Mohon tunggu...
Ade Damayanti
Ade Damayanti Mohon Tunggu... pecinta buku, musik, kopi

Pecinta buku, musik, kopi. Suka juga belajar desain grafis, branding, social media marketing, copy writing, online learning, dan bikin pantun.

Selanjutnya

Tutup

Book

Review buku "Obrolan Sukab" - Seno Gumira Ajidarma

1 September 2025   16:27 Diperbarui: 1 September 2025   19:04 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Obrolan Sukab - Seno Gumira Ajidarma (Sumber: foto pribadi)

Review buku "Obrolan Sukab"

Buku tentang politik yang dikemas secara unik, asik, dan menggelitik.

Judul: Obrolan Sukab
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Ilustrasi: Dodo Karundeng
Penerbit: GPU, cet 1 Februari 2023
Tebal: 440 hlm.

"Cahaya emas mentari semburat dalem ademnya pagi. Debu-debu nyang nempel di dedaunan kelap-kelip kayak serbuk emas aje. Sayap kupu-kupu ngembang dalem keantengan bentar, kegelar nantangin apiknye gambar nyang paling mahal di dunie" (hal 87).


Di salah satu sudut di kota metropolitan Jakarta, di pinggiran jalan tol, terlihat sebuah warung makan kecil, bangunan liar tanpa izin usaha dan izin-izin sejenisnya, tidak pernah bayar pajak dan  sampai halaman akhir buku ini, warung ini tidak digusur oleh proyek Jakarta yang selalu membangun infrastrukturnya sampai lupa membangun manusianya.

Sebuah warung kecil, pemiliknya bernama Mang Ayat. Pelanggan loyalnya umumnya adalah pekerja harian. Sukab (tukang gali harian dengan modal badan yang sehat, tenaga, pacul, dan pengki). Bahlul (tukang obat keliling, biasa menggelar dagangannya di keramaian yang menurut dia potensial mendatangkan pembeli, hemat tanpa harus bayar sewa tempat). Sanip (buruh bangunan, hampir mirip seperti Sukab). Dul Kompreng (kernet mikrolet, masih aktif beroperasi karena Mikrotrans/JakLingko belum beroperasi di trayeknya). Jali (tukang ojek non aplikasi, yang hampir kalah bersaing dengan driver ojek aplikasi dan pada akhirrnya beradaptasi dengan perkembangan zaman menjadi driver ojek online). Vincent (Abang dosen, pelanggan warung yang mengenyam bangku pendidikan tinggi). Udin (teman Sukab). Bang Otot (teman Sukab). Rohayah (tukang sapu/cleaning service di gedung kantor pemerintahan). Ada lagi pengunjung lainnya: Jali, Hasan, Mamik, Siti, Rohayah.

Dalam menjalanakan usaha warungnya, Mang Ayat kadang dibantu oleh kemenakannya Yati. Dilihat dari menunya, warung ini sangat lengkap tidak sebanding dengan ukuran besar warungnya. Di warung ini sedia: nasi uduk, nasi, ulam, nasi lemak, nasi kebuli, nasi gokil, tidak ketinggalan nasi goreng kampung. Kadang di hari libur, Mang Ayat menyediakan menu khusus "bubur". Selain menu utama, ada juga cemilan seperti ketan lupis, pisang goreng, tempe mendoan, tahu bacem, dan lauk lainnya. Warung ini memang warung ajaib super lengkap. Kopi andalannya adalah kopi jagung sasetan yang disajikan panas mengepul.

Ibarat dalam sebuah pertandingan olahraga, ada komentator. Maka Sukab dkk pengunjung warung ini adalah komentator pemerintahan negeri ini. Di warung Mang Ayat ada televisi kecil. Mereka juga adalah pekerja harian yang tiap siang pergi keluar menjalankan profesi masing-masing. Sudah pasti mereka selalu update akan peristiwa terkini. Di warung Mang Ayat mereka memulai hari, kemudian kumpul lagi selesai bekerja. Di sinilah mereka beradu argumen dan mengomentarai isu-isu dan peristiwa yang sedang hangat saat itu. Diskusi "anabel" (analisis gembel) sebutannya. Ya karena mereka bukan ahli politik, bukan ahli komunikasi, dan diskusi ini pun tidak disorot media jika para ahli politik dan akademisi sedang beradu argumen di televisi. Bahan diskusi mereka pun tidak berdasarkan data atau sumber yang ilmiah. Namun obrolan politik mereka selalu seru karena setiap pelanggan yang sedang mampir ke situ pasti ikut nimbrung memberikan pendapatnya masing-masing. Biasanya, Sukab lah yang memulai melempar topik obrolan.

Di warung ini, semua tema obrolan bisa menjadi perdebatan seru. Perbincangan politik dilihat dari pandangan rakyat kecil. Lihat saja tema-tema berikut. Pemilu, penculikan para aktivis, kelakuan para politisi, isu korupsi, isu seseorang yang menjadi korban politik SARA, isu survei politik yang kenetralannya kerap diragukan karena hasil polingnya biasanya memenangkan pihak sponsor poling. Isu jendral yang mengorbankan anaknya keluar dari sekolah tentara demi dinasti politik. Isu pembangunan yang memang sampai saat ini belum merata. Proyek-proyek pembangunan presiden di calon ibukota baru. Sampai penanganan pandemi yang diterapkan pemerintah dan berdampak langsung bagi mereka yang mencari rezeki harian dan tidak mungkin melakukan WFH.

Tokoh-tokoh dalam buku ini adalah fiksional. Namun mereka mewakili suara masyarakat yang tidak mampu bersuara dan mungkin juga tidak ada pejabat yang mau mendengar suara mereka. Mereka hidup di masa pemerintahan Presiden Jokowi dan masa pandemi. Sukab dkk yang penghasilannya harian harus mengalami dan melewati masa pandemi. Salah satu kawan mereka bahkan ada yang meninggal karena covid. Sebagai pekerja tukang gali, Sukab pun pernah mendapat order pekerjaan menjadi penggali kubur untuk para korban covid. Warung kecil Mang Ayat walau tidak mewah dan kapasitas pengunjungnya juga tidak banyak, namun selama masa pandemi warung ini disiplin menjalankan protokol kesehatan. Jarak duduk antar pengunjung diberi jarak. Dan selalu tersedia masker untuk pengunjung. Mang Ayat yang sudah tergolong sepuh, harus libur dulu tugas di warung selama masa pandemi , digantikan oleh keponakannya.

Dialog dalam buku ini menggunakan bahasa betawi atau bahasa Jakarta. Menurut saya sebagai native speaker berbahasa betawi, bahasa betawi yang digunakan agak terlalu memaksakan jadi kadang agak kesulitan memahami maknanya. Dalam bahasa betawi sesungguhnya tidak semua kata harus berakhiran huruf "e". Contoh kata "pore-pore" akan lebih enak dibaca jika menjadi "pura-pura". Kata "cumak", lebih enak jika menjadi "cuman". Padahal para pengunjung warung adalah para pendatang yang bukan warga asli betawi. Tapi kenapa mereka menggunakan bahasa betawi dalam percakapan mereka.

Buku ini adalah kumpulan tulisan Seno Gumira Ajidarma dalam rubrik "Udar Rasa" di harian Kompas, tahun 2016 sampai 2018. Sketsa masyarakat, tulisannya bentuknya seperti fiksi, cara penyampaiannya santai kadang lucu menggelitik. Ada beberapa tulisan yang batal terbit di Kompas karena alasan "keamanan" atau entah alasan lainnya, akhirnya diterbitkan di buku ini.

Seru bangat baca buku ini. Ini adalah buku politik yang disampaikan secara menggelitik, asyik dan kadang sampai ketawa mengikik. Disertai ilustrasi di setiap cerita. Ilustrasi yang terlihat seperti coretan pensil, namun lucu dan ada pesan politiknya. Sukab dan kawan-kawan mewakili suara-suara kaum pinggiran, menyuarakan mereka yang tidak mampu bersuara. Mereka bukan ahli politik, tidak juga terlalu paham mengenai politik. Namun kebijakan politik mempengaruhi kehidupan mereka.

"Nggak semue orang ngomongin politik, tapi politik ntu ikut ngebawa nasib semua orang". (hal 161)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun