"Wahai manusia, gara-gara ulahmu kini, aku menjadi kotor!" Tiba-tiba ada suara menggema.
Kiki terkejut, dia tidak tahu dari mana asal suara tersebut.
"Suara siapa itu?" Tanya Kiki panik bercampur khawatir.
"Aku adalah laut. Yang setiap saat kau ambil garamnya. Yang setiap saat kamu pandangi alamnya. Yang setiap hari kau ambil ikannya. Tega-teganya kamu kotori aku, hingga aku tidak bisa lagi memberi manfaat pada makhluk lain."
"Itu bukan ulahku wahai laut. Itu adalah ulah teman-temanku. Aku dan keluargaku tidak pernah mengotorimu. Setiap kali aku mengunjungimu, aku selalu membuang sampah ditempat yang telah tersedia. Lalu....."
"Bohong!!! Jika kamu benar-benar peduli terhadapku, mengapa kamu tidak pernah mengajak orang-orang disekitar agar mau mengikuti langkah-langkahmu? Kamu justru membiarkan mereka merusak diriku secara perlahan. Entah itu dengan membuang limbah dan sampah sembarangan, maupun menggunakan bahan peledak saat mencari ikan."
Kiki hanya terdiam. Apa yang dikatakan laut benar, selama ini dia dan keluarganya tidak pernah mensosialisasikan pentingnya menjaga laut kepada orang lain. Ayah, ibu, Kiki, dan kakaknya hanya sebatas memberi imbauan dalam lingkup kecil, yaitu hanya untuk kalangan mereka sendiri, mereka belum sempat memberi tahu orang lain disekitar mereka.
"Wahai manusia, ketahuilah, karena ulah bangsamu, aku menjadi kotor. Aku yang tadinya bersih dan jernih, kini hanya bisa menjadi tempat pembuangan sampah. Apabila aliran airku kotor, maka laut akan memarahiku. Bagiamana pun juga, aliran air laut berasal dariku. Jika aliranku bersih, dapat dipastikan laut pun juga bersih, namun jika aku kotor, maka laut akan kotor pula."
"Lalu apa yang harus aku lakukan?" Tanya Kiki pada sungai dan laut.
"Kamu benar-benar mau membantu kami?" Laut bertanya pada Kiki.
"Ya, selama bisa ku usahakan, aku akan membantumu."