"Astaghfirullah, Mas, sepatunya menginjak kaki saya."
Sepatu bergeser, hanya sebentar, lalu menginjak lagi.
"Gusti Pengeran nyuwun ngapura," ucapnya. Nada mulai naik. "Mas, sepatunya menginjak kaki saya!"
Sepatu bergeser, dan hanya sebentar, lalu menginjak lagi.
Ini orang disabari malah nglamak. Mentang-mentang pakai sepatu menginjak kaki orang seenaknya.
"Diancuk! Sepatu Sampean ngideki sikulku!"
Asyiknya jadi orang Indonesia. Asyiknya jadi manusia Jawa, Madura, Batak, Bugis yang memiliki kekayaan bukan saja kearifan lokal tapi juga ekspresi budaya dan bahasa.
Dalam jiwa kita ada ruang kosong, sekecil apapun itu, tempat kita menghela nafas, bertahan dari tekanan, injakan, penindasan, ketidaknormalan di tengah gaung kenormalan baru.
Ruang dalam kesadaran itu berisi atmosfer sistem nilai yang tidak selalu memerlukan "rasionalitas" cara pandang modern untuk bisa memahaminya, namun sungguh dibutuhkan untuk bisa bertahan di tengah arus anomali politik, ekonomi, bahkan klaim agama.
Bagaimana mau dikatakan rasional ketika seorang ibu bertahan hidup dengan berjualan tiga empat botol  air mineral di perempatan jalan.
Di pasar tradisional kita kerap menjumpai seorang nenek menjual lima ikat sayur sawi yang digelar di atas kertas koran.
Hati saya serasa diiris ketika bertemu bapak yang usianya setengah abad lebih berjualan minuman angsle, keliling malam hari, dengan penerangan lampu templek di gerobaknya.