Gilang,
Semalam engkau mengerjakan tugas online mata pelajaran bahasa Indonesia. Tugas itu tentang editorial dan contohnya. Guru bahasa Indonesia-mu menyuruh engkau mencari editorial yang membahas masalah aktual belakangan ini, yaitu tentang Undang-undang Cipta Kerja.
Editorial adalah sudut pandang orang-orang yang mengelola salah satu media terhadap sebuah persoalan yang sedang hangat. Ini pengertian editorial. Mungkin engkau menemukan definisi lain yang didapat dari buku LKS atau hasil dari googling. Mungkin redaksinya bisa berbeda, tetapi maknanya seperti itu.
Undang-undang cipta kerja banyak menuai pro dan kontra. Yang pro tentu saja dari pihak yang merasa diuntungkan dengan diberlakukannya undang-undang itu. Dan yang kontra dari pihak yang merasa dirugikan.
Aku sendiri belum sempat membaca undang-undang yang tebalnya 1028 halaman itu. Walaupun ada kesempatan untuk membacanya, aku tidak berniat membacanya. Kenapa? Karena sudah sering aku katakan di berbagai kesempatan--baik di artikel yang aku tulis di Kompasiana, di beberapa buku aku yang sudah diterbitkan, maupun ketika berbicara di radio Pass FM dalam acara opini--- undang-undang hanya digantikan undang-undang, itu ibarat balsem, hanya menghilangkan rasa sakit, tapi tidak menyembuhkan penyakit itu sendiri.
Karena akar persoalan dari bangsa ini adalah sistemnya, bukan undang-undangnya. Sistem yang sudah dipunggungi oleh para pengambil keputusan negeri ini.
Gilang,
Aku urutkan jenjang peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara ini:Â
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Â Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Coba engkau perhatikan urutan di atas. Di mana letak Pancasila dalam jenjang peraturan perundang-undangan itu? Tidak ada! Ya, tidak ada. Karena Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum! Jadi, semua dan segala perundang-undangan yang berlaku harus tunduk dan senafas dengan jiwa Pancasila.
Gilang,
Konon, semangat undang-undang cipta kerja  itu supaya investor merasa nyaman di negeri ini, sehingga mereka bisa lebih banyak menanamkan modal di sini, yang pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi? Untuk siapa?
Jadi, para pengambil keputusan itu lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi dibanding pemerataan ekonomi. Sedangkan jelas-jelas dalam sila kelima dari Pancasila berbunyi: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Lah, ini? Keadilan bagi segelintir orang yang ada di Indonesia.
Gilang,
Engkau harus hafal Pancasila. Karena ini Pancasila adalah bukan hanya dasar bernegara, tetapi tujuan kita bernegara juga. Sering dikatakan juga Pancasila adalah sebagai meja statis atau alat pemersatu dan kedua leidstar dinamis atau sebagai bintang penunjuk arah. Engkau tahu apa yang terjadi jika negara tanpa tujuan? Kita akan terjebak dalam pertarungan berbagai pemikiran. Dengan Pancasila kita semua jadi selangkah dan seirama dalam berbangsa.
Gilang,
Undang-undang cipta kerja telah mengoyak Lex superior derogat legi inferior. Engkau tahu artinya? Itu Asas hukum tinggi mengesampingkan hukum rendah. Dengan dalih pertumbuhan ekonomi mengorbankan pemerataan ekonomi.
Ada hal lucu lain di negeri ini. Untuk mengetahui tingkat kesejahteraan rakyat, pemerintah menggunakan pendapatan per kapita sebagai alat ukurnya. Aku jelaskan kenapa ini sebuah hal lucu. Cara menghitung pendapatan perkapita adalah membagi Gross Domestic Product (GDP) dengan jumlah penduduk. GDP adalah jumlah laba hasil semua usaha kapital (modal) yang ada di negeri ini.
Aku ambil contoh, GDP triwulan II tahun 2020 sebesar Rp. 3.687 triliun. Nah, angka ini dibagi jumlah penduduk Indonesia yang per 30 Juni ini sebanyak 268.583.016 jiwa. Â Setelah melalui proses perhitungan, akhirnya didapat angka 161.917 per Hari. Jadi, semua dan setiap orang disamakan pendapatannya.
Jadi, seorang penjual Lumpia di pojok pasar Royal, disamakan pendapatannya dengan Sri Pakash Lohia. Atau Tukang kue putu yang biasa lewat komplek, disamakan penghasilannya dengan Prajogo Pangestu. Atau mungkin juga seorang pedagang gayung yang biasa mangkal di pasar malam jalan irigasi Sipon disamakan penghasilannya dengan Chairul Tanjung. Sesuatu yang ajaib bukan?
Terdengar seperti rima sempurna dari larik-larik sebuah puisi, tetapi itulah kenyataan yang terjadi. Perhitungan pendapatan per kapita untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini. Tidak ada pemerataan, yang ada dengan dalih pertumbuhan ekonomi, segelintir orang mendapatkan keuntungan dari situasi ini.
Dan itu yang terjadi di undang-undang cipta kerja yang menjadi tugas mata pelajaran bahasa Indonesia-mu.
Peluk cium dari bapakmu,
Ade Imam Julipar