Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Antara Enak dan Tidak Enak: Menemukan Kembali Makna Produktivitas

10 Juni 2019   10:35 Diperbarui: 10 Juni 2019   13:34 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: https://cellcode.us

Demikian pula dengan kewajiban puasa Ramadhan. Setiap manusia suka makan dan minum. Apalagi teknologi kuliner semakin memanjakan lidah. Lalu datang bulan Ramadhan: sahur pada waktu selera makan sedang berada pada titik paling malas. 

Lalu siang hari yang biasanya halal untuk makan dan minum, terpaksa kita menahan diri. Tuhan sangat memahami mekanisme psikologi hamba-Nya yang suka makan. Pada kadar dan batas tertentu makan dan minum perlu dibatasi. Jadilah puasa Ramadhan ibadah wajib.

Dari sudut pandang ini Tuhan seperti hendak memacu produktivitas manusia---baik melalui metodologi shalat maupun puasa. Produktivitas itu dijawab melalui pertanyaan: apa produk atau output dari shalat dan puasa kita?

Kita tidak bisa memacu produktivitas para pekerja, pegawai, ASN kalau puasa sebatas dipahami sebagai ritual ibadah tahunan tanpa internalisasi nilai, penghayatan rohani dan pemberdayaan sosial. 

Produktivitas adalah akibat dari kesadaran internal batiniah manusia yang menemukan keseimbangan dalam hidupnya. Ibarat buah, ia ditentukan oleh kesehatan akar pohonnya.

Belum lagi kita menjawab pertanyaan: "Kepada siapa kita mengabdikan produktivitas itu? Apakah kita mengabdi kepada kepentingan diri sendiri, kepentingan atasan, kepentingan mesin kapitalisme, atau kepada panggilan yang lebih murni dan tulus bahwa kita telah "berhutang" kepada Tuhan yang telah melimpahkan sangat banyak fasilitas dalam hidup kita?

Bagaimana pula sikap pikiran dan pendirian perspektif kita, misalnya terkait dengan makna denotasi dan konotasi produktivitas? Apakah ia sebangsa makhluk kasat mata yang kehadirannya cukup nyata? Ataukah ia sejenis makhluk tidak kasat mata yang bisa dirasakan kenikmatannya oleh kalbu terdalam kita?

Apakah produktivitas yang kita hasilkan harus selalu sesuai dengan standar parameter kapitalisme? Bagaimana jika ruang lingkup, cakupan, jangkauan, dimensi, lipatan produktivitas ternyata sangat luas dan dalam sebagaimana sisi dimensi kesadaran manusia yang nyaris tanpa batas? 

Ada produktivitas intelektual, produktivitas mental, produktivitas ekonomi, produktivitas rohani, produktivitas nilai manfaat pada sesama, produktivitas barokah---produktivitas sebelah mana yang hendak kita capai?

Saya membayangkan pikiran yang naif dan saya tertawakan sendiri. Pantas saja kita menyambut bulan Ramadhan dengan hati penuh suka cita. Kita memasuki bulan yang dapat digunakan sebagai alibi untuk memasang pembenaran bahwa sesungguhnya kita memang malas bekerja. Badan loyo gara-gara puasa.

Lalu satu bulan berikutnya kita menyiapkan pesta besar Hari Raya. Tumpah ruah menggelombangkan kesenangan. Budaya "enaknya" menjadi panglima. Tidak terasa, tiba-tiba, cuti bersama habis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun