Hiruk-pikuk debat kebijakan publik dan tarik-menarik kepentingan politik membuat kita lupa bahwa di balik angka dan data statistik, terbayang wajah anak-anak yang bergantung pada keputusan para pengambil kebijakan.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan contoh paling mutakhir tentang kebijakan negara yang dapat---dan seharusnya---
menjadi perpanjangan tangan dari keadilan sosial yang otentik.
Merealisasikan program ini yang diperlukan bukan hanya idealisme. MBG harus menyentuh fondasi terdalam dari akal sehat dan keberanian kolektif agar nyalanya tidak padam di tengah jalan.
MBG bukan sekadar memberi makan; ia adalah simbol harapan akan hari esok: harapan  anak-anak tumbuh dengan sehat, tanpa tubuh lemas di ruang kelas, tanpa kehilangan peluang hanya karena perut kosong.
Harapan bahwa negara memang hadir, tidak hanya dalam bentuk layanan birokrasi, tapi juga melalui kepedulian kemanusiaan yang diantarkan dengan niat tulus dan sistem yang adil.
Memberi makan bukanlah tindakan sederhana---ia adalah bentuk tanggung jawab bahwa setiap anak di negeri ini layak hidup, tumbuh, dan punya mimpi masa depan.
Suatu harapan tidak datang tanpa risiko. Harapan bisa menjadi tipis dan rapuh ketika tidak ditopang oleh logika tata kelola yang sehat.
Program sebesar MBG, jika dijalankan hanya karena tekanan elektoral atau euforia sesaat, berisiko menjadi "idealisme kosong".
Program besar yang meluap-luap dalam niat, tapi bocor dalam pelaksanaan akan menambah deretan kebobrokan. Akal sehat mengambil peran sebagai jangkar yang menahan kapal agar tidak terombang-ambing angin politik.
Akal sehat bertanya, mengkritik, menghitung, dan mengevaluasi---bukan untuk menghentikan langkah, tapi memastikan arah dan daya tahan selama program berlangsung.