Lebih jauh Poerbatjaraka menyatakan bahwa kata "tamwan" berasal dari kata "temu", lalu ditafsirkannya "daerah tempat sungai bertemu". Namun yang pasti semasa penaklukan Sriwijaya oleh Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, kerajaan tersebut beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).
Pada tahun 2013, penelitian arkeologi yang dilakukan oleh Universitas Indonesia menemukan beberapa situs keagamaan dan tempat tinggal di Muaro Jambi. Ini menunjukkan bahwa ibu kota awal Sriwijaya terletak di Muaro Jambi di tepian sungai Batang Hari dan bukan di sungai Musi.Â
Situs arkeologi mencakup delapan candi yang sudah digali di kawasan seluas sekitar 12 kilometer persegi, membentang 7,5 kilometer di sepanjang sungai Batang Hari, serta 80 menapo atau gundukan reruntuhan candi yang belum dipugar.
Situs Muaro Jambi yang ditemukan melalui penelitian arkeologi tersebut bercorak Buddha Mahayana-Wajrayana. ini menunjukkan bahwa situs tersebut merupakan pusat pembelajaran agama Buddhis yang berkaitan dengan tokoh cendekiawan Buddhis yakni Suvaradvipi Dharmakirti dari abad ke-10. Catatan sejarah dari Cina juga menyebutkan bahwa Sriwijaya menampung ribuan biksu.
Teori lain berpendapat bahwa ibu kota Sriwijaya terletak di Chaiya, Surat Thani, Thailand Selatan. Chaiya ditafsirkan dari kata "cahaya" dalam bahasa Melayu. Ada pula yang percaya bahwa Chaiya identik dengan Sriwijaya. Sekalipun teori tersebut didukung oleh sejarawan Thailand, namun dianggap kurang kuat.
Perpindahan Pusat PemerintahanÂ
Dari beberapa teori di muka, sebagian besar sejarawan sepakat bahwa Minanga Tamwan merupakan ibu kota awal Sriwijaya di masa pemerintahan Dapunta Hyang Sri Jayanasa (Dapunta Sailendra). Pendapat tersebut berpijak pada teori Moens yang mendapatkan dukungan Poerbatjaraka.
Sementara penelitihan arkeologi yang dilakukan oleh Universitas Indonesia menyebutkan bahwa Muoro Jambi merupakan pusat pemerintahan awal Sriwijaya. Dari sini muncul dugaan bahwa sesudah Minanga Tamwan, ibu kota Sriwijaya berpindah ke Muoro Jambi.
Dengan demikian teori Coedes yang menyebutkan bahwa pusat pemerintahan awal Sriwijaya berada di Palembang kurang mendapat dukungan dari para sejarawan. Sekalipun Moens sepakat bahwa Palembang pernah menjadi ibu kota Sriwijaya sesudah Dapunta Hyang datang ke wilayah tersebut.
Selanjutnya Moens menyatakan ketika pusat pemerintahan Dapunta Hyang berada di Palembang, salah satu keluarga dalam dinasti tersebut berpindah ke Jawa. Dari sini muncul perkiraan bahwa pengaruh Dinasti Dapunta Hyang yang dikenal dengan Dinasti Sailendra mulai menyebarkan pengaruhnya di Jawa sejak tahun 674.
Pengaruh Dinasti Sailendra semakin kuat ketika Rakai Panangkaran Dyah Pancapana berhasil menggulingkan kekuasaan Ratu Sanjaya di Medang pada tahun 760. Bahkan sejak Rakai Panangkaran (Jawa) atau paska pemerintahan Sri Maharaja (Palembang) hingga akhir pemerintahan Rakai Garung Dyah Samaratungga pada tahun 833, ibu kota Sriwijaya berpindah dari Palembang ke Jawa (Medang).Â
Namun sejak Balaputradewa (putra Rakai Warak Dyah Samaragrawira atau Rakai Garung Dyah Samaragriwa) menjabat raja, ibu kota Sriwijaya kembali ke Palembang (Swarnadwipa).