"Sebagai orang beriman dan berakal sehat, kita harus terus mengkaji sejarah warisan nenek moyang. Kita juga harus berani mengkritisi, bila perlu kita tulis ulang sejarah dengan perspektif yang lebih objektif dan berbeda. Tidak perlu menulis sejarah yang dihasilkan dengan cara menjilat para penguasa demi mendapat kepingan uang dari mereka. Tidak perlu pula merekayasa sejarah dengan menampilkan orang-orang suci berjubah putih yang katanya gemar mengasihi, nyatanya gemar menyiksa orang lain hanya karena berbeda keyakinan dan pendapat..."
         Seseorang berbaju hitam yang dari tadi duduk di bagian depan tiba-tiba mengeluarkan sebuah pistol, lalu mengarahkan moncongnya ke arah Profesor Daqiq.
        "Dor!!!"
        Suara tembakan bergema di ruang masjid. Peluru itu tepat mengenai kepalanya yang seketika menyemburkan darah merah segar ke mimbar. Jamaah seketika berhamburan keluar, menjauh dari lelaki misterius pembawa pistol.
        "Matilah kau Daqiq, semoga kau masuk ke dalam neraka!" Ujar lelaki misterius itu.
        Darah merah terus mengucur deras dari kepala Profesor Daqiq. Ia menjadi korban keganasan laki-laki tak dikenal karena pemikiran kontroversialnya. Di negeri itu ternyata, perbedaan pendapat masih menjadi sesuatu yang tabu untuk dibicarakan. Perbedaan pendapat hanyalah sebuah slogan untuk melegitimasi bahwa orang boleh dibunuh karena dianggap sesat, menyimpang, dan keliru.
        Semenjak itu, orang-orang tidak berani lagi menyampaikan gagasan yang berbeda. Mereka takut tak lagi berumur panjang jika harus melawan arus pemikiran yang melawan dari kebiasaan umum. Ruang-ruang dialog tertutup, tak ada lagi keragaman. Hanya ada satu kata "seragam." Pemikiran out of the box tidak laku, orang-orang lebih memilih diam dan patuh daripada harus dijemput Malaikat Izrail.
        Seperti kata Profesor Daqiq, sejarah ditulis melalui pertumpahan darah, yaitu dengan peperangan, pembunuhan, dan kezaliman. Bahkan, orang-orang yang mencoba meluruskan makna sejarah, harus mati di tangan sejarah itu sendiri.
*****