Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Melunasi Utang Kemanusiaan kepada Tukang Becak

17 Januari 2018   15:39 Diperbarui: 18 Januari 2018   12:20 2513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namun, pada konteks yang lain, saya kerap berjumpa dengan momentum kunci adegan kemanusiaan ketika sedang naik becak. Pernah pada dini hari yang cukup dingin saya turun dari bus antar kota. Seorang bapak tua menawari saya becak. Angin berhembus kencang. Baru berjalan beberapa meter, becak manual itu berhenti. Saya pikir ada kerusakan atau ban bocor. Bapak tua itu menawari saya jaket. "Hawanya dingin, Mas. Ini pakai jaket saya," katanya. Saya gelagapan, tidak siap dengan adegan itu. Spontan saya terima jaketnya dan saya pakai. "Sekarang ganti Bapak yang kedinginan," saya membalasnya sambil tidak lupa mengucapkan terima kasih. "Tidak apa-apa. Saya sudah terbiasa," jawabnya.

Ah, manusia tradisional memang naif. Rela berkorban tidak semata demi uang. Transaksi tawar menawar harga dengan Bapak tua itu cukup berlangsung beberapa detik saja. Selebihnya, ia tidak lagi berpikir tentang uang. Ia bukan tukang becak. Bapak tua adalah manusia yang ngajeni saya sebagai sesama manusia.

Saya tidak tahu persis apakah Jakarta menawarkan iklim yang kondusif bagi sikap jernih kemanusiaan. Saya jadi teringat puisi Apa Ada Angin di Jakarta, karya Umbu Landu Paranggi. Apa ada angin di Jakarta / Seperti dilepas desa Melati / Apa cintaku bisa lagi cari/ Akar bukit Wonosari / Yang diam di dasar jiwaku / Terlontar jauh ke sudut kota / Kenangkanlah jua yang celaka / Orang usiran kota raya / Pulanglah ke desa / Membangun esok hari / Kembali ke huma berhati.

Angin adalah napas hidup. Harapan, mimpi dan cita-cita masa depan. Jakarta sebagai "panglima" kota urban di negeri ini bisakah menawarkan keadilan bagi rakyat pejalan kaki? Tampaknya kita memang tidak sedang membincangkan becak, apalagi Rambo dengan Becak Kencana-nya. []

Jombang, 17 Januari 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun