Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sejarah Kelam Raja-raja Jawa

5 September 2019   11:49 Diperbarui: 5 September 2019   23:53 7102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Araska Publisher

Keberlangsungan kerajaan-kerajaan di Jawa niscaya diwarnai dengan intrik, konspirasi perebutan harta, tahta, dan wanita. Pada era pemerintahan Dewa Singha, Kalingga Selatan diserang oleh Sanjaya. Akibat serangan itu, tahta kekuasaan Dewa Singha tergulingkan. Paska runtuhnya Kalingga Selatan, Sanjaya mendirikan Kerajaan Medang dan menobatkan diri sebagai raja.

Selama keberlangsungan Kerajaan Medang diwarnai aksi perang dan makar untuk memerebutkan tahta kekuasaan. Aksi perang (ekspedisi militer) dilakukian oleh Rakai Panunggalan Dyah Dharanindra terhadap raja-raja Jawa, Sumatera dan di luar wilayah nusantara seperti Campa dan Kamboja.

Sementara aksi makar dibuktikan dengan pemberontakan Rakai Panangkaran Dyah Pancapana terhadap kekuasaan Sanjaya, pemberontakan Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni terhadap kekuasaan Rakai Pikatan Mpu Manuku, pemberontakan Rakai Gurunwangi Dyah Saladu dan Rakai Limus Dyah Dewendra terhadap kekuasaan Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala, penyerangan Rakai Watukura Dyah Balitung terhadap Dyah Saladu dan Dyah Dewendra, pemberontakan Rakai Hino Mpu Daksa terhadap kekuasaan Dyah Balitung, dan pemberontakan Rakai Sumba Dyah Wawa terhadap kekuasaan Rakai Layang Dyah Tulodong.

Pemerintahan Dyah Wawa berakhir bersama meletusnya Gunung Merapi yang teramat dahsyat pada tahun 928. Sejak itu, Mpu Sindok yang merupakan Rakryan Mapatih Hino memindahkan ibukota Medang dari bumi Mataram (Jawa Tengah) ke Tamlang dan berakhir di Watugaluh (Jawa Timur) pada tahun 929. Mengingat Dyah Wawa menjadi korban bencana Merapi, Mpu Sindok kemudian menobatkan diri sebagai raja Medang.

Tidak disebutkan secara pasti apakah semasa pemerintahan Mpu Sindok, terjadi makar. Prasasti Waharu (931) hanya sekilas menyinggung bahwa Medang pernah mendapat serangan dari musuh negara. Apakah musuh negara itu datang dari para pemberontak atau kerajaan lain tidak ada sumber sejarah yang menyebutkannya dengan gamblang.

Semasa pemerintahan raja wanita Sri Isanatunggawijaya dan Sri Makuthawangsawardhana tidak diketahui apakah Medang dilanda aksi makar. Makar pada era Medang periode Jawa Timur baru diketahui semasa pemerintahan Dhamawangsa Teguh. Saat itu, Haji Wurawari yang merupakan raja bawahan Medang memberontak terhadap kekuasaan Dharmawangsa Teguh sesudah tidak direstui untuk menikahi putrinya yakni Dewi Laksmi.

Makar Haji Wurawari dari Lwaram terhadap kekuasaan Dharmawangsa Teguh menuai hasil gemilang karena dukungan Sriwijaya. Akibat makar Haji Wurawari, Dharmawangsa Teguh tewas beserta para tamu undangan resepsi pernikahan Dewi Laksmi dan Airlangga. Peristiwa tewasnya Dharmawangsa Teguh dan para tamu undangan tersebut dikenal dengan mahapralaya (kematian massal).

Paska runtuhnya Kerajaan Medang, timbullah Kerajaan Kahuripan di bawah kepemimpinan Airlangga. Pada awal menjadi raja, Arilangga menundukkan Raja Hasin, Wisnuprabhawa (raja Wuratan), dan Panuda (raja Lewa) pada tahun 1030.

Namun pada tahun 1032, Airlangga mendapat serangan hebat dari putri Raja Panuda yang berkuasa di daerah Tulungagung (1032). Melalui serangan putri Raja Panuda, Kahuripan diporak-porandakan. Bersama Mapanji Tumanggala, Airlangga melarikan diri ke Desa Patakan.

Pada tahun yang sama, Airlangga berbalik menyerang hingga menaklukkan putri Raja Panuda. Airlangga pun berhasil menaklukkan Haji Wurawari dan menumpas aksi makar Raja Wijayawarma dari Kerajaan Wengker pada tahun 1035.

Pada tahun 1042, Airlangga turun tahta sesudah membagi wilayah Kahuripan menjadi Janggala dan Kadiri. Karena Janggala merupakan wilayah strategis perdagangan, Kadiri berusaha menguasainya. Ketika pemerintahan Mapanji Jayabhaya, Janggala berhasil dikuasai. Karenanya Tumapel yang semula merupakan wilayah Janggala berada di bawah kekuasaan Kadiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun