Saban hari, saya kembali berhasrat membaca buku Laskar Pelangi, novel pertama karya Andrea Hirata yang diterbitkan Bentang Pustaka, 2005.
Saya dibuatnya rindu membaca berbagai deskriptif Andrea yang ia lukis dalam bukunya. Bagaimana Belitong kala itu, bagaimana tingkah sembilan sahabatnya, juga mimik Bu Mus.
Namun apa lacur, buku itu saya tidak terbawa kala bertandang ke kampung halaman yang selalu saya dirindukan, Manipi, Sinjai Barat. Kitabnya, ada di Makassar, Sulawesi Selatan, tempat mengais sesuap nasi menghidupi keluarga kecilku, terpajang rapi dirak buku milikku.
Yah, karena di kampung yang terletak di sebelah barat Sinjai ini juga sudah ada jaringan internet. Meski lambatnya loading (Lalod) minta ampun, sayapun berinisiatif mencari ebooknya di mbah Google.
"Wah," gumamku dengan raut muka sumringah. Ebooknya ternyata ada. Saya mendapatinya dalam sebuah blogspot yang kini sudah saya lupa alamatnya. Saya pun mencoba mendowloadnya. "Ma'nyus." Ebooknya bisa dimiliki dengan gratis.
Setelah proses mendowload sukses, meski itu harus diulang ulang. Kembali kulihat daftar isi. Memastikan apakah ebook tersebut lengkap. Ternyata kembali Ma'nyus, antara daftar isi dengan jumlah halaman sangat cocok. Tak ada kurang selembarpun.
Bahkan yang tambah meyakinkan. Si tukang upload tersebut bahkan menambahkan selembar kata pengantar, berupa ucapan permohonan maaf ke Andrea Hirata, karena membuatnya dalam bentuk ebook.
Alasannya yang masih teringang, katanya itu demi menyebarkan buku layak baca tersebut agar semua generasi bisa membacanya. Yah, mungkin karena kala itu harga bukunya, kala itu harga nya memang tak sebesar uang jajan anak sekolahan.
Semakin rindu, mendorong saya kembali mencicipi ebook tersebut. Memang pada awalnya tak ada kendala sama sekali. Saya pun menikmati kata demi kata yang Andrea lukis di karyanya itu. Tiga bab kala itu saya cicipi, dalam waktu sekira 30 menit.
Lelah, tak ada kata sedikitpun dikepalaku terlintas diselang waktu tersebut. Itu baru terasa saat mata mulai mengeluarkan air untuk memaksaku tersadar. "Itu bahaya." Terlintas kata-kata karibku yang kini bermata empat gara-gara hanya sebuah layar berukuran 5 inci.
Saya pun dipaksa menyudahi bacaan tersebut, lalu berusaha mengingat sudah sampai dihalaman kebeberapa bacaan saya. Ponsel canggihku pun saya istirahatkan dari pelototan kedua bola mata ini. Meski hasrat membaca masih ada tersisa.