Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Angin Tak Selalu Badai

17 Juni 2019   19:59 Diperbarui: 18 Juni 2019   03:26 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: framepool.com

Malam ini yang tersisa adalah gemericik air di antara batu-batu sungai. Getarannya ajeg merangkai ritme. Konstan mengisi ruang sunyi.

Angin malam terasa basah, menempel di kulit lalu berlalu begitu saja. Mengembara ke negeri entah. Tersesat di ngarai dan lembah. Sekilas menyapa air yang terjepit di sela batu-batu.

Untunglah malam tidak selamanya kelam. Alam boleh malam, namun benderang di belahan yang lain. Angin tak selalu badai, dikutuk dan dicaci. Air tidak selalu mengalirkan air mata. Orkestra sepi mengatasi dunia yang gegap gempita.

Di manakah huruf dan kata-kata bersembunyi? Apakah ia menjelma angin yang melintasi benua? Ataukah ia mengalir di antara nadi dan denyut darah? Bagaimana jika huruf dan kata-kata adalah jubah malam yang mengelabuhi mata sehingga di antara manusia saling menikam?

Manusia membangun singgasana kebesaran dengan batu-bata ketidakjujuran dan kerelaan saling menghancurkan. Menumpuk pundi-pundi kekayaan dengan saling memiskinkan. Mempidatokan perdamaian dengan menyulut pertengkaran dan kerusuhan.

Malam ini yang tersisa adalah puing-puing kemanusiaan, berserakan ditikam lampu jalan yang temaram.

170619

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun