Malam minggu ini hati semakin resah, ketika Matka dan Bunda-kakak memanggil-manggil namaku, untuk masuk dan mengikuti semua kisah, yang akan mereka kisahkan di antara gelap yang semakin gulita.Â
Ada sedikit keraguan untuk memasuki wahana mistis yang mereka bawakan. Sebab kupikir ini malam minggu, sudah seharusnya aku meminjam wajah kekasih orang, untuk membahagiakan rasa sepi, yang semakin membuat aku terjebak kedalam bagian ruh-ruh malam Jumat, yang pada akhirnya muncul di malam minggu.
"Ubus, datanglah!" Kembali Matka memanggil namaku.
"Ayolah, Ubus! Temani kami." Kakak-bunda memanggil dan membujuk untuk ikut serta, dalam kenistaan yang akan membantai malam minggu ini, menjadi bait paling durjana.
Maka akhirnya dengan kesempurnaan rasa sepi ini pada akhirnya aku datang memenuhi panggilan mereka.
"Koyak Bung Arman, Bus!"
Maka dengan lembaran bait paling sembunyi, aku mencoba merobek gawang ketampanan, yang membuat kakak-bunda terpesona sehingga melupakan misi utamanya.
"Om Arman, maafkanlah aku!"Â
"Krekkk ...!"
Batang lehernya mulai mengeluarkan darah segar, yang menggoda Matka untuk lebih liar lagi, memainkan jemarinya ke arah bagian yang paling penting.
"Ubus, akhirnya aku mendapatkan jantungnya!" Kata kakak-bunda.
Sedangkan Matka masih asik dengan jemarinya, untuk memainkan lagi bagian tubuh yang lain dan mengumpulkan banyak darah.
"Jangan berhenti, Sayang! Aku akan menikmati wajahmu saat mencabik-cabik bagian tubuhku yang lainnya." Om Arman tersenyum dengan ketampanan yang melunturkan hati kakak-bunda dan pada akhirnya dia terjebak delusi untuk mengakhiri rutinitas kesadisannya.
"Jangan berhenti!" Kata Matka membuat lamunan kakak-bunda semakin sadar misi awalnya.
"Hai hai hai! Aku datang dengan segala cinta yang kumiliki untuk semua orang."
"Cantik dia, Ubus!"
"Tidakkk ... Jangan! Dia opaku."
Demi langit dan bumi yang menjadi saksinya
aku adalah Angkara murka dari sebuah dunia lain yang ingin berkuasa
maka jangan biarkan pagi datang sesegera mungkin dan menggagalkan rencana kami
Aku hanya diam sambil memandang semua ketidaknormalan berjalan begitu singkat. Ya aku harus mengorbankan Opa Jack dan Om Arman demi kebahagiaan Matka. Maka demi senyuman di wajah mereka aku maju dan mulai melakukan semua aksi yang seharusnya dilakukan secepat mungkin.
"Matka! Kakak-bunda. Aku sudah membungkus mereka dalam damai. Lihatlah wajah mereka, sudah kaku dan dingin di dekat perapian musim salju.
Dengan tawa yang begitu luasnya kami menyambut pagi dan menikmati aroma darah pada cangkir kopi yang sudah berganti warna.Â
"Mataku sudah terbuat hilang untuk sementara waktu." Kataku sambil menari bersama mata-mata yang terkumpul malam minggu ini.
"Kau hebat! Mari kita nikmati tubuh mereka diperapian sekali lagi sebelum matahari semakin terik." Kakak-bunda mengajak kami melihat tubuh-tubuh itu di atas dinding perapian.
"Lihatlah! Ketampanan Bung Arman sudah kita abadikan di dinding kenyamanan."
"Kakak-bunda! Apakah kau puas semalaman tadi?"
"Ya aku sudah puas, bagaimana denganmu, Matka?"
"Aku lebih puas lagi karena telah menggiring kalian untuk kenikmatan yang sangat indah ini! Hahaha."
Matahari mulai semakin terik saja, Matka membuka jendela dan membiarkan matahari masuk dan membakar tubuh-tubuh yang berada di dinding dekat perapian.
"Sayang, aku ikhlas terbakar demi senyuman di wajah cantikmu." Kembali Opa Jack memberikan suaranya untuk yang terakhir kalinya.
Sedangkan Om Arman hanya tersenyum dalam damai, sedamai-damainya.
Jakarta, 17 November 2019
Penulis Erin Adelia Napitupulu