Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sedemikian Rendahkah Kedermawanan Warga Kabupaten Jombang?

22 April 2020   01:32 Diperbarui: 28 April 2020   01:40 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: lifestyle.kompas.com/DAILYMAIL.COM

Saya mulai terusik manakala membaca Surat Edaran Bupati Jombang tentang Panduan Ibadah Bulan Suci Ramadhan 2020. Salah satu poinnya adalah Gerakan Bahagia bersama Tetangga.

Tertulis dalam Surat Edaran: Gerakan "Bahagia bersama Tetangga" dengan memberikan buka puasa dan saur pada tetangga yang kurang mampu selama bulan Ramadhan. Sekilas gerakan ini terkesan bagus dan mencerminkan kepedulian seorang pemimpin pada rakyat kecil.

Namun, kalau ditelaah dan dicermati, akan muncul sejumlah pertanyaan: mengapa mencanangkan gerakan yang sudah menjadi nadi kehidupan orang kecil terutama yang hidup di perkampungan dan pedesaan?

Apakah ada survei, riset, penelitian yang melaporkan di Kab. Jombang terjadi penurunan kesadaran berbagi bersama tetangga?  Atau kalau dikaitkan dengan kondisi pandemi saat ini, apakah masyarakat mengalami "kecuekan sosial" sehingga diperlukan gerakan untuk membangkitkan kepedulian mau berbagi?

Menggunakan sisi pandang, sudut pandang, jarak pandang, resolusi pandang sosial budaya kultural apa dan bagaimana sehingga masyarakat membutuhkan Gerakan "Bahagia bersama Tetangga"? Sedemikian egoismekah kehidupan bertetangga di Jombang? Sedemikian rendahkah indeks berbagi warga Jombang?

Saya tidak sedang menuduh dan berburuk sangka bahwa gagasan itu lahir dari pemikiran seseorang atau sejumlah kelompok yang justru perilakunya berkebalikan dengan fakta sosial budaya masyarakat Jombang.

Saya punya tetangga namanya Cak Mul. Ia penjual nasi goreng. Kalau kita mengetahui Cak Mul setiap malam berjualan nasi goreng, dan semua penduduk kampung tahu itu, lantas apa yang luar biasa ketika Pak Lurah membuat pengumuman Cak Mul itu penjual nasi goreng?

Alih-alih mencanangkan gerakan efisiensi dan efektivitas menjalankan pemerintahan yang menjamin rasa aman, membentangkan pengayoman, menenteramkan kegelisahan masyarakat akibat kian beratnya mendapatkan pangan di tengah wabah---kita malah disuguhi gerakan artifisial yang gaya komunikasinya hanya efektif untuk keperluan branding.

Mau dicanangkan "Gerakan Bahagia bersama Tetangga", "Gerakan Tersenyum Bareng Tukang Becak", "Gerakan Liwetan bersama Pak RT", monggo. Masyarakat oke-oke saja karena hati dan jiwa mereka sudah nyegoro. Tidak gampang nggumun. Apalagi, gerakan artifisial semacam itu biasanya anget-anget kotoran ayam.

Terakhir, sebagai penutup, saya kutipkan pesan Cak Nun dalam "Amanat Penderitaan Corona" berikut ini: 

Rakyat Indonesia mengalami bertubi-tubi tekanan, kebingungan, musibah, ketertindihan, keterjepitan, dan tetap saja tidak mau mendengarkan nasihat "hati-hati memilih pemimpin".[]

Jagalan 220420

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun