Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Fakta di Balik Cerita Sesat Majapahit

2 Juli 2019   00:22 Diperbarui: 3 Juli 2019   23:17 9443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Araska Publisher

MASYARAKAT, terutama di Jawa, tidak dapat dilepaskan dengan tradisi tutur (lisan) dan tradisi dengar. Tradisi ini terus berlangsung sebelum masyarakat memasuki dunia pendidikan formal paska era kolonial. Di mana, masyarakat mulai banyak yang bersentuhan dengan tradisi tulis dan baca.

Sebelum tradisi tulis dan baca mengalami perkembangan, masyarakat cenderung dikungkung dengan tradisi tutur dan dengar. Pendapat ini dapat ditunjukkan bahwa dongeng dan mitos mengalami perkembangan pada masa lalu.

Sementara pihak pendongeng dan pencerita serta pendengarnya tidak melakukan kritisi terhadap isi dongeng atau mitos tersebut. Akibat paling buruk yakni menerima dongeng atau mitos yang berkaitan sejarah dianggap sebagai fakta.

Seirama perkembangan zaman, masyarakat modern yang bersentuhan dengan tradisi baca dan tulis mulai kritis terhadap dongeng atau mitos.

Sehingga, masyarakat mulai dapat membedakan mana dongeng atau mitos dan mana sejarah. Mana sejarah yang dicampuradukkan dengan dongeng atau mitos dan mana sejarah yang dilepaskan dari dongeng atau mitos sesudah mengalami kajian dan analisa kritis yang mendalam.

Tentu saja, analisa tersebut berdasarkan sumber-sumber sejarah dan teori-teori dari para sejarawan terpercaya.

Pencampuradukan antara dongeng atau mitos dengan sejarah cenderung berkaitan dengan kerajaan-kerajaan yang timbul pada masa silam, salah satunya Kerajaan Majapahit atau Wilwatikta. Akibat tradisi lisan dan tradisi dengar yang tidak disertai kritisi cerdas, yakni masyarakat cenderung memercayai dongeng atau mitos Majapahit ketimbang fakta sejarahnya. Karenanya perlu dijelaskan mengenai fakta sejarah di balik dongeng atau mitos Majapahit.

Makar

Makar identik atau bersinonim dengan kata pemberontakan atau kudeta. Pada umumnya, makar dilakukan oleh rakyat, punggawa negara, kerabat raja (pemimpin negara) baik dilakukan secara perseorangan maupun kelompok terhadap raja yang tengah berkuasa.

Tujuan makar sangat bervariasi. Bila rakyat yang melakukan makar, raja (pimpinan negara) tidak memberikan keadilan, kemakmuran, atau kesejahteraan. Sehngga makar di sini dapat dimaknai sebagai bentuk protes yang dilakukan secara massal dan sering menggunakan kekerasan atau senjata.

Tujuan makar ini untuk menggulingkan kekuasssaan raja lama dan menggantikannya dengan raja baru yang diharapkan dapat mengentaskan keterpurukan nasib rakyat.

Selanjutnya bila dilakukan oleh punggawa, kerabat raja, atau lawan politik; maka makar bisa diperkirakan untuk merebut kekuasaan. Hal ini dibuktikan sewaktu Dyah Wijaya melakukan makar terhadap Jayakatwang. Sungguhpun Dyah Wijaya berstatus sebagai bawahan, namun esensinya sebagai lawan politik Jayakatwang yang memiliki ambisi besar untuk menjadi raja paska runtuhnya kekuasaan Kertanagara di Singhasari.

Karenanya sesudah berhasil menggalang pasukan gabungan Tartar dan pengikutnya, Dyah Wijaya melakukan makar terhadap Jayakatwang. Paska tergulingnya kekuasaan Jayakatwang, Dyah Wijaya menobatkan diri sebagai Raja Majapahit.

Dalam sejarah Majapahit, esensi makar Dyah Wijaya terhadap Jayakatwang tersebut tidak pernah dikemukakan. Hal ini wajar, karena para penulis kakawin dan naskah babad cenderung mengungkapkan bahwa apa yang dilakukan Dyah Wijaya terhadap Jayakatwang sebagai bentuk balas dendanm atas makar yang dilakukan Raja Daha tersebut kepada Kertanagara.

Berkaitan dengan makar, cerita tutur menyebutkan, "Ranggalawe, Lembu Sora, dan Nambi diangggap oleh sebagian masyarakat telah melakukan makar terhadap kekuasaan Dyah Wijaya."

Bila dikaji lebih jauh dan mendalam, cerita tutur di muka tidak selaras dengan fakta sejarah. Di mana, Ranggalawe, Lembu Sora, dan Nambi tidak pernah melakukan makar terhadap kekuasaan Dyah Wijaya. Ketiga tokoh Majapahit itu hanya dituduh akan melakukan makar terhadap Majapahit sesudah Dyah Wijaya mendapat laporan palsu dari Halayuda.

Gajah Mada

Pada umumnya, masyarakat menganggap Gajah Mada merupakan patih terbesar di Majapahit -- suatu kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang berlangsung pemerintahannya sejak pemerintahan Dyah Wijaya hingga Girindrawardhana Dyah Ranawijaya.

Dalam buku Gajah Mada, Pahlawan Persatuan Nusantara karya Muhamad Yamin yang terbit pada tahun 1945, tokoh Gajah Mada sangat ditonjolkan. Melihat judulnya saja bisa diduga bahwa buku ini mengisahkan perihal kepahlawanan Gajah Mada dari Majapahit.

Melalui buku tersebut, Muhamad Yamin menampilkan foto sekeping terakota yang mewujud wajah lelaki berpipi tembem dan berbibir tebal. Di bawah foto sosok itu, Yamin menuliskan: "Gajah Mada.... Rupanya penuh dengan kegiatan yang maha tangkas dan air mukanya menyinarkan keberanian seorang ahli politik yang berpemandangan jauh."

Akan tetapi, Hasan Djafar -- seorang arkeolog dan ahli sejarah kuna dari Universitas Indonesia -- menyebutkan kepingan terakota yang berada di Museum Trowulan tersebut sejatinya merupakan bagian dari celengan kuna. Dengan demikian, kepingan terakota tersebut tidak memiliki kaitan dengan sosok Gajah Mada. Sehingga sosok Gajah Mada yang sampai sekarang diidentikkan oleh masyarakat dengan kepingan terakota tersebut bukan sosok Gajah Mada. Pengertian lain, sosok Gajah Mada masih misterius.

Kemisteriusan Gajah Mada bukan sekadar terbatas pada sosok fisiknya, melainkan pula masih banyak seperti yang dikemukakan oleh Agus Aris Munandar dalam bukunya bertajuk Gajah Mada: Biografi Politik (2010). Kemisterius tersebut meliputi mitos kelahiran dan nama asli Gajah Mada, serta pasukan Bhayangkara dan Sumpah Palapa yang tidak pernah berhasil menguasai wilayah Nusantara.

Kisah kelahiran Gajah Mada dipenuhi dengan mitos. Terdapat dugaan bahwa pemitosan kelahiran Gajah Mada tersebut ditujukan untuk melegitimasi kedudukannya sebagai orang besar, orang sakti, dan sebagai pahlawan Majapahit karena berhasil menundukkan banyak wilayah di nusantara demi terealisasinya Sumpah Palapa.

Kitab Usana Jawa mengisahkan bahwa Gajah Mada tidak lahir dari manusia, melainkan lahir begitu saja dari buah kelapa. Barangkali pemitosan tersebut berangkat dari dua kata "kelapa" dan "palapa" yang hampir sama dalam pengucapannya. Sungguhpun demikian, pemitosan tersebut tidak masuk akal. Mengingat belum ada manusia yang lahir di dunia ini dari buah kelapa. Kalau toh ada, manusia tersebut lahir dari negeri dongeng.

Sementara, Babad Gajah Maddha menyebutkan bahwa Gajah Mada merupakan anak dari Dewa Brahma -- salah satu dari tiga dewa utama (Trimurti) kaum Hindu -- dengan Nariratih, istri seorang pendeta muda bernama Mpu Sura Dharmayogi. Dengan demikian, pemitosan ini mirip dengan pemitosan Ken Arok yang merupakan putra Brahma. Perbedaannya, Gajah Mada hidup di zaman Majapahit dan berstatus sebagai Mahapatih Amangkubhumi. Sementara, Ken Arok, menurut Serat Pararaton, hidup di zaman Tumapel (Singhasari) dan berstatus sebagai raja.

Kisah-kisah kelahiran Gajah Mada yang berbau supranatural ini lazim tercatat dalam naskah-naskah babad dengan tujuan bahwa kelahiran tersebut memang direstui oleh Dewata untuk mendapat kekuatan adi kodrati. Pengertian lain, proses kelahirannya sudah menandakan bahwa Gajah Mada ditakdirkan menjadi orang yang sangat tersohor atau disegani baik oleh masyarakat dalam negeri Majapahit maupun masyarakat mancanegara.

Selain kelahiran Gajah Mada yang diwarnai dengan mitos, silsilahnya pun tidak jelas. Menurut Babad Arung Bondan, Gajah Mada disebutkan sebagai putra dari patih Majapahit. Sementara Agus Aris Munandar menduga bahwa Gajah Mada merupakan putra Gajah Pagon, pengawal setia Dyah Wijaya, Raja Majapahit I yang membuka hutan Tarik. Cikal bakal Kerajaan Majapahit.

Menurut Serat Pararaton bahwa Gajah Pagon dan Gajah Mada memiliki sifat yang sama yakni pemberani, tahan mental, tidak mudah menyerah, setia kepada tuannya, dan berperilaku seperti hewan gajah yang bernyali untuk menghadang segala rintangan.

Kata "gajah" pada nama Gajah Mada mengacu pada hewan yang dalam mitologi Hindu dipercaya sebagai vahana (hewan tunggangan) Dewa Indra. Sementara, gajah milik Dewa Indra bernama Airavata. Sedangkan "mada" pada nama Gajah Mada yang berasal dari bahasa Jawa Kuna tersebut mengandung makna "mabuk".

Dari uraian di muka bisa disimpulkan bahwa nama Gajah Mada mengandung pengertian gajah mabuk. Maka, ia akan berjalan seenaknya, beringas, dan menerabas segala macam rintangan. Sepertinya nama itu yang cocok dan sudah dipikirkan betul-betul sebelum diberikan kepada Gajah Mada.

Sumber lain juga menyebutkan bahwa nama Gajah Mada bukan nama asli, melainkan nama gelar. Sebelum menjabat sebagai Mahapatih Amangkubhumi, Gajah Mada dikenal dengan Jaka Mada. Nama ini pun bukan nama asli, melainkan nama yang menunjukkan bahwa ia merupakan seorang pemuda dari wilayah Mada. Namun sampai sekarang, wilayah Mada pun masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan.

Dari uraian di muka, muncul pendapat bahwa tokoh Gajah Mada masih misterius. Kebenaran atas keberadaan tokoh tersebut sejak masa pemerintahan Jayanagara, Tribhuwana Wijayatunggadewi, hingga Hayam Wuruk masih belum terkuak dengan jelas.

Sumpah Palapa dan Wilayah Kekuasaan Majapahit

Banyak asumsi dari sebagian sejarawan bahwa Majapahit melalui spirit Sumpah Palapa Gajah Mada telah berhasil menguasai nusantara. Pendapat yang bersumber dari Serat Pararaton tersebut dikuatkan oleh Muhamad Yamin dalam bukunya Gajah Mada, Pahlawan Persatuan Nusantara.

Di dalam buku tersebut, Muhammad Yamin yang menggambarkan sosok Mahapatih Amangkubhumi Gajah Mada melampirkan secarik peta wilayah Majapahit yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari Timor sampai ke Talaud dengan judul "Daerah Nusantara dalam Keradjaan Madjapahit".

Pendapat Muhammad Yamin perihal Majapahit yang berhasil menguasai wilayah-wilayah nusantara meliputi Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Bali, Papua, Nusa Tenggara, dan lain-lain berkat Sumpah Palapa Gajah Mada tersebut tidak sejalan dengan pendapat Hasan Djafar. Seorang arkeolog, ahli epigrafi, dan sejarah kuna yang bekerja di Museum Nasional.

Menurut Hasan, meski Majapahit merupakan kerajaan Hindu-Buddha terbesar, namun tidak pernah menguasai nusantara. Hasan mengungkapkan dalam etimologi "menguasai" mengandung kesan seolah-olah ada daerah atau wilayah taklukan serta upeti yang disetorkan dari penguasa daerah kepada Raja Majapahit.

Wilayah kekuasaan Majapahit pada masa kejayaannya, menurut Hasan, sekadar menunjukkan hubungan Majapahit dengan daerah-daerah sekitarnya yang bersifat "mitra satata" (sahabat setara) atau mitra dalam kedudukan sama tinggi.

Dalam hal ini, Majapahit dengan pelabuhan-pelabuhan di sepanjang pantai utara Jawa, seperti Lasem, Tuban, Gresik, dan Jepara menyediakan tempat bagi berkumpulnya para pedagang seantero nusantara.

Hasan menyebutkan bahwa "nusa" bermakna "pulau" atau "daerah", sementara "antara" bermakna "yang lain". Dengan demikian, nusantara pada masa Majapahit diartikan sebagai "daerah-daerah yang lain". Karena secara faktual berada di luar wilayah Majapahit.

Lantas daerah-daerah lain itu mana saja? Menurut Hasan, daerah-daerah lain tersebut misal Sumatera, Kalimantan, Cina, Arab, dll. Artinya konsep nusantara merupakan koalisi antara kerajaan-kerajaan yang turut bekerja untuk kepentingan bersama dalam keamanan dan perdagangan regional. Sifatnya pun bukan menguasai, sehingga pemberian hadiah tidak bisa dimaknai sebagai upeti.

Sebagai kerajaan adikuasa paska Sriwijaya, Majapahit memang berkepentingan dengan wilayah kerajaan-kerajaan tersebut sebagai daerah tujuan pemasaran dan penghasil sumber daya alam dalam perdagangan.

Namun, hubungannya tidak antara penguasa dan yang dikuasai secara politis. Justru yang tercipta adalah hubungan kerjasama setara, sehingga Majapahit juga berkepentingan untuk mengamankan dan melindungi wilayah-wilayah tersebut.

Kesalahpahaman perihal Majapahit menguasai seluruh nusantara, menurut Hasan, disebabkan para founding fathers Indonesia, terutama Muhammad Yamin, sedang mencari formula untuk menciptakan satu kesatuan Indonesia. Maklum, pada saat itu Indonesia masih terkotak-kotak dalam semangat kesukuan dengan adanya Jong Java, Jong Celebes, dan Jong Sumatera.

Karena itulah disebutkan bahwa konsep nusantara yang sudah ada pada zaman Singhasari dengan nama Dipantara lantas diperkuat pada zaman Majapahit.

Berpijak pada penjelasan Hasan tersebut maka bisa disimpulkan bahwa Sumpah Palapa yang diikrarkan Gajah Mada (Serat Pararaton) di hadapan Raja Tribhuwana Wijayatunggadewi tidak pernah berhasil menguasai seluruh wilayah nusantara sebagaimana yang dinyatakan oleh Muhammad Yamin.

Serat Kandha

Serat Kandha merupakan karya fiksi sejarah yang digubah pada era pemerintahan Sunan Pakubuwana IV. Dikatakan karya fiksi sejarah, karena kisah dalam naskah tersebut memiliki latar belakang sejarah Majapahit, namun tidak selaras dengan fakta sejarahnya.

Berpijak pada analisa historis, Serat Kandha yang ditujukan agar rakyat Blambangan (Banyuwangi) tidak memiliki rasa dendam dengan Sultan Agung yang pernah melakukan ekspansi wilayah kekuasaan ke daerah tersebut tidak selaras fakta sejarah Majapahit pada era pemerintahan Sri Suhita.

Pada era kekuasaan Sri Suhita yang didampingi suaminya yakni Bhra Hyang Parameswara Ratnapangkaja, muncul peristiwa eksekusi penggal kepada kepada Bhra Narapati (Raden Gajah). Eksekusi terhadap Bhra Narapati itu dilakukan oleh Sri Suhita sendiri. Dikarenakan sewaktu terjadi Perang Paregreg, Bhra Narapati telah memenggal kepala Bhre Wirabhumi kakeknya.

Fakta sejarah di muka kemudian dijadikan inspirasi kisah Damarwulan dalam Serat Kandha. Di dalam naskah tersebut dikisahkan bahwa Prabu Putri Kencana Wungu (Sri Suhita) membuka sayembara bahwa barang siapa dapat memenggal kepala sang Adipati Blambangan yakni Menak Jingga (Bhra Narapati) akan menjadi pendamping hidupnya. 

Mendengar pengumuman itu, Damarwulan berkenan untuk mengikuti sayembara. Karena bantuan Waeta dan Puyengan (istri simpanan Menak Jingga), Damarwulan berhasil memengal kepala Menak Jingga. Dari prestasinya itu, Damarwulan menjadi suami Kencanawungu. Hasil pernikahan mereka, kelak lahirlah Brawijaya I.

Uraian di muka memberikan penegasan bahwa kisah dalam Serat Kandha bukan fakta sejarah Majapahit. Tetapi naskah tersebut cenderung sebagai karya fiksi yang memiliki latar belakang sejarah Majapahit. Sebab itu, naskah tersebut tidak bisa dijadikan rujukan di dalam menguak fakta sejarah Majapahit.

Perang Sudarma Wisuta

Babad Tanah Jawa dan Serat Darma Gandhul mengisahkan tentang Perang Sudarma-Wisuta antara Prabu Brawijaya V (ayah) dan Raden Patah (putra). Menurut kedua naskah tersebut, Raden Patah memerangi Prabu Brawijaya karena dianggap sebagai raja kafir.

Pendapat dari kedua naskah baik Babad Tanah Jawa dan Serat Darma Gandhul tersebut diyakini oleh sebagian masyarakat sebagai kebenaran. Padahal kalau dikaji berdasarkan fakta sejarahnya, tidak benar. Karenanya, keyakinan akan kebenaran Perang Sudarma-Wisuta antara Prabu Brawijaya dengan Raden Patah tersebut perlu diluruskan.

Berdasarkan fakta sejarah, tidak pernah terjadi Perang Sudarma-Wisuta. Mengingat Raden Patah tidak pernah menyerang Bhre Kertabhumi (raja Majapahit beribukota Majakerta) ayahnya. Adapun  yang diserang Raden Patah adalah Girindrawardhana Dyah Ranawijaya. Raja Majapahit dengan ibukota Daha yang menggulingkan kekuasaan Bhre Kertabhumi.

Serangan Raden Patah pada Dyah Ranawijaya dikarenakan untuk mendapatkan legitimasi sebagai pewaris tahta Majapahit. Di samping, serangan Raden Patah tersebut dapat ditafsirkan sebagai bentuk balas dendam terhadap Girindrawardhana Dyah Ranawijaya yang telah menggulingkan kekuasaan Bhre Kertabhumi ayahnya. 

Dari penjelasan di muka, muncul dugaaan bahwa Babad Tanah Jawa dan Serat Darma Gandhul mengidentikkan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya dengan Bhre Kertabhumi sebagai Brawijaya V. Padahal Dyah Ranawijaya bukan ayah Raden Patah, melainkan saudara iparnya.

Hal ini dibuktikan ketika Dyah Ranawijaya berhasil ditundukkan oleh Raden Patah tetap diampuni. Sehingga Dyah Ranawijaya tetap menjabat pimpinan Majapahit, sungguhpun bukan sebagai raja dengan otoritas penuh, melainkan sebagai raja bawahan Demak. [Sri Wintala Achmad]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun