Kekhawatiran Somat dan Tarkam yang lebih besar pun menjadi fakta tak terbantahkan. Baru setahun menjabat Kades, Johny Bandol telah menyihir sehektar sawah kas desa bertumbuh pabrik deterjen. Limbah pun mulai mencemari sungai dan parit. Mencemari sumur-sumur warga yang airnya digunakan untuk mandi, mencuci, memasak, dan minum keseharian.
Tanggap lingkungannya terancam bahaya limbah, Somat dan Tarkam mendukung rencana Widarba untuk mengerahkan warga. Berdemo di depan pabrik deterjen. Memaksa pemilik pabrik untuk menutup usahanya.
Serupa harimau atas anak-anak rusa, pemilik pabrik membayar segerombolan preman sebagai taring. Hingga pagi sesudah kemarin siang berdemo; orang-orang gegeran ketika mendengar kabar bahwa Somat, Tarkam, dan Widarba raib dari kampungnya. Orang-orang yakin kalau tiga pahlawan mereka diculik dan dihabisi oleh segerombolan preman.
Lantaran tak bernyali melawan gerombolan preman dan tak ingin teracuni limbah, banyak warga menjual tanah pekarangan beserta rumah dengan harga murah. Mereka meninggalkan desa Lohgawe. Menetap di desa lain dengan rumah kecil, tanah gersang, namun jauh dari limbah.
Setahun kemudian. Separuh wilayah desa Lohgawe menjadi area pabrik. Karena serangan limbah yang tak terbendung, sawah-sawah menjadi tandus. Ternak-ternak tewas. Seluruh warga yang masih selamat memutuskan untuk bertransmigrasi ke pulau seberang.
Sungguhpun tak punya warga, Johny Bandol masih mengaku sebagai Kades. Ketika Dukun Matarta menyarankan agar bertransmigrasi bersama warga, Johny Bandol menolak. Hingga saat malam kenaasannya, Johny Bandol yang menentang paksaan dari pemilik pabrik untuk menjual tanah pekarangan beserta rumahnya itu tewas dengan perut membusung. Mulutnya mengeluarkan busa.
Tersiar kabar, "Johny Bandol tewas, sesudah diminumi segalon air limbah oleh segerombol preman bayaran." [Sri Wintala Achmad]