Mohon tunggu...
ADE SETIAWAN
ADE SETIAWAN Mohon Tunggu... Kepala Puskeswan Pandeglang

All is Well

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Warisan Arsitektur Kolonialisme di Kota Pandeglang yang Masih Lestari

8 Desember 2023   00:00 Diperbarui: 28 Desember 2023   19:56 2751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung Grha Pancasila (Dokumentasi Pribadi)

Sejumlah warisan arsitektur bangunan peninggalan kolonialisme sampai sekarang masih 'eksis' di pusat ibu kota Kabupaten Pandeglang saat ini.

Keberadaan bangunan-bangunan era kolonial Belanda tersebut sangat penting kedudukannya dalam sejarah perkembangan Kota Pandeglang, mengingat peninggalan itu menjadi bukti sejarah, sehingga perlu dilestarikan keberadaannya.

Terlebih tata letak dengan alun-alun Kota Pandeglang sebagai pusat, dapat dijadikan 'Landmark Pandeglang' yang erat terkait dengan sejarah Banten khususnya, serta sejarah Nusantara secara umum.

Ragam bangunan 'tempo doeloe' itu sekarang dikategorikan sebagai cagar budaya oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Pandeglang. Keberadaannya, sebagian telah dilindungi berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

"Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan," - UU No. 11 Tahun 2010.

Hari ini saya berkesempatan mengunjungi sejumlah bangunan warisan arsitektur kolonial yang terpusat diseputaran jantung kota Pandeglang. Beberapa bangunan itu nampak masih terlihat berdiri kokoh menyerupai bangunan aslinya. Sebagian bangunan lagi sepertinya sudah direnovasi sana-sini, namun masih terlihat bekas-bekas arsitektur aslinya. Ada pula bangunan kuno yang hanya tinggal kenangan lantaran sudah digantikan dengan bangunan baru.

Bangunan - bangunan historis peninggalan kolonialisme Belanda yang masih lestari tersebut diantaranya Pendopo Pandeglang, Eks Gedung Pendopo Kewedanaan Pandeglang, Eks Mess Perwira, Eks Bangunan Rumah Sakit Kewedanaan Pandeglang, Eks Rumah Tahanan, Eks Rumah Asisten Residen Banten untuk Distrik Pandeglang, dan Menara Air 'Water Toren'. Semua bangunan yang saya kunjungi ini terletak di sekeliling (barat, utara, timur, dan selatan) alun-alun Kota Pandeglang.

Baca juga: Kemana Pilihan Politik para Pemula akan Berlabuh?

Gedung Pendopo Bupati Pandeglang 1848

Pendopo Pandeglang (Dokumentasi Pribadi)
Pendopo Pandeglang (Dokumentasi Pribadi)

Gedung Pendopo Kabupaten Pandeglang terletak di sebelah utara alun-alun Kota Pandeglang, tepatnya di Jalan Tb. Asnawi No. 1 Pandeglang Kelurahan Pandeglang, Kecamatan Pandeglang, Kabupaten Pandeglang.

Sejak pertama didirikan sekira tahun 1847/1848, fungsi Pendopo Pandeglang masih sama seperti sejak pertama kali dibangun, yakni sebagai tempat pertemuan. Letaknya bersebelahan dengan rumah dinas bagi para Bupati yang memerintah Kabupaten Pandeglang.

Bentuk bangunan pendopo berupa aula besar, yang ditutupi oleh dinding dengan jendela berbahan kayu, dengan kombinasi kaca. Denah bangunan berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 20 x 20 m.

Kondisi sekarang seluruh tiang telah dicat dan ditinggikan bersamaan dengan pemasangan lantai baru. Lantai saat ini menggunakan bahan marmer berukuran 30 x 30 cm.

Di sisi utara ruangan pendopo, terdapat podium dan partisi terbuat dari kayu. Partisi ini digunakan sebagai pembatas ruang. Tepat di belakang partisi ini terdapat sebuah pintu yang terhubung dengan teras rumah dinas Bupati Pandeglang. Pintu ini berbentuk persegi dengan pilaster di kiri dan kanan pintu serta plengkungan kaca di bagian atas pintu.

Di antara bangunan pendopo dan rumah dinas Bupati Pandeglang, terdapat koridor terbuka namun beratap, terbuat dari bahan fiber transparan berwarja hijau. Atap penghubung ini ditopang oleh 4 pilar yang bagian puncaknya disatukan dengan konstruksi berlengkung.

Baca: Menghalau Kemiskinan Ekstrem

Mengutip artikel Pendopo Kabupaten Pandeglang, Bangunan Kolonial Tanpa Dinding. "Dahulu pendopo ini adalah bangunan terbuka tanpa dinding. Atap pendopo berupa atap tumpang atau bertumpuk dua dengan bentuk limasan. Penutup atapnya menggunakan genteng cetak,"  - kebudayaan.kemdikbud.go.id

"Pada bagian dalam bangunan terdapat empat tiang kayu yang berada tepat di bagian tengah ruangan atau biasa disebut dengan soko guru dan dua belas tiang penyangga lainnya yang mengelilingi ruangan." tulisnya.

"Tiang-tiang tersebut berbentuk persegi dengan ukuran tinggi dan lebar yang berbeda. Empat tiang utama memiliki tinggi 5 meter dengan lebar 0,29 meter. Sedangkan dua belas tiang lainnya memiliki tinggi 3,5 meter dengan lebar 0,23 meter." Demikian sebagaimana ditulis dalam artikel Pendopo Kabupaten Pandeglang, Bangunan Kolonial Tanpa Dinding.

Baca: Vaksinasi Tingkatkan Kualitas Hidup

Sementara rumah dinas Bupati Pandeglang sendiri terletak -- bersebelahan - disebelah utara pendopo (jika melihat dari alun-alun terletak di belakang pendopo)

Melansir artikel Tata Kota Pandeglang, Warisan Kolonial Rasa Lokal. "Bangunan rumah dinas bupati memiliki langgam arsitektur klasik Eropa dengan ciri tiang-tiang bergaya doria di bagian teras utama, jendela -- pintu yang tinggi dan lebar, serta didukung ornamen lain dengan ciri khas eropa." tulis artikel itu.

Namun begitu, terlihat adanya arsitektural tradisional pada bangunan ini, yakni adanya atap bertumpuk seperti pada bangunan Jawa.

Baca: Jalan Berliku untuk Bebas dari Rabies

Eks Pendopo Kewedanaan Pandeglang 1848

Balai Budaya Pandeglang (Dokumentasi Pribadi)
Balai Budaya Pandeglang (Dokumentasi Pribadi)

Bangunan ini terletak di sisi timur alun-alun Kota Pandeglang, tepatnya di Jalan KH. Abdul Halim, Kelurahan Pandeglang Kecamatan Pandeglang.

Bangunan ini diperkirakan dibangun pada tahun 1848. Saat itu Pandeglang masih sebagai ibu kota Banten Tengah, sebuah kewedanaan - wedana - yang membawahi sebuah distrik atau kecamatan.

Eks Gedung Pendopo Kewedanaan Pandeglang kini masih megah berdiri disana. Tetapi dialihfungsikan sebagai Gedung Balai Budaya Kabupaten Pandeglang. Bangunan ini memiliki tatapan yang mengarah ke barat laut, yang berdiri di atas batu setinggi 44 cm dari permukaan tanah serta terdapat dua buah anak tangga.

Ciri arsitektur kolonial dari bangunan ini yakni atap yang berbentuk limasan dan memiliki selasar terbuka yang diberi atap tambahan pada bagian depan dan sisi timur laut -- barat daya bangunan. Lain itu terdapat jendela-jendela dan pintu yang berukuran besar dan tinggi dengan engsel dorong.

Pada selasar bagian depan saat ini ditopang oleh empat buah pilar dan terdapat pagar langkan dari besi setinggi 78 cm. Pada selasar sisi timur laut -- barat daya ditopang oleh tiang-tiang kayu. Bangunan ini memiliki ukuran lebar 20 meter dan panjang 10 meter dengan luas bangunan sekitar 200 m.

Bagian dalam dari bangunan ini di bagi menjadi dua bagian ruang, yaitu ruang bagian depan dan ruang bagian belakang. Ruang bagian depan saat ini dijadikan sebagai museum mini, pada sisi timur laut -- barat daya terdapat masing-masing sebuah ruangan.

Baca: Refleksi Hari Puskeswan Nasional

Eks Rumah Asisten Residen 1918

Markas Kodim 0601 (Dokumentasi Pribadi)
Markas Kodim 0601 (Dokumentasi Pribadi)

Gedung ini terletak di sebelah barat laut alun-alun Kota Pandeglang, tepatnya di Jalan Letnan Mulkita, Kelurahan Pandeglang Kecamatan Pandeglang. Gedung ini merupakan bangunan yang didirikan pada tahun 1918 sebagai rumah Asisten Residen Banten untuk Distrik Pandeglang.

Bangunan ini bergaya arsitektur Neo-Klasik ditandai dengan adanya pilar-pilar di bagian teras depan dan beratap limasan. Ciri khas arsitektur bangunan kolonial juga nampak pada jendela-jendela yang tinggi dan besar, sebuah pintu masuk depan dan komposisi vertikal.

Saat masa kolonial Belanda, bangunan yang merupakan bagian dari gedung perkomplekan ini pernah dijadikan Markas Militer Tentara Belanda. Begitupun pernah dijadikan Markas Militer Tentara Jepang pada saat masa pendudukan.

Setelah kemerdekaan, bangunan ini pernah digunakan sebagai markas Tentara Keamanan Rakyat (TKR) hingga Partai Komunis Indonesia sebelum akhirnya menjadi Markas Komando Distrik Militer (Makodim 0601) Kabupaten Pandeglang pada tahun 1962 hingga saat ini.

Baca juga: Tekan Risiko Anak Stunting Melalui 5 Pilar STBM

Rumah Tahanan Pandeglang 1819

Rutan Pandeglang (Dokumentasi Pribadi)
Rutan Pandeglang (Dokumentasi Pribadi)

Rumah Tahanan (Rutan) zaman Belanda ini didirikan pada tahun 1819. Hingga saat ini bangunan ini masih berfungsi seperti sedia kala sebagai Rutan Pandeglang.

Lokasinya terletak sekira 300 m sebelah barat alun-alun, tepatnya di Jalan Masjid Agung No. 3, Pandeglang. Numun, sangat disayangkan, sekarang kondisinya sudah banyak perubahan pada bangunan ini, yang tanpa menghiraukan konsep pelestarian cagar budaya.

Baca: Waspadai Ancaman Laten Penyakit Mulut dan Kuku pada Ternak

Eks Rumah Sakit Kewedanaan Pandeglang 1925

Eks Rumah Sakit Kewedanaan (Dokumentasi Pribadi)
Eks Rumah Sakit Kewedanaan (Dokumentasi Pribadi)

Bangunan ini terletak di sisi barat alun-alun, tepatnya sekarang berada di Jalan Kesehatan No. 2, Pandeglang. Kondisi bangunan saat ini masih utuh dengan penambahan-penambahan bangunan di sisi timur dan barat, serta tambahan teras di pintu masuk.

Rumah Sakit Kewedanaan Pandeglang ini mulai beroperasi pada 1925. Bangunannya, memiliki gaya arsitektur Neo-Klasik, dengan ciri yang menonjol berupa elemen dekorasi geometris pada bagian atas pintu gerbang.

Bangunan ini dipermanis oleh pilar-pilar kecil dekoratif di pintu depan. Bentuk faade bangunan simetris, memiliki lubang udara di atap bangunan, serta jendela-jendela yang besar dan tinggi.

Bagian yang terlihat unik terdapat pada pintu masuk utama, yakni tiang penyangga kanopi kayu berupa delapan tiang kayu kecil yang berdiri di atas beton.

Dalam arsitektur bagian ini disebut dengan portico yakni konstruksi beratap yang diitumpu oleh kolom atau tiang sebagai ruang peralihan antara luar dan dalam. Bagian ini masih tampak terlihat asli, sama seperti deretan jendela dengan kanopinya. Namun, terdapat tambahan komponen bangunan berupa teras beratap yang posisinya menaungi portico tersebut.

Baca: ASN Harus Siap di Mana Saja

Pintu masuk utama terbuat dari pagar besi menyerupai gerbang. Pada bagian atas pintu "gerbang" ini, terdapat jendela berbentuk setengah lingkaran dengan kaca patri warna warni.

Setelah melewati pintu "gerbang", terdapat lorong sepanjang 3 meter sebagai perantara antara pintu berpagar besi tersebut dengan pintu menuju serambi belakang. Pintu ini berupa pintu dari kaca yang bila diamati dengan baik, kemungkinan dahulunya pintu ini tidak berdaun, hanya berupa pelengkungan saja.

Bangunan berciri kolonial ini masih dipergunakan sebagai Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) hingga tahun 1990-an. Setelahnya, gedung ini dipergunakan sebagai Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Pandeglang. Kemudian, Eks Rumah Sakit Kewedanaan Pandeglang itu difungsikan sebagai Gedung Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Pandeglang sampai sekarang.

Baca: Akreditasi Puskesmas, Kebutuhan ataukah Nambah Pekerjaan?

Menara Air "Water Toren" Pandeglang 1884

Menara Air Pandeglang (Dokumentasi Pribadi)
Menara Air Pandeglang (Dokumentasi Pribadi)

Menara air "Water Toren" terletak di sebelah barat daya eks Rumah Sakit Kewedanaan Pandeglang, tepatnya di Jalan Masjid Agung Kampung Kebon Cau Kelurahan Pandeglang Kecamatan Pandeglang.

Secara arsitektur Menara Air Pandeglang ini dipengaruhi gaya bangunan Eropa yang keberadaannya masih tegak kokoh hingga saat ini.

Menara air dengan tinggi sekitar 25 m ini dibangun pada tahun 1884, terdiri dari dua bagian. Bangunan bagian bawah terbuat dari batu kali yang disusun sedemikian rupa, terdapat pintu masuk yang memiliki lengkung sempurna. Bagian atas berbentuk silindrik terbuat dari semen, yang digunakan sebagai penampungan air.

Tinggi bangunan bagian bawah Menara air terbuat dari batu kali yang disusun sedemikian rupa.

Terdapat sebuah pintu masuk yang berada pada sisi barat daya, dengan dua buah daun pintu berpanil kayu, dan pada bagian atasnya terdapat 'bouvenlicht' berupa panil-panil kaca dengan bagian atasnya berbentuk lengkung sempurna (setengah lingkaran). Pintu ini dulunya merupakan akses untuk memasuki ruang mesin.

Adapun, bagian atas bangunan yang berbentuk silindrik terbuat dari bahan semen. Bagian atas digunakan untuk penampung air, serta pada bagian puncak terdapat ornamen persegi yang terbuat dari kaca.

Di masa lalu 'Water Toren' berfungsi sebagai penyedia air bersih untuk memasok kebutuhan warga Kota Pandeglang dan sekitarnya. Sekarang bangunan bersejarah ini sudah tidak berfungsi, namun kerap dijadikan tempat 'spot selfie' warga saat melintas jalan tersebut karena terlihat 'instagramable'.

Baca: Musim Hujan Tiba

Eks Mess Perwira Belanda

Eks Mess Perwira Belanda (Dokumentasi Pribadi)
Eks Mess Perwira Belanda (Dokumentasi Pribadi)

Sulit menemukan bangunan warisan kolonial di selatan alun-alun saat ini, lantaran sudah banyak yang berubah. Namun menurut informasi, saat zaman kolonial Belanda, bagian selatan alun-alun Kota Pandeglang merupakan Komplek Mess bagi perwira militer dan barak tentara Belanda.

Saat ini bangunan-bangunan legendaris tersebut sebagian besar hanya tinggal kenangan. Sebelah timur di lokasi tersebut (selatan alun-alun) sekarang sudah berdiri gedung modern Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Pandeglang. Sebelah barat di lokasi tersebut (selatan alun-alun) sekarang berdiri gedung baru Grha Pancasila.

Kantor Disdukcapil sendiri, dahulu merupakan bangunan Belanda, tapi kini tak tersisa sedikitpun. Sementara di area yang kini menjadi Grha Pancasila, kabarnya adalah barak militer untuk para prajurit. Lokasi barak konon berada di bagian belakang serta samping mess perwira yang terletak di pinggir jalan raya.

Baca: Mengenal Badak Bercula Satu yang Jadi Maskot FIFA U-17 World Cup Indonesia 2023

Gedung Grha Pancasila (Dokumentasi Pribadi)
Gedung Grha Pancasila (Dokumentasi Pribadi)

Diantara Gedung Disdukcapil dan Grha Pancasila kini kondisinya sudah berubah menjadi cafe-cafe. Yang tersisa hanya satu bangunan eks mess -- rumah - perwira. Bangunan ini terletak tepat di selatan alun-alun Kota Pandeglang, tepatnya di Jalan KH. M. Idrus, Kelurahan Pandeglang Kecamatan Pandeglang. Sejak tahun 1999, bangunan ini beralih fungsi dan kepemilikan menjadi rumah milik pribadi.

Kendati begitu, kondisi bangunan eks mess perwira Belanda saat ini terlihat masih utuh. Arsitektur bangunannya mengacu pada gaya Indis dengan atap plafon tinggi yang ditandai dengan adanya teras, jendela yang besar dan tinggi, serta atap limasan. Serta dinding tembok tebal yang merupakan ciri khas arsitektur Belanda.

Baca: Pesan untuk Guru di Hari Guru

Kota Pandeglang, Warisan Kolonial Rasa Lokal

Gedung Disdukcapil Pandeglang (Dokumentasi Pribadi)
Gedung Disdukcapil Pandeglang (Dokumentasi Pribadi)

Pada tahun 1819, pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Van der Capellen, Banten diubah menjadi dua kabupaten, yakni Banten Utara dan Banten Selatan.

Perubahan terjadi lagi pada tahun 1828, Banten menjadi tiga kabupaten, yakni Banten Utara dengan ibukota Serang, Banten Barat beribukota di Caringin, dan Banten Selatan beribukota di Lebak.

Tahun 1854, Banten dibagi menjadi empat kabupaten dengan menambah satu kabupaten baru, yakni Banten Tengah yang beribukota di Pandeglang.

Adapun ketetapan hukum Kabupaten Pandeglang sebagai kabupaten berdasarkan Ordonansi tanggal 1 Maret 1874, yang mulai diberlakukan tanggal 1 April 1874, yang membawahi sembilan distrik atau kewedanaan.

Sejarahnya, Kota Pandeglang merupakan kota bentukan Kolonialisme Belanda. Ibu kotanya terletak di Kecamatan Pandeglang. Oleh karenanya sejak awal di tengah ibu kota yakni Kecamatan Pandeglang sudah dilengkapi dengan bangunan-bangunan untuk mendukung kegiatan pemerintahan pada masa itu.

Baca juga: Demi Masa Depan Anak, Guru dan Orangtua Dituntut Kompak

Tata Kota Pandeglang sendiri merupakan bentuk 'akulturasi' dan adaptasi dari tata kota lokal di Pulau Jawa dengan tata kota kolonial.

Tata kota lokal ditunjukkan dengan adanya alun-alun dan pendopo. Sementara itu, tata kota kolonial ditunjukkan dari langgam dan arsitektural bangunan yang bergaya Eropa, serta keletakan bangunan pemerintah di utara, timur dan barat alun-alun.

Tata letak tersebut berbeda dengan tata kota lokal Jawa yang memusatkan pemerintah di selatan alun-alun. Perpaduan dua budaya tersebut itulah mengapa kemudian disebut "Tata Kota Pandeglang, Warisan Kolonial Rasa Lokal"

Ade Setiawan, 07.12.2023

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun