Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sejarah Kelam Raja-raja Jawa

5 September 2019   11:49 Diperbarui: 5 September 2019   23:53 7102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Araska Publisher

Akibatnya, Arya Pangiri berhasil dilengserkan dari tahta kekuasaannya sebagai sultan di Pajang. Paska pemerintahan Arya Pangiri, Pangeran Banawa yang semula menjadi adipati di Jipang dinobatkan sebagai sultan di Pajang (1586-1587).

Paska pemerintahan Pangeran Banawa pada tahun 1587, Kesultanan Pajang hanya berstatus sebagai bawahan Mataram. Bisa dikatakan bahwa Mataram merupakan kerajaan merdeka tanpa bayang-bayang kekuasaan Pajang. Sebab itu, Panembahan Senapati memiliki hak penuh untuk melakukan ekspansi wilayah kekuasaan ke Jawa Timur.

Sesudah Panembahan Senapati menundukkan Madiun hingga menjadikan Retna Dumilah (putri Adipati Rangga Jumena) sebagai permaisuri kedua, Adipati Pragola I dari Pati melakukan makar terhadap Mataram. Makar tersebut karena Mustikajawi yang merupakan saudara kandungnya dan sekaligus permaisuri Panembahan Senapati telah diduakan dengan Retna Dumilah. Berkat ketangguhan pasukan Mataram, makar Adipati Pragola I dapat dipadamkan.

Praktik makar yang terjadi di Mataram sejak pemerintahan Panembahan Senapati hingga Sunan Amangkurat I tidak hanya terjadi sekali, namun beberapa kali. Semasa pemerintahan Raden Mas Jolang (1586-1587), Mataram dihadapkan praktik makar Pangeran Puger (adipati Demak) dan Adipati Jayaraga dari Panaraga. Semasa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645), Mataram dihadapkan praktik makar Adipati Pajang, Adipati Pragola II, para ulama Tembayat, dan Adipati Ukur. Semasa pemerintahan Sunan Amangkurat I (1645- 1677), Mataram dihadapkan praktik makar Panembahan Ageng Giri dan Trunajaya yang mendapatkan dukungan Panembahan Rama, Kraeng Galengsong, dll. Berkat makar yang dilakukan Trunajaya tersebut, Mataram mengalami keruntuhannya.

Melalui kerjasamanya dengan VOC, Sunan Amangkurat II berhasil menangkap dan menjatuhi hukuman mati kepada Trunajaya. Sesudah kematian Trunajaya, Sunan Amangkurat II yang semula menobatkan diri sebagai raja di Tegalarum mendirikan kerajaan di Kartasura yang kelak dikenal dengan Kasunanan Kartasura.

Selama keberlangsungannya, Kasunanan Kartasura dilanda perang saudara yang dipicu dengan ambisi untuk mendapatkan kekuasaan sebagai raja. Berdasarkan catatan sejarah, terjadi tiga kali perang saudara di Kartasura yang dikenal dengan Perang Suksesi Jawa I, Perang Sukesesi Jawa II, dan Perang Suksesi Jawa III yang berlangsung sejak awal Kasunanan Kartasura (1745) hingga awal Kasunanan Surakarta atau Perjanjian Salatiga (1757).

Diketahui bahwa Perang Suksesi Jawa I yakni perang perebutan kekuasaan antara Sunan Amangkurat III versus Pangeran Puger yang mendapat dukungan VOC dan Arya Mataram.

Perang Suksesi Jawa II antara Sunan Amangkurat IV versus Arya Dipanagara, Pangeran Blitar, Pangeran Purbaya, dan Arya Mataram. Sedangkan, Perang Suksesi Jawa III antara Sunan Pakubuwana II hingga berlanjut pada Sunan Pakubuwana III versus Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said (Pangeran Samber Nyawa).

Akhir Perang Suksesi Jawa III ditandai dengan Perjanjian Giyanti (1755) dan Perjanjian Salatiga (1757). Dari Perjanjian Giyanti, lahirlah Kesultanan Yogyakarta yang merupakan wilayah kekuasaan Raden Mas Sujana atau Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengkubuwana I).

Sementara dari hasil Perjanjian Salatiga, lahirlah Praja Mangkunegaran yang merupakan wilayah kekuasaan Raden Mas Said (Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I).

[Sri Wintala Achmad]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun