Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Halalbihalal, Harambihalal, Atau Harambiharam?

8 Juni 2019   05:04 Diperbarui: 8 Juni 2019   05:29 1020
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Foto: Shutterstock

Setelah rewel dengan tradisi buka bersama, kawan saya yang lain jadi ketularan. Ia ikut-ikutan rewel dengan undangan halalbihalal.

Saya tidak berniat mewawancarainya. Kebetulan saja saya mampir ke rumahnya untuk menyampaikan undangan halalbihalal. Lalu apa kata dia?

"Yang menimpa saya, baik haram, makruh dan mubah, sudah saya halalkan semua," ucapnya.

"Maksudnya apa?"

"Kalau sudah saya halalkan semua, apakah saya masih perlu menghadiri acara itu?"

"Ini acara kumpul bareng teman lama."

"Ini undangan halalbihalal atau kumpul-kumpul?"

"Halalbihalal sambil kumpul-kumpul?" jawab saya sekenanya.

Saya segera mengalihkan pembicaraan sebelum dia ngomel dengan seribu pertanyaan lagi. Dan tidak berhasil. Kawan saya terlanjur "panas". Ia tancap gas lagi.

"Lalu apa relevansi halalbihalal dengan kumpul-kumpul? Untuk menghalalkan yang haram apakah perlu dibarengi dengan acara kumpul bersama? Bagaimana kalau yang terjadi sebaliknya: kumpul bareng justru menghasilkan keharaman-keharaman?"

"Jangan buruk sangka!" Saya memotongnya.

"Saya sedang bertanya bukan berburuk sangka," tukasnya.

"Tapi pertanyaan itu memicu prasangka yang bukan-bukan."

"Yang bukan-bukan bagaimana? Kalau mau kumpul bareng monggo asalkan jelas acara dan tujuannya. Kumpul ya kumpul. Yang penting guyub rukun, saling tersenyum, rendah hati satu sama lain. Sambil tidak memamerkan prestasi sosial dan ekonomi. Toh setiap hari kita sudah kumpul bareng---mulai shalat berjamaah di mushola, murak kenduri, rapat di Balai Desa sampai takziyah orang mati."

Ini orang aneh dan tidak selazimnya kebanyakan orang, batin saya sambil pamit pulang. Celakanya, apa yang disampaikan kawan saya menempel di otak kepala. Saya jadi "terganggu" oleh ketidaklaziman itu. Benar juga. Kumpul bareng dan sikap saling menghalalkan, mana yang lebih penting?

Dua-duanya pasti penting. Namun, bagaimana menemukan irisan di antara keduanya? Bukankah selama ini kita sudah berkumpul untuk mengelola kegiatan ekonomi, politik, budaya, pendidikan, muamalah dan yang terjadi adalah satu pihak memperoleh "halal" dan pihak yang lain menanggung "haram"?

Apalagi di zaman bias konotasi ini, halal bisa diartikan sebagai laba materi, naik pangkat, peluang diangkat jadi menteri atau minimal dapat tender proyek. Sedangkan haram adalah rugi materi, dipindah ke lingkungan yang "kering", atau popularitas mulai redup.

Seorang guru di sekolah bisa cukup siap menerima "kehalalan" dari tunjangan sertifikasi ditambah gaji utuh setiap bulan, dibonusi gaji ke-13. Walaupun itu semua belum tentu dirasakan sebagai "kehalalan" oleh para siswa yang kerap menikmati jam kosong, diajar dengan cara yang "itu-itu" saja, serta ketimpangan "haram" lainnya.

Guru dan murid, ulama dan umat, suami dan istri, anak dan orang tua, imam dan makmum--semua perangkat fungsi sejarah itu berkumpul setiap hari. Apakah sistem pengelolaan kepemimpinannya telah memproduksi halal dan menjaga neraca keadilan? Bagaimana kalau output dari pergaulan sejarah melalui pola kebijakan yang ditentukan justru menghasilkan tumpukan-tumpukan tragedi kemanusiaan?

Belum lagi hubungan manusia dengan lingkungan, air, tanah, pohon, hutan, laut. Apakah indeks polusi yang semakin meningkat, banjir dan tanah longsor setiap tahun, sampah plastik yang menumpuk di laut merupakan hasil hubungan yang dilandasi oleh iktikad halalbihalal?

Pada konteks ini halalbihalal bukan sekadar "Saya minta maaf lalu Anda memaafkan". Saya bisa dalam pengertian saya pribadi, saya identitas sosial, saya partai, saya ormas, saya Bangsa Indonesia, atau saya yang lebih luas dan substansial. Demikian pula Anda yang saya mintai maaf adalah Anda dalam pengertian dan fungsi sejarah yang luas. 

Hubungan antara Saya dan Anda tidak boleh saling menindas, walaupun posisi penindas sering berada di pihak Saya. Apakah saya rela keluar dari sistem atau tarikat sosial yang menghasilkan pembodohan, kerusakan, kehancuran, serta defisit ketidakseimbangan di masa depan?

Walaupun pada perspektif yang lain, rakyat kecil, kaum pinggiran yang menerima perlakuan "haram" terus bertahan hidup dengan bekerja serabutan dan seadanya. Daya hidup mereka cukup tinggi berkat kesanggupan mengelola ketidakdilan yang "haram" menjadi nilai kebijaksanaan yang "halal". Mereka mengalami langsung adegan haram bihalal.

Lalu, mampukah saya mengikis egoisme halalbihalal sebagai keuntungan sepihak sementara yang sesungguhnya terjadi adalah halalbiharam dan harambihalal? Bagaimana saya menjamin bahwa upacara halalbihalal tidak sekadar formalisme acara tahunan sementara sudah saya siapkan rancangan, skema, skenario liberalisme, kapitalisme, sopo siro sopo ingsun untuk tali temali kekuasaan yang setiap ujungnya berada di genggaman tangan saya?

Susah benar saya mengunyah makanan halalbihalal ini. Saya kembali teringat kawan saya. Ia pernah memberi nasihat. "Lulus menjadi manusia itu tidak gampang," katanya. "Tapi kita terlanjur berani memakai baju kebanggaan sebagai pemimpin atau apa saja yang ternyata berakhir dengan kepedihan haram biharam."[]

Jagalan, 8 Juni 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun