Dalam jagat pendidikan Jawa Barat, kita kembali disuguhi drama kebijakan yang lebih cocok menjadi naskah sinetron ketimbang hasil diskusi akademik. Pemerintah Provinsi Jawa Barat, lewat Gubernurnya, melempar gagasan baru: guru dilarang memberi pekerjaan rumah (PR) kepada murid. Konon, alasannya demi mengurangi beban siswa dan meningkatkan waktu kebersamaan keluarga. Manis terdengar, populis terasa. Tapi sayangnya, dangkal secara struktur.
Sementara itu, PR Gubernur sendiri justru menumpuk tak selesai:
1. Angka putus sekolah yang masih tinggi.
2. Ketimpangan kualitas pendidikan antardaerah.
3. Guru honorer yang hidup dari upah di bawah UMR.
4. Sekolah negeri yang kekurangan ruang kelas dan guru mapel.
5. Sampai masalah gizi buruk dan pernikahan dini yang belum tertangani serius.
Alih-alih membereskan itu, Gubernur kita memilih mengintervensi ranah pedagogik yang selama ini dijaga dengan ketat oleh profesionalisme guru. Pertanyaannya sederhana: siapa yang memberi mandat pada Gubernur untuk menilai PR sebagai musuh pendidikan? Dan lebih penting lagi: kapan terakhir kali Gubernur menyelesaikan PR-nya sendiri.
Melarang PR memang terdengar "ramah siswa", tetapi juga mengandung aroma "ramah suara pemilih". Di zaman algoritma dan filter Instagram, kebijakan tak lagi diuji lewat nalar, tapi lewat engagement rate. Hasilnya? Pendidikan jadi bahan konten. Guru jadi objek eksperimen. Dan siswa yang merupakan anak-anak kita jadi korban dari kebijakan yang ingin cepat disukai, tapi tak disusun dengan hati-hati.
Gagasan ini mengingatkan kita pada gejala yang disebut "populisme edukasi": sebuah kecenderungan pejabat publik mengeluarkan kebijakan pendidikan berdasarkan intuisi politik, bukan berdasarkan hasil penelitian, evaluasi sistem, atau konsultasi dengan komunitas pendidik. PR dihapus karena "terdengar baik". Bukan karena terbukti buruk.
Pergunu Jawa Barat, melalui Dr. Saepuloh, telah menjawab dengan elegan dan tegas: PR bukan masalah, asal diberikan dengan cerdas dan proporsional. Justru larangan PR adalah bentuk intervensi yang mengganggu otonomi profesional guru. Dalam sistem pendidikan yang sehat, guru adalah pemimpin pembelajaran di kelasnya, bukan sekadar pelaksana kehendak politikus daerah.
Ketika kepala daerah ikut campur tangan tanpa dasar pedagogik, yang terjadi adalah dekonstruksi kepercayaan publik terhadap profesi guru. Kita seakan berkata kepada guru: "kami minta Anda mencerdaskan bangsa, tapi kami tidak percaya pada keputusan Anda di ruang kelas." Ironi ini adalah pukulan bagi semangat Merdeka Belajar, yang selama ini diagung-agungkan.
Masih Banyak PR Gubernur Yang Menumpuk dan Belum Terselesaikan.
Sebelum sibuk mengatur jumlah soal matematika yang dibawa anak pulang, ada baiknya Gubernur duduk sejenak dan mengecek daftar PR-nya sendiri: