Masih ada anak-anak yang perlu diperjuangkan, masih ada generasi penerus yang akan menggantungkan hidupnya di bumi ini. Frugal living tidak hanya untuk kebaikan diri sendiri, tapi untuk keberlangsungan bumi.

Dengan penghasilan yang terbatas mau tidak mau kami harus merencanakan gaya hidup yang hemat, tidak menghambur-hamburkan sumber daya dengan percuma, atau tidak makan dengan berlebihan. Bahkan kalau perlu tidak memproduksi sampah yang tidak perlu, dan masih banyak kebiasaan-kebiasaan buruk yang merusak bumi.

Di sini Konsep hidup frugal living diyakini secara langsung maupun tidak langsung dapat berhubungan dengan upaya-upaya menyelematkan bumi dari pencemaran lingkungan.

Nah, bagaimana pembaca! Berminat untuk praktik hidup sederhana ala keluarga kami?

Salam Literasi

Ade Setiawan, 30.01.2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun