Konon, semangat undang-undang cipta kerja  itu supaya investor merasa nyaman di negeri ini, sehingga mereka bisa lebih banyak menanamkan modal di sini, yang pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi? Untuk siapa?
Jadi, para pengambil keputusan itu lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi dibanding pemerataan ekonomi. Sedangkan jelas-jelas dalam sila kelima dari Pancasila berbunyi: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Lah, ini? Keadilan bagi segelintir orang yang ada di Indonesia.
Gilang,
Engkau harus hafal Pancasila. Karena ini Pancasila adalah bukan hanya dasar bernegara, tetapi tujuan kita bernegara juga. Sering dikatakan juga Pancasila adalah sebagai meja statis atau alat pemersatu dan kedua leidstar dinamis atau sebagai bintang penunjuk arah. Engkau tahu apa yang terjadi jika negara tanpa tujuan? Kita akan terjebak dalam pertarungan berbagai pemikiran. Dengan Pancasila kita semua jadi selangkah dan seirama dalam berbangsa.
Gilang,
Undang-undang cipta kerja telah mengoyak Lex superior derogat legi inferior. Engkau tahu artinya? Itu Asas hukum tinggi mengesampingkan hukum rendah. Dengan dalih pertumbuhan ekonomi mengorbankan pemerataan ekonomi.
Ada hal lucu lain di negeri ini. Untuk mengetahui tingkat kesejahteraan rakyat, pemerintah menggunakan pendapatan per kapita sebagai alat ukurnya. Aku jelaskan kenapa ini sebuah hal lucu. Cara menghitung pendapatan perkapita adalah membagi Gross Domestic Product (GDP) dengan jumlah penduduk. GDP adalah jumlah laba hasil semua usaha kapital (modal) yang ada di negeri ini.
Aku ambil contoh, GDP triwulan II tahun 2020 sebesar Rp. 3.687 triliun. Nah, angka ini dibagi jumlah penduduk Indonesia yang per 30 Juni ini sebanyak 268.583.016 jiwa. Â Setelah melalui proses perhitungan, akhirnya didapat angka 161.917 per Hari. Jadi, semua dan setiap orang disamakan pendapatannya.
Jadi, seorang penjual Lumpia di pojok pasar Royal, disamakan pendapatannya dengan Sri Pakash Lohia. Atau Tukang kue putu yang biasa lewat komplek, disamakan penghasilannya dengan Prajogo Pangestu. Atau mungkin juga seorang pedagang gayung yang biasa mangkal di pasar malam jalan irigasi Sipon disamakan penghasilannya dengan Chairul Tanjung. Sesuatu yang ajaib bukan?
Terdengar seperti rima sempurna dari larik-larik sebuah puisi, tetapi itulah kenyataan yang terjadi. Perhitungan pendapatan per kapita untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini. Tidak ada pemerataan, yang ada dengan dalih pertumbuhan ekonomi, segelintir orang mendapatkan keuntungan dari situasi ini.
Dan itu yang terjadi di undang-undang cipta kerja yang menjadi tugas mata pelajaran bahasa Indonesia-mu.
Peluk cium dari bapakmu,
Ade Imam Julipar