Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Melunasi Utang Kemanusiaan kepada Tukang Becak

17 Januari 2018   15:39 Diperbarui: 18 Januari 2018   12:20 2513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dengan kecepatan angin, Becak Kencana menembus gerbang kota. Para petugas bersenjata Armalite dan Kalashnikov, yang sedang asyik termenung-menung, terkejut. Seseorang segera memberondong. Tapi luput.

"Gila! Masih saja ada becak di kota ini!"

"Itulah becak terakhir yang belum digaruk!"

"Cepat laporkan!"

Adegan di atas adalah imajinasi Seno Gumira Ajidarma dalam cerpen Becak Terakhir di Dunia (Atawa Rambo). Rambo tampil memikat: ia gesit menghindari berondongan peluru petugas, menjuarai reli kelas becak sedunia, pemain sirkus becak dengan dua roda depan terangkat ke atas dan satu roda berjalan di atas tali. Tapi, Rambo bukan satriapiningit apalagi pahlawan super hero. Mendadak ia loyo ketika dikepung tentara. Rambo lunglai menyerah.

Kini, Rambo akan dihidupkan lagi walaupun ia tidak sepenuhnya mati. Rambo akan beroperasi di kampung-kampung Jakarta. Menolong warga dengan model transportasi Ge-El alias Genjot Langsung. Dan sudah pasti, Rambo dilarang beredar di jalan-jalan protokol. Selain akan memperparah kemacetan, Rambo dan becaknya bukan ikon transportasi zaman modern.

Jakarta jangan sampai melangkah mundur. Ia harus melesat ke masa depan. Transportasi kelas wahid dengan kecepatan super yang efektif dan efisien menjadi andalan. Sedangkan becak bukan saja berjalan nggremet---ia adalah barang antik, simbol masa lalu ketika manusia masih mengandalkan kekuatan otot. Hidup di Jakarta mengandalkan otot?

Maka, becak tidak lagi cocok untuk aroma dan nuansa kota metropolitan. Masyarakat jangan dibiasakan bergerak lambat, seperti jalannya becak. Nanti mereka akan terlindas roda modernisme. Semua serba cepat bahkan harus sangat cepat---sebagaimana watak kecepatan arus informasi dan teknologi. Lemot dan tidak segera mengambil keputusan bersiaplah untuk dikudeta oleh yang serba cepat, praktis dan instan.

Atas semua persyaratan agar diterima di komunitas transportasi modern, kemungkinan besar becak akan kesulitan memenuhinya. Walaupun ada beberapa modifikasi yang tengah diupayakan, misalnya menambahkan mesin sepeda motor---becak tetaplah becak.

Modifikasi itu menjelma jadi bentor alias becak motor. Di Jombang bentor kadang disebut becak kopling. Bentor melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi untuk ukuran keamanan bodi becak. Kadang melesat hingga 40 Km per jam. Yang memakai helm hanya pengemudi. Padahal akibat fatal kecelakaan juga mengintai penumpang. Bentor adalah simbol budaya "masyarakat lama" yang tertatih-tatih mengejar kereta cepat modernisme.

Menurut Sutiyoso, tenaga manusia yang jadi andalan "becak manual" tidak manusiawi. Belum lagi di kota-kota kecamatan akan kita jumpai bapak-bapak lanjut usia yang mengayuh becak. Nafasnya putus-putus. Berapapun ongkos yang kita bayar rasanya belum cukup untuk melunasi hutang kemanusiaan itu.

Namun, pada konteks yang lain, saya kerap berjumpa dengan momentum kunci adegan kemanusiaan ketika sedang naik becak. Pernah pada dini hari yang cukup dingin saya turun dari bus antar kota. Seorang bapak tua menawari saya becak. Angin berhembus kencang. Baru berjalan beberapa meter, becak manual itu berhenti. Saya pikir ada kerusakan atau ban bocor. Bapak tua itu menawari saya jaket. "Hawanya dingin, Mas. Ini pakai jaket saya," katanya. Saya gelagapan, tidak siap dengan adegan itu. Spontan saya terima jaketnya dan saya pakai. "Sekarang ganti Bapak yang kedinginan," saya membalasnya sambil tidak lupa mengucapkan terima kasih. "Tidak apa-apa. Saya sudah terbiasa," jawabnya.

Ah, manusia tradisional memang naif. Rela berkorban tidak semata demi uang. Transaksi tawar menawar harga dengan Bapak tua itu cukup berlangsung beberapa detik saja. Selebihnya, ia tidak lagi berpikir tentang uang. Ia bukan tukang becak. Bapak tua adalah manusia yang ngajeni saya sebagai sesama manusia.

Saya tidak tahu persis apakah Jakarta menawarkan iklim yang kondusif bagi sikap jernih kemanusiaan. Saya jadi teringat puisi Apa Ada Angin di Jakarta, karya Umbu Landu Paranggi. Apa ada angin di Jakarta / Seperti dilepas desa Melati / Apa cintaku bisa lagi cari/ Akar bukit Wonosari / Yang diam di dasar jiwaku / Terlontar jauh ke sudut kota / Kenangkanlah jua yang celaka / Orang usiran kota raya / Pulanglah ke desa / Membangun esok hari / Kembali ke huma berhati.

Angin adalah napas hidup. Harapan, mimpi dan cita-cita masa depan. Jakarta sebagai "panglima" kota urban di negeri ini bisakah menawarkan keadilan bagi rakyat pejalan kaki? Tampaknya kita memang tidak sedang membincangkan becak, apalagi Rambo dengan Becak Kencana-nya. []

Jombang, 17 Januari 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun