PENDAHULUAN
Fenomena flexing atau pamer kekayaan dan pencapaian di media sosial telah menjadi tren yang marak di era digital saat ini. Aktivitas ini seringkali menonjolkan gaya hidup glamor, barang mewah, dan kesuksesan materi sebagai bentuk komunikasi publik. Namun, di balik itu, muncul persoalan serius terkait krisis empati dan etika komunikasi yang terlupakan. Media sosial yang seharusnya menjadi ruang dialog sehat dan harmonis, malah kerap menimbulkan kegaduhan, konflik, dan ketidakpekaan sosial. Artikel ini akan menganalisis fenomena flexing dalam perspektif filsafat dan etika komunikasi, mengacu pada teori-teori dan konsep-konsep yang relevan, serta menawarkan solusi berdasarkan perspektif tersebut.
METODE PENELITIANÂ
Pendekatan yang digunakan adalah kajian pustaka dan analisis konseptual terhadap literatur utama mengenai etika komunikasi di era siber, filsafat ilmu, dan etika komunikasi. Referensi utama meliputi buku Etika Komunikasi di Era Siber oleh Fajar Junaedi, Etika dan Filsafat Komunikasi oleh Muhamad Mufid, serta artikel dan jurnal terkait krisis etika komunikasi di media sosial. Analisis difokuskan pada aspek etika komunikasi, nilai empati, dan implikasi sosial dari fenomena flexing.
HASIL DAN PEMBAHASANÂ
Fenomena flexing merupakan manifestasi komunikasi yang menonjolkan kelebihan materi dan status sosial secara berlebihan di media sosial. Aktivitas ini tidak hanya sekadar pamer, tetapi juga merupakan bentuk pencarian validasi eksternal dan eksistensi diri yang sering kali berakar pada rasa insecure atau ketidakamanan psikologis. Berdasarkan penelitian psikologi, individu yang melakukan flexing cenderung berusaha menutupi rasa rendah diri dan tidak puasan terhadap diri sendiri dengan menampilkan citra yang ideal dan mewah di dunia maya (Hidmah, 2023). Hal ini menimbulkan ketidakseimbangan antara realitas dan persepsi, yang pada akhirnya memicu krisis empati, karena pelaku flexing kurang mempertimbangkan dampak psikologis yang dirasakan oleh orang lain yang melihat konten tersebut.
Dalam konteks etika komunikasi, komunikasi bukan hanya sekadar penyampaian pesan, tetapi juga membangun hubungan yang berlandaskan pada nilai-nilai moral seperti kejujuran, penghormatan, dan empati (Mufid, 2019). Etika komunikasi menghendaki adanya tanggung jawab moral dalam setiap interaksi, termasuk di media sosial. Namun, flexing sering kali bertentangan dengan prinsip ini karena mengedepankan ego, narsisme, dan pencarian pengakuan tanpa memperhatikan perasaan orang lain. Fenomena ini mencerminkan krisis moral dan etika yang serius, di mana nilai-nilai kemanusiaan seperti empati dan solidaritas menjadi terabaikan.
Dampak psikologis dari flexing sangat nyata, baik bagi pelaku maupun pengamat. Pelaku flexing sering mengalami tekanan untuk mempertahankan citra yang telah dibangun, sehingga rentan terhadap stres, kecemasan, dan ketergantungan pada validasi eksternal seperti likes dan komentar (Liputan6, 2025). Di sisi lain, pengamat yang terus-menerus melihat konten flexing dapat mengalami perasaan tidak puas dengan kehidupan sendiri, penurunan harga diri, bahkan depresi. Hal ini diperparah oleh fenomena FOMO (Fear of Missing Out) yang membuat individu merasa tertinggal atau tidak cukup baik dibandingkan dengan orang lain yang tampak sukses di media sosial (Kompasiana, 2025).
Secara sosial, budaya flexing memperparah ketimpangan dan materialisme, mendorong persaingan tidak sehat, serta mengikis nilai-nilai spiritual dan akhlak. Dari perspektif ajaran Al-Qur'an, perilaku flexing dapat dikaitkan dengan konsep riya' (pamer), ujub (membanggakan diri), dan takabbur (kesombongan) yang dilarang karena merusak hubungan manusia dengan Tuhan dan sesama (Unpas, 2025). Ibnu Sina dalam pemikirannya juga menyoroti bahwa flexing adalah bentuk pencarian pengakuan yang berlebihan yang dapat merusak keseimbangan jiwa dan spiritualitas seseorang.
Fenomena ini juga menunjukkan distorsi realitas yang berbahaya. Media sosial, yang seharusnya menjadi ruang untuk berbagi informasi dan pengalaman, malah menjadi tempat di mana citra diri dibangun secara artifisial dan sering kali tidak autentik. Hal ini menyebabkan ketidak jujuran epistemologis dalam komunikasi, di mana kebenaran dan keadilan dalam penyampaian pesan menjadi terabaikan (Mufid, 2019). Ketika realitas yang disuguhkan hanyalah ilusi kesuksesan dan kemewahan, hal ini dapat memicu ketidakpuasan sosial dan psikologis yang meluas.
Alternatif Solusi Berdasarkan Perspektif Filsafat dan Etika Komunikasi