Oleh: Ade Imam Julipar
24-06-2021
Â
Panta rhei kai uden menei. Semuanya mengalir, tidak ada yang tetap.
Herakleitos, seorang Filsuf dari Yunani Pra Socratic, 2500 tahun yang lalu mengatakan hal ini. Semuanya dalam perubahan. Tidak ada yang established. Â Demikian juga dengan sebuah brand. Yang lama akan tergantikan yang baru.Â
Â
Sepekan yang lalu, saat konferensi pers Timnas Portugal menjelang pertandingan Euro 2020 pertamanya melawan Hungaria , Cristiano Ronaldo melakukan aksi yang cukup membuat mata penonton melongo terheran-heran. Apa pasal? Sebelum berbicara, di kiri depan meja dia ada 2 botol Coca cola dan 1 botol air mineral. Dia memindahkan 2 botol Coca cola itu ke sebelah kanan meja sampai tidak kelihatan kamera, kemudian dia mengambil botol yang berisi air mineral sambil berkata: "Water.....not Coca cola."
Â
Hiruk pikuk lah jagat maya dengan kejadian ini. Ada yang pro dan ada yang kontra.Â
Â
Yang pro dengan tindakan Cristiano Ronaldo sebagian besar adalah pendukung pola hidup sehat. Karena minuman soda dianggap tidak sehat. Dan Coca cola adalah iconic dari semua minuman soda.Â
Â
Sedangkan yang kontra adalah orang yang mengagung-agungkan etika bisnis. Karena tindakan itu tidak menghormati Coca cola sebagai salah satu sponsor  Euro 2020.
Â
Terlepas dari pro kontra atas tindakan yang dilakukan  Cristiano Ronaldo, ada hal menarik yang sedang terjadi di era milenial ini. Brand-brand yang berjaya dulu, ternyata tidak memiliki ikatan historical dengan generasi Z sekarang ini.
Â
Padahal ketika era 70, 80, dan bahkan 90-an , orang minum minuman soda (baca: Coca cola) Â memiliki gengsi tersendiri. Coca cola, Marlboro, Levi's, merupakan identitas sebuah status sosial. Eksistensi status sosial disimbolkan dengan brand-brand tersebut.Â
Â
Kapitalisme global bukan hanya menjual Coca cola, Marlboro, Â dan Levi's ketika itu, tetapi juga sepaket juga dengan MTV dan: Â Hak Asasi Manusia. Ya, HAM adalah produk dari kapitalisme global yang sangat laku sebagai komoditas di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Â
Seiring berjalannya waktu, kaum Milenial memiliki kesadaran kelas nya sendiri. Mereka tidak lagi memiliki benang merah dengan brand-brand produk kapitalisme global itu. Mereka memutus simbol-simbol eksistensi generasi sebelumnya.Â
Â
Mereka bebas memilih. Di zaman digital ini, informasi tidak sepihak. Tidak seperti zaman MTV. Masyarakat hanya pasif menerima apa yang disuguhkan di layar televisi. Kalau sekarang, mereka mau menonton apa, tinggal mencari sesuai keinginan. Hegemoni komunikasi satu arah sudah putus belenggunya. Mereka tidak bisa dibodohi lagi dengan narasi tentang simbol status sosial yang pada kenyataannya adalah gimmick. Â
Â
Saya sendiri hidup di dua kaki yang menginjak tempat berbeda. Kaki yang satu di Generasi X, sedangkan kaki yang lainnya di Generasi Z.  Artinya, saya mengalami dan merasakan hegemoni dalam bentuk brand-brand itu. Mereka telah mengungkung Mindset yang harusnya  bebas dengan pilihan deterministik. Sebuah pilihan yang tidak bisa tidak. Jadi, terjebak pada sebuah situasi yang fait accompli. Kemudian datanglah sebuah semangat zaman yang disebut Milenial. Sebuah semangat zaman yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Kaum ini hidup dengan Mindset yang lebih bebas.
Â
Mereka lebih cerdas dari generasi sebelumnya untuk memilih apa yang menurut mereka baik. Sama seperti kasus Cristiano Ronaldo yang lebih memilih air mineral dibanding Coca cola. Inilah yang disebut dalam istilah saya: Kecerdasan Milenial. Sebuah kecerdasan dalam menentukan pilihan di era digital. Sebuah keberanian  untuk mendobrak segala kemapanan yang memang sengaja dibangun untuk melanggengkan hegemoni atas satu golongan terhadap golongan lain.
Â
Salam