Misalnya, topik seperti perubahan iklim dapat dieksplorasi dari perspektif fisika, ekonomi, dan kebijakan publik secara bersamaan. Pendekatan ini bertujuan untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis, kolaboratif, dan solutif pada siswa.
Namun, tentu saja perubahan semacam itu tidak mudah diterapkan secara menyeluruh di Indonesia. Tantangannya berlapis dan kompleks. Dari sisi tenaga pengajar, guru harus mengajar secara overload. Mereka juga harus menyelesaikan beban tugas administratif-birokrasi yang menumpuk.  Hal ini menyulitkan guru untuk bereksperimen dengan metode pembelajaran baru.
Selain itu, tantangan mentalitas juga tidak kalah besar. Tidak sedikit orang tua masih berpegang pada pola pikir lama. Anak harus masuk jurusan IPA agar dapat jadi dokter atau insinyur. Padahal realitas dunia kerja saat ini sudah jauh berkembang. Banyak profesi baru yang tidak dapat dikotakkan dalam jurusan tertentu.
Melihat kondisi ini mungkin sudah saatnya kita mengubah cara pandang terhadap pendidikan menengah. Jenjang SMA sebaiknya menjadi ruang eksplorasi, bukan ruang pembatasan.
Mengadaptasi konsep pembelajaran seperti sandbox education bisa menjadi alternatif. Siswa diberi kesempatan untuk mencoba berbagai "jurusan mini" dalam bentuk magang akademik lintas bidang, lalu menilai minat dan kemampuannya berdasarkan pengalaman nyata.Â
Sistem evaluasi juga perlu bergeser dari sekadar nilai ujian nasional menjadi portofolio pembelajaran yang mencerminkan proyek-proyek lintas disiplin. Kolaborasi dengan perguruan tinggi atau dunia industri pun dapat menghadirkan mata pelajaran pilihan yang kontekstual dan relevan.
Daripada kita bertanya: "Kamu jurusan apa?"--mengapa tidak bertanya: "Apa yang sedang kamu teliti sekarang?"
Pernyataan itu merangkum esensi pendidikan masa depan: bukan menghafal atau menyesuaikan diri dengan label jurusan, tapi menggali dan mengembangkan rasa ingin tahu.
Ketika batas antara sains, sosial, dan humaniora mulai kabur dalam dunia nyata, sistem pendidikan kita justru sibuk membuat sekat-sekat imajiner. Reformasi penjurusan seharusnya tidak menghilangkan kedalaman belajar, tapi mengarahkan siswa menuju pembelajaran yang kontekstual dan adaptif.
Kita perlu menyiapkan generasi T-shaped learners---generasi yang memiliki kedalaman pengetahuan di satu bidang, namun juga mampu bekerja sama dalam lintas disiplin.
Konsep T-shaped learners merujuk pada individu yang memiliki kedalaman pengetahuan dalam satu bidang spesifik (digambarkan oleh batang vertikal huruf "T") serta kemampuan untuk berkolaborasi dan memahami berbagai disiplin ilmu lainnya (digambarkan oleh batang horizontal). Pendekatan ini semakin penting dalam pendidikan dan dunia kerja yang kompleks dan saling terhubung.