Mohon tunggu...
Addina Faizati
Addina Faizati Mohon Tunggu...

http://addinaf.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pure Little Thought about AFTA2015 in (Junior) Architect’s Perspective

4 Maret 2014   17:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:15 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Pertama kali saya mendengar dan atau membaca AFTA saya otomatis mengerutkan dahi. Kemudian saya lanjutkan dengan browsing info mengenai apa itu AFTA. The first thing that popped out of my mind was; “Oh, ini kah yang orang orang sering sebut tentang perdagangan bebas bea cukai?”. I’m not economic-based student nor do politic-based and something similar like those. Saya bergelut di bidang arsitektur, yang sedikit banyak bisa dibilang merepet ke properti dan seharusnya banyak memahami mengenai perkembangan ekonomi, terutama di Indonesia.

Sebagai fresh-graduate Major Arsitektur, jujur saja saya kurang banyak memahami dunia perekonomian, data, prosentase, dan keuntungan, maupun kerugian AFTA dan korelasinya dengan kesiapan dan kondisi perekonomian dan politik Indonesia saat ini. Maka saya memutuskan akan berbicara mengenai AFTA2015 dari perspektif saya dari bidang saya, arsitektur, dengan kapabilitas saya sebagai seorang junior arsitek yang memang baru seumur jagung bergerak di dunia ini.

Let’s say it is a pure thought of child about AFTA.

I’ve read a little bit about AFTA through the internet and also almost all of the post titled AFTA in Kompasiana. Kesimpulan yang saya ambil dan sedikit saya pahami mengenai AFTA adalah, AFTA adalah sebuah perjanjian yang terjadi pada sekumpulan negara yang tergabung dalam organisasi ASEAN yang sampai saat ini terdiri dari 10 negara yaitu Singapura, Malaysia, Brunnei Darussalam, Thailand, Filipina, Indonesia, Vietnam, Kamboja, Timor Leste, dan Myanmar. Perjanjian ini memiliki tujuan untuk memajukan nilai kompetisi antar negara negara tersebut terutama di bidang perdagangan dan jasa dengan salah satu caranya adalah membebaskan tarif masuk produk atau biaya jasa antar negara tersebut.

Beberapa hal yang kemudian terlintas di pikiran saya tentu saja masih seputar arsitektur.

Hal yang pertama, jadi, orang Indonesia dapat meng-hire arsitek luar (dalam lingkup ASEAN) dengan biaya yang (kemungkinan) akan jauh lebih murah daripada sebelum ada perjanjian AFTA ini, dong? Jika jawabannya adalah ya, maka hal ini bisa jadi gawat untuk teman teman arsitek dan teman teman yang bekerja di bidang ini. Arsitektur Indonesia bisa dibilang sedang bergeliat bergeliatnya, namun belum berdiri se gagah negara negara tetangga kita seperti Thailand, Singapura, bahkan Filipina dan Vietnam yang beberapa biro arsitektur nya masuk dalam jajaran 100 biro arsitektur terbesar dunia (link)

Lebih menarik lagi dikarenakan banyak orang yang berkecimpung di bidang arsitektur memimpikan untuk bekerja di bidang tersebut di Singapura. Bukankah ini akan menjadi lucu jika teman teman arsitek yang bekerja di Singapura akan dibayar untuk mendesain suatu bangunan di Indonesia melalui biro Singapura?

Hal yang kedua terpikirkan adalah, kemudian, apakah dengan begini otomatis harga supply material yang dulunya diimpor banyak dari Thailand menjadi lebih murah dan mudah didapatkan? Jika jawabannya adalah ya, ini juga bisa jadi menjadi hal menarik di dunia properti. Sepengetahuan awam saya, beberapa supplier material cukup banyak dari Thailand dan Singapura(lingkup ASEAN) (link)

Thailand membuka pabrik di Indonesia dengan memperkerjakan marketing dan tukang lokal Indonesia dengan mereka tetap sebagai owner / bos. Tujuan dari dibukanya pabrik di Indonesia adalah tentu saja untuk menekan biaya produksi dan pengiriman mereka dari sana, ditambah lagi upah minimum di Indonesia yang relative lebih murah dibandingkan dari beberapa negara di ASEAN, sementara itu permintaan akan material cukup besar. Namun jika AFTA berlaku, bisa jadi beberapa produk material akan merasa rugi membuka pabrik dan meng-hire orang lokal Indonesia, karena kini biaya pengiriman produk tidak lagi mahal dan tidak ada lagi pajak masuk. Material dari luar yang dianggap lebih berkualitas dan lebih presisi akan meningkat permintaannya, sementara itu, pekerja lokal akan kehilangan pekerjaannya, dan material lokal akan lebih sulit bersaing dengan material luar.

Hal ketiga yang kemudian terpikirkan belakangan namun cukup penting adalah, bagaimana nasib pelajar atau fresh graduate Major Architecture, berarti akan terjadi persaingan bebas dengan pelajar / freshgrad lulusan universitas negara negara ASEAN tersebut? Jika jawabannya adalah ya lagi, untuk beberapa negara dan beberapa sekolah, bisa dikatakan Indonesia (untuk beberapa universitas ternama dan terbaiknya) cukup mampu bersaing. Namun bagaimana jika kita digempur oleh pesaing pesaing dari NUS misalnya? Berdasarkan data, 100 top universitas di asia tenggara di dominasi oleh universitas universitas dari Singapura, Malaysia, dan Thailand (via http://worldranking.blogspot.com/2009/04/top-universities-in-south-east-asia.html). Persaingan dalam dunia kerja internasional ini tentu akan jauh lebih sulit bagi pelajar maupun fresh graduate lokal. Baik dari segi kompetensi, bahasa, maupun kesederajatan strata. Sesederhana status Sarjana Teknik atau Bachelor of Architecture yang sudah tentu sudah berbeda walaupun sama sama lulusan Major Arsitektur.

That’s it. As simple as it.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun