Mohon tunggu...
Achmad Humaidy
Achmad Humaidy Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger -- Challenger -- Entertainer

#BloggerEksis My Instagram: @me_eksis My Twitter: @me_idy My Blog: https://www.blogger-eksis.my.id

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Malam Jumat bersama "Nini Thowok"

16 Maret 2018   02:07 Diperbarui: 16 Maret 2018   04:14 1287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: sinopsisfilm.co.id

Jika kita tidak ikhas menerima kehilangan, maka hal tersebut akan terus menghantui sampai kapanpun. Bisa jadi hal itu akan menghantui sepanjang hidup kita.

Boneka Nini Thowok hadir menghiasi venue Gala Premiere film ini (dokpri)
Boneka Nini Thowok hadir menghiasi venue Gala Premiere film ini (dokpri)
Setelah tahun 2017 lalu, Film Pengabdi Setan dan Mata Batin sukses masuk menjadi film horor terlaris. Di awal tahun 2018, para pencinta film Indonesia mulai digentayangi film horor bertajuk Nini Thowok. Film yang sudah tayang sejak tanggal 1 Maret 2018 digarap oleh Erwin Arnada yang juga pernah menjadi sutradara dalam film Rumah Seribu Ombak di tahun 2012.

Film Nini Thowok diadaptasi dari cerita urban legend dengan nuansa mistis dari masyarakat Jawa Tengah (Klaten, Solo, dan Yogyakarta) yang sudah lama terlupakan. Awalnya, penulis menyangka bahwa film ini akan bercerita tentang kehidupan biografi dari seorang seniman yang bernama Didik Hadiprayitno atau yang lebih dikenal sebagai penari dengan nama panggung, Didik Ninik Thowok. Ternyata, persepsi itu salah.

Nini Thowok merupakan boneka berpakaian yang terbuat dari batok kelapa dan menyerupai jelangkung perempuan. Boneka ini berfungsi sebagai sarana memanggil arwah atau roh. Ukurannya hampir menyerupai manusia. Boneka Nini Thowok juga masih menjadi koleksi Museum Kesehatan dr. Adyatma atau Museum Santet di kota Surabaya, Jawa Timur.

Bukan bercerita tentang boneka Nini Thowok yang ada di museum tersebut, Film Nini Thowok justru bercerita tentang gadis yatim piatu bernama Nadine (Natasha Wilona) dan adik perempuannya, Naya (Nicole Rossi) yang terpaksa pindah dari Jakarta ke Solo untuk mengelola losmen Mekar Jiwo setelah eyang Marni (Jajang C. Noer) meninggal. Di losmen ada satu kamar terlarang yang tidak boleh dibuka oleh Mbok Ghirah (Ingrid Widjanarko) dan Pak Rahmat (Slamet Ambari).

Nadine penasaran dan nekat membuka kamar yang menyimpan benda-benda peninggalan pemilik losmen di masa lalu dengan sejarah berdarah. Setelah kamar berhasil terbuka, berbagai kejadian mistis mulai menghantui Nadine hingga akhir cerita.

Di dalam kamar terdapat boneka Nini Thowok yang konon sering digunakan untuk berkomunikasi dengan roh halus. Nadine mulai cari tahu, siapa pemilik boneka tersebut sekaligus pemilik pertama losmen yang ditempatinya.

Setelah mendengar cerita dari Mbok Ghirah, losmen diketahui merupakan peninggalan keluarga keturunan Cina bernama Nyonya Oei (Gesata Stella) yang meninggal secara mengenaskan. Perempuan yang ada di dalam lukisan tersebut menjadi pemilik losmen dan mati penasaran karena mencari anak perempuan yang hilang.

Teror mistis terus berlangsung, membuat Nadine berusaha mencari tahu apa yang telah terjadi di losmen sejak puluhan tahun silam. Ada urusan yang belum terselesaikan karena jasad anak perempuan Nyonya Oey masih disembunyikan oleh Pak Rahmat.

Lantas, apa hubungan antara boneka Nini Thowok dengan Nyonya Oei? Akankah Nadine mampu membongkar rahasia dari balik boneka Nini Thowok yang juga menyeret kisah masa kecil Pak Rahmat?

Tim Produksi Film Nini Thowok (entertainment.kompas.com)
Tim Produksi Film Nini Thowok (entertainment.kompas.com)
Secara keseluruhan, film Nini Thowok mampu memasukkan unsur-unsur horor yang mencekam. Mulai dari lokasi, properti, dan sinematografi yang usang. Lokasi syuting film yang berada di Museum Gula Gondang Winangoen Klaten, Pasar Klewer Solo, Pasar Beringharjo Yogyakarta, area Keraton Surakarta, dan area pemakaman Sukoharjo menjadi tempat-tempat yang merepresentasi mistis dengan ekstremis.

Kultur Jawa dimasukkan secara seimbang untuk mendukung adegan. Ada ritual dengan sesajen yang dipersembahkan untuk menghormati arwah yang telah tiada.

Babak awal mengajak penonton untuk masuk ke dalam kamar terlarang yang penuh misteri. Dengan tempo lambat, penonton harus sabar melihat visual tragedi kematian sang eyang yang penuh misteri. Penyajian yang tidak tergesa-gesa.

Hanya saja jelang tengah dan akhir, cerita tidak intens membuka misteri yang seharusnya bisa menjadi teka-teki karena mudah ditebak. Alim Sudio dan Agnes Davonar yang berjajar sebagai penulis naskah tak pandai melakukan riset panjang untuk menggali lebih dalam cerita legenda itu.

Jump scare pun tidak ada yang bisa membuat penonton kaget. Eksplorasi penampakan sosok hantu membuat penonton bingung. Losmen dipenuhi dengan sosok hantu nenek, hantu anak kecil, dan hantu Nyonya Oei. Hantu-hantu itu sengaja tampil untuk menakut-nakuti dan tidak berhasil masuk demi menjaga konsistensi cerita.

Beberapa adegan horor coba dieksekusi sutradara dengan gaya bercerita yang beda dari film-film horor biasa. Hanya saja penempatan suguhan pesan tidak mampu tersampaikan karena terasa janggal atau terlihat disengaja. Natasha Wilona justru terlihat berlari ke arah hantu yang menggentayanginya bukan kabur ke arah lain. Tidak ada penekanan dalam adegan yang mendebarkan untuk mengungkap makna dari ketakutan itu sendiri.

Adegan flashback pun tidak dikemas melalui visuaslisasi yang bagus. Penonton hanya bisa mendengar narasi dari si Mbok untuk mencari saksi kunci kisah masa lalu yang pernah terjadi.

Lama-kelamaan kisah misteri diungkap terbatas dengan durasi yang cepat. Alur cerita mengalir begitu sederhana sehingga tidak mencapai titik klimaks. Fokus alur hanya terlihat pada upaya mengungkap rahasia pemilik losmen tua tanpa efek ketegangan yang menakutkan. Hantu yang bergantayangan mudah sekali tunduk terhadap manusia.

Akting para pemeran juga masih terlihat kaku untuk membuat penonton peduli dalam setiap tingkah laku yang diperankan. Gangguan mistis yang mereka alami tidak membuat penonton ketakutan.

Sebagai pemeran utama, Natasha Wilona tidak maksimal. Ia hanya jadi magnet untuk menarik jumlah penonton datang ke bioskop. Apalagi ada adegan saat Natasha Wilona sarapan dengan makan kembang tujuh rupa. Selebihnya, adegan hanya menyisakan perputaran waktu dari pagi ke malam dengan transisi diri terhadap cerita ketakutan Nadine yang tidak berkembang.

Tunangan Nadine, Amec Aris (mantan drummer Band Lyla) juga masih terlalu kaku untuk jadi lelaki yang menjaga kekasihnya dari serangan hantu. Ada adegan saat Ia mencari Pak Rahmat ke dalam kamar yang gelap, namun Ia hanya membuka pintu sambil memanggil Pak Rahmat saja. Ia tidak masuk ke dalam kamar dan menyalakan lampu kamar itu. Sungguh adegan yang tidak terkonstruksi dengan baik.

Pak Rahmat dan Mbok Ghirah pun tak mampu menunjukkan posisi peran hingga akhir cerita. Porsi Slamet Ambari dan Ingrid Widjanarko tidak mendapat adegan yang bisa mengukuhkan bahwa mereka justru menjadi tokoh sentral yang seharusnya vital.

Jika Kompasianer merupakan pencinta film horor yang rindu akan ketakutan, maka film Nini Thowok sulit menjadi pilihan. Film ini hanya menjebak penonton pada kisah latar belakang sejarah pemilik bangunan lama tersebut. Tidak ada yang terlihat excited untuk menemui sosok seram atau mendengar efek suara dan musik yang bisa menjadi formula film horor lain. Original soundtrack dengan lagu Takkan Pernah Mati yang diciptakan oleh Raguel Lewi dan dinyanyikan Mytha Lestari juga hanya terdengar biasa saja mengiringi suasana magis.

Film horor yang terbilang ringan ini diproduksi oleh TBS Films dengan kolaborasi produser seperti Ronny Irawan, Andreas Setia Putra, dan Hendro Djasmoro. Rumah produksi yang baru dibentuk pada Mei tahun 2017 lalu berencana membuat sekuel dari film Nini Thowok. Jika memang itu akan dilakukan, penulis berharap kepada tim produksi agar lebih serius dalam menggarap film secara komprehensif yang tak sekedar mengharap jumlah penonton.

Tema lokal Nini Thowok yang termasuk dalam mitologi masyarakat Jawa seharusnya bisa unik jika dieksplor menjadi rangkaian kisah yang menarik. Cerita adaptasi bisa dilakukan lebih rinci jika mampu memasukkan kearifan lokal yang membumi. Visualisasi pun bisa mewakili tingkat ketakutan yang wajar sehingga film bisa memiliki potensi besar untuk memuaskan penonton.

Twitter @ninithowokmovie
Twitter @ninithowokmovie

'Takdir itu Gusti Allah yang menentukan, tapi nasib manusia yang menjalankan'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun