Mohon tunggu...
Achmad Humaidy
Achmad Humaidy Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger -- Challenger -- Entertainer

#BloggerEksis My Instagram: @me_eksis My Twitter: @me_idy My Blog: https://www.blogger-eksis.my.id

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Setelah Meraih Predikat Terpuji, Akankah "Cek Toko Sebelah" Meraih Predikat Terbaik?

3 November 2017   15:06 Diperbarui: 4 November 2017   14:38 3201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
CTS The Movie (Foto:https://www.apatadi.com)

Cek Toko Sebelah pun seolah memiliki struktur seperti rangkaian fragmen sketsa humor. Setiap perpindahan adegan membuat kita terlepas dari emosi yang sudah terbangun pada adegan sebelumnya. Hal tersebut menjadi efek dari usaha pemberian "panggung" kepada para komika sebagai pemeran pembantu untuk melontarkan banyolan mereka dalam mekanisme improvisasi seorang stand up comedian.

Namun, ada part yang memberi kesan lawakan terlalu dipaksakan alias garing kalau kata Kids Zaman Now. Ambil contoh saja karakter Rohman (Anyun Cadel) karyawan di toko sebelah yang juga menyukai Tini tak bisa menyebut huruf 'r'. Begitu juga dengan staf di kantor Robert yang diperankan oleh Sri Rahayu yang hobi selfie. Sebagai komika yang juga memiliki peran, mereka tak mampu menunjukkan materi yang lucu. Setup, punchlinedan tagtidak bisa diramu ke dalam guyonan khas karakternya.Untung saja cerita begitu cepat membius penonton untuk mengikuti babak demi babak berikutnya.

Setiap film pasti selalu ada celah yang terasa kurang. Pendalaman karakter yang telah berhasil dilakukan oleh para aktor dan aktris juga belum bisa dikenalkan kepada penonton secara mendalam. Ada beberapa tokoh lalu lalang begitu saja, lalu hilang entah kemana. Mantannya Ayu yang tiba-tiba datang tanpa konflik berkepanjangan. Hanya tokoh Anita yang coba diungkap karakternya melalui stalking via instagram yang dilakukan oleh Erwin dan Yohan.

Cek Toko Sebelah juga belum bisa menjadi film yang utuh. Perkembangan karakter tak bisa terasa maksimal. Sutradara sudah mencoba mendekatkan penonton dengan setiap karakternya, apalagi problematika cerita memang dekat dengan kehidupan sosial yang ada. Hanya saja, penuturan terbata-bata, sehingga tujuan Ernest untuk mendekatkan kurang tersampaikan. Ketika penonton sudah berusaha ingin menyatu dengan setiap karakter dan konfliknya, segmen komedi  mendistraksi intimasi dengan karakternya.

Korelasi judul dan cerita tentang persaingan toko dan sosok pelanggan yang sering berhutang juga tidak begitu sampai ke penonton. Judul Cek Toko Sebelah tidak mampu merepresentasi isi film secara keseluruhan. Dipasarkan sebagai bentuk film komedi, nyatanya judul film belum merujuk pada frase yang menyatakan ekspresi pemilik toko yang menganjurkan calon pembelinya untuk membandingkan harga atau kualitas barang ke toko milik pesaing. Hanya tersisa adegan lovable yang really funny saat dua pemilik toko yang 'bersaing' terlihat akur karena Koh Afuk terpaksa menjual tanah tokonya. Adegan lainnya hanya muncul di toko seperti karyawan toko yang naksir karyawan toko sebelah atau karyawan yang akur dalam bekerja maupun yang cekcok dengan canda.

Beberapa detail cerita belum tampak terungkap. Adegan lomba nyeni antar toko untuk menyusun kotak-kotak produk TjePok semacam tempelan saja, tiba-tiba hadir tanpa ada penjelasan di awal cerita. Sama juga seperti adegan Dion Wiyoko yang membayar utang kepada ayahnya sendiri, penonton tidak pernah tahu alasan awal anak sempat berhutang kepada orangtuanya. Lalu cerita setelah Koh Afuk menjual tokonya, kisah toko Pak Nandar (Budi Dalton) dan Bu Hilda yang suka berhutang pun menghilang begitu saja.

Sebagai penulis skenario yang menuliskan permasalahan ranah domestik atau pribadi namun berusaha memberi dampak secara luas untuk semua kalangan ini memang membutuhkan ketelitian. Problematika di dalam plot cerita Cek Toko Sebelah memiliki banyak kekayaan bila dirasakan lewat naskahnya, tetapi hasil di layar tak dapat dirasakan sepenuhnya.

Dengan durasi mencapai 104 menit, Cek Toko Sebelah seolah memiliki keterbatasan dalam memperlihatkan kekayaan naskahnya. Ernest terlalu kreatif untuk menempatkan komedi yang terlalu banyak. Materi-materi komedi tampak menjadi pelarian diri dari plot yang terlalu serius. Lalu, sequence komedi ini tak bisa membaur menjadi satu dengan penuturan plot utamanya dan informasi yang diterima akan terpisah jika sedikit saja penonton hilang fokusnya.

Lantas, film yang dirilis akhir tahun 2016 ini juga belum mampu menawarkan komposisi teknik kamera yang tepat. Misalnya, saat adegan dokter Cahyo (Arief Didu) mendamaikan kakak beradik yang sedang bertengkar di rumah sakit. Padahal, komposisi cerita sudah diatur begitu seimbang memenuhi unsur ruang komedi dan drama keluarga. Beberapa adegan juga kekurangan stock shot sehingga energi dari lensa kamera terasa lewat begitu saja.

Namun, komedi yang pecah berantakan dan mampu membawa perasaan ini terus didukung gurih soundtrackdari The Overtunes dan GAC (Gamaliel Audrey Cantika). Musik dan lirik nyaman mengalun di tiap babak film yang diproduksi oleh Starvision Plus ini. Dari awal durasi irama musik membangun mood film secara apik sebagai pemandu emosi, senyum dan harapan penonton.

Hanya saja pemotongan adegan dan lagu menuju ke adegan berikut terasa terputus. Meski tidak mengganggu kontruksi cerita secara keseluruhan, namun bisa membuat distorsi kembali saat penonton sedang menikmati suasana dramatis yang sedang dibangun membentuk kesatuan cerita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun