"Matka! Kakak-bunda. Aku sudah membungkus mereka dalam damai. Lihatlah wajah mereka, sudah kaku dan dingin di dekat perapian musim salju.
Dengan tawa yang begitu luasnya kami menyambut pagi dan menikmati aroma darah pada cangkir kopi yang sudah berganti warna.Â
"Mataku sudah terbuat hilang untuk sementara waktu." Kataku sambil menari bersama mata-mata yang terkumpul malam minggu ini.
"Kau hebat! Mari kita nikmati tubuh mereka diperapian sekali lagi sebelum matahari semakin terik." Kakak-bunda mengajak kami melihat tubuh-tubuh itu di atas dinding perapian.
"Lihatlah! Ketampanan Bung Arman sudah kita abadikan di dinding kenyamanan."
"Kakak-bunda! Apakah kau puas semalaman tadi?"
"Ya aku sudah puas, bagaimana denganmu, Matka?"
"Aku lebih puas lagi karena telah menggiring kalian untuk kenikmatan yang sangat indah ini! Hahaha."
Matahari mulai semakin terik saja, Matka membuka jendela dan membiarkan matahari masuk dan membakar tubuh-tubuh yang berada di dinding dekat perapian.
"Sayang, aku ikhlas terbakar demi senyuman di wajah cantikmu." Kembali Opa Jack memberikan suaranya untuk yang terakhir kalinya.
Sedangkan Om Arman hanya tersenyum dalam damai, sedamai-damainya.
Jakarta, 17 November 2019
Penulis Erin Adelia Napitupulu