Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bersedekah kepada Indonesia

18 November 2016   14:21 Diperbarui: 18 November 2016   17:56 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: https://daus95.com/

Awalnya saya pikir meme atau guyonan yang sering kita jumpai di media sosial itu untuk menyindir betapa buruk pelayanan infrastruktur jalan di kota-kota Indonesia. Beberapa hari terakhir saya menjumpai tulisan: "Hati-hati Jalan Berlobang dan Bergelombang", di salah satu ruas sebelah timur perempatan Sambong kota Jombang. Bagi pengguna jalan dari arah utara kota Jombang, dipastikan akan melalui ruas jalan tersebut. Ruas jalan ke arah timur itu juga kerap mengagetkan pengendara motor. Pasalnya, polisi sangat sering melakukan pemeriksaan kelengkapan bagi pengendara motor.

Saran saya, Anda harus waspada dan hati-hati. Kesanggupan saya sekadar mengingatkan, tidak bisa lebih. Soal jalan tetap berlubang dan bergelombang, bukankah pihak terkait sudah berbaik hati menyampaikan peringatan? Adapun segala risiko dari kondisi jalan yang buruk itu dipastikan akibat kecerobohan pengguna jalan yang tidak mentaati himbauan.

Entah berapa tahun lagi “jalan himbauan” itu cukup diselesaikan dengan cara menghimbau. Namun, siapa tidak ngiler membaca penanganan sinkhole alias lubang runtuhan raksasa di sebuah persimpangan jalan di tengah kota Fukuoka Jepang. Lubang sepanjang 30 meter sedalam 14 meter lebih itu perbaikannya dikerjakan oleh pemerintah kota Fukoakan hanya dua hari. Padahal runtuhan aspal berlubang itu memutus kabel dan jaringan telepon, merusak saluran air, mematahkan pipa saluran pembuangan limbah.

Walaupun perbaikan itu diselesaikan hanya dua hari—kembali seperti sediakala, namun kendaraan diperbolehkan untuk melewati jalan tersebut setelah beberapa hari kemudian. Berhasil memperbaiki sinkhole dalam waktu yang sangat cepat tidak membuat pemerintah kota Fukuoka berbesar kepala. Mereka merasa wajib meminta maaf secara resmi kepada publik.

Lalu dalam hati saya bergumam, “Jekmulo Jepang. Mestiwae Jepang. Ini Indonesia, jangan disamakan dengan Jepang atau negara lain. Indonesia ya Indonesia dengan berbagai romantika dan keasyikan sekaligus kegetiran yang selalu menyertai dinamika hidup berbangsa dan bernegara.”

Kalimat pembelaan itu saya telan lagi. Saya akan mencintai negeri ini secara apa adanya. Walaupun survei internasional menempatkan Indonesia di tingkat berapapun tidak mengurangi cinta saya pada negeri ini. Misalnya, mohon tidak dibandingkan dengan hasil penilaian Asian Barometer Survey (ABS) yang menempatkan Jepang sebagai urutan pertama sebagai negara dengan  elemen pemerintahan yang baik  dan mencapai skor 42,3 persen. Disusul Korea Selatan mendapatkan skor 38 persen, dan di urutan ketiga Singapura skor 36,4 persen.

Saya tidak dalam rangka sedang menuntut komitmen dan kinerja pemerintah memberikan layanan yang prima kepada publik menjadi salah satu karakter kepemimpinan di negeri ini. Pesta demokrasi lima tahunan cukup menggembirakan saya atau kita semua. Wajah-wajah calon pemimpin masa depan terpampang di hampir setiap sudut kota. Wajah-wajah yang memancarkan optimisme. Indonesia adalah bangsa besar dan jangan biarkan siapa pun menjadikannya santapan atau hidangan keserakahan.

Bagi orang awam wajah keberhasilan pembangunan itu bisa jadi cukup sederhana—jalan tidak rusak. Mungkin hanya itu, di tengah tuntutan yang lebih kompleks seperti menurunkan harga sembako, memberantas pungli, mengadili koruptor, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Atas semua tuntutan yang ruwet, rumit dan kompleks itu saya menyadari tidak gampang mengurai benang persoalan yang masih dan sedang terus melilit bangsa ini.

Padangangmbulan dan Sedekah untuk Bangsa

Cukup menyejukkan saran dari Cak Nun agar Jamaah Maiyah—dan kini secara resmi dipanggil sebagai Jannatul Maiyah, kebun maiyah—tidak berhenti bersedekah untuk Indonesia. Arek-arek Maiyah yang selama ini ditiadakan, atau minimal dianggap tidak ada oleh Indonesia harus berdiri tegak, memilki harga diri dan martabat di hadapan Indonesia. Negara yang bukan negara ini, yang begitu yakin bahwa begini ini negara tidak memerlukan bantuan siapapun apalagi arek-arek Maiyah itu, sebab sudah memiliki para pemimpin hebat.

Arek-arek Maiyah yang sebagian besar adalah generasi milenial dan kelak menjadi pelaku utama bonus demografi dibesarkan hati mereka oleh Cak Nun. Generasi yang selama ini dikolonialisasi cara berpikir, pandangan berpikir, sikap berpikir, kuda-kuda berpikir dibangun kembali keutuhan software laku hidup mereka. Melihat persoalan bangsa secara lebih adil, presisi, tepat, berputar, linier, siklikal adalah conditioning yang kerap ditemui pada majelis ilmu maiyah. Mengutuh kembali adalah ikhtiar terus menerus untuk menyatukan kepingan-kepingan jiwa manusia yang tercerai berai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun