Dinamika demokrasi dan komunikasi publik tidak selalu soal kebebasan menyampaikan pendapat, tapi juga menyangkut kemampuan pemerintah mendengar dan merespons suara rakyat dengan empati dan kepekaan.
Sayangnya, hal itu sering kali menjadi titik lemah komunikasi kekuasaan hingga hari ini.
Belakangan kita melihat upaya pemerintah membuka ruang dialog, seperti pertemuan Presiden dengan para pemimpin redaksi media massa.
Sepintas, hal itu menunjukkan itikad baik pemerintah dalam membangun komunikasi terbuka. Presiden tampak ingin memberi klarifikasi dan jawaban secara langsung kepada para pengelola informasi publik.
Namun pertanyaannya, siapa yang sebenarnya didengar dalam forum seperti itu?
Ketika dialog dibatasi pada kalangan elite media, sementara kritik justru berasal dari masyarakat akar rumput---petani, buruh, mahasiswa, aktivis---maka timbul jarak antara niat dan realitas.
Pada konteks itu muncul risiko komunikasi model tone-deaf, yakni ketika pemerintah gagal menangkap "nada emosional" publik dan kebutuhan riil di lapangan.
Model komunikasi semacam itu bukan hal baru. Pemerintah sebelumnya juga kerap menyatakan sikap yang terbuka terhadap kritik. Namun masalahnya tidak selalu terletak pada niat, melainkan pada cara dan proses komunikasi.
Ketika kritik dibalas dengan candaan, narasi sepihak, atau sikap defensif, maka yang terjadi bukan dialog, melainkan delegitimasi suara rakyat. Rakyat merasa kehilangan ruang partisipasi yang otentik.
Komunikasi hanya berfungsi sebagai alat untuk mengendalikan wacana, bukan jembatan empati. Hasilnya adalah demokrasi semu. Suara rakyat didengar sejauh nyaman bagi kekuasaan.