Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merasakan Sunyi Batin Indonesia

21 Juni 2020   11:37 Diperbarui: 21 Juni 2020   11:40 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Anton, penjual gas dan sayur keliling di Rumah Sakit Hermina, Jalan Tole Iskandar, Depok, Jumat (8/2/2019). Sumber: KOMPAS. COM/CYNTHIA LOVA

"Astaghfirullah, Mas, sepatunya menginjak kaki saya."

Sepatu bergeser, hanya sebentar, lalu menginjak lagi.

"Gusti Pengeran nyuwun ngapura," ucapnya. Nada mulai naik. "Mas, sepatunya menginjak kaki saya!"

Sepatu bergeser, dan hanya sebentar, lalu menginjak lagi.

Ini orang disabari malah nglamak. Mentang-mentang pakai sepatu menginjak kaki orang seenaknya.

"Diancuk! Sepatu Sampean ngideki sikulku!"

Asyiknya jadi orang Indonesia. Asyiknya jadi manusia Jawa, Madura, Batak, Bugis yang memiliki kekayaan bukan saja kearifan lokal tapi juga ekspresi budaya dan bahasa.

Dalam jiwa kita ada ruang kosong, sekecil apapun itu, tempat kita menghela nafas, bertahan dari tekanan, injakan, penindasan, ketidaknormalan di tengah gaung kenormalan baru.

Ruang dalam kesadaran itu berisi atmosfer sistem nilai yang tidak selalu memerlukan "rasionalitas" cara pandang modern untuk bisa memahaminya, namun sungguh dibutuhkan untuk bisa bertahan di tengah arus anomali politik, ekonomi, bahkan klaim agama.

Bagaimana mau dikatakan rasional ketika seorang ibu bertahan hidup dengan berjualan tiga empat botol  air mineral di perempatan jalan.

Di pasar tradisional kita kerap menjumpai seorang nenek menjual lima ikat sayur sawi yang digelar di atas kertas koran.

Hati saya serasa diiris ketika bertemu bapak yang usianya setengah abad lebih berjualan minuman angsle, keliling malam hari, dengan penerangan lampu templek di gerobaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun